Mohon tunggu...
iis sugianti
iis sugianti Mohon Tunggu... -

Perkenalkan, saya Yanti. Ibu satu anak,Istri dari seorang Abdi Negara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salah Baca: Komisi DPR Berapa?

20 Februari 2012   02:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Komisi DPR berapa?"][/caption] KIAN banyak orang salah baca urutan kata, DPR komisi berapa, jadi komisi DPR berapa?" ujar Umar. "Akibatnya, tidak aneh jika frekuensi penangkapan anggota DPR oleh KPK seperti terakhir ini, tidak lama lagi setiap komisi DPR punya 'cabang' di rumah tahanan--rutan!" "Pengaturan ruang rutan dengan blok-blok juga bisa diubah, jadi ruang komisi-komisi!" sambut Amir. "Dengan itu, kontak jejaring 'pusat-cabang' tidak terkendala birokrasi rutan! Seperti bandar narkoba, justru pengendalian operasi kartel lebih lancar dari dalam rutan!" "Itu bukan mustahil jika urusan komisi berapa jadi berapa komisinya, mirip kasus narkoba--meski baru diringkus satu jaringan pengedar, jaringan lain tidak jera atas tindakan tersebut!" tegas Umar. "Belum selesai diberkas satu anggota DPR tertangkap menerima suap, anggota DPR lainnya keburu menyusul ditangkap! Itu bisa mencerminkan narkoba dan korupsi sama-sama addicted factor, yang dalam kamus Webster berarti--compulsive need for and use of a habit-forming substance-- kebutuhan tidak terkendali atas sesuatu yang sudah jadi kebiasaan! Maka itu, gelegar berita anggota DPR diringkus KPK tidak mampu menahan desakan kebutuhan (kecanduan) yang sudah menjadi kebiasaan itu--tetap melakukan hal serupa, compulsive need jadi lebih kuat dari efek jera hukum!" "Dari situ terlihat, kecanduan korupsi luar biasa!" timpal Amir. "Tapi pendorong tidak terbendung atas kebutuhan yang terbangun oleh kebiasaan itulah biangnya, hingga di tengah meriahnya gunjingan anggota DPR tertangkap menerima suap, koleganya tidak takut melakukan hal serupa! Masalahnya, apakah para anggota DPR telah tidak mampu mengendalikan gaya hidup boros hingga berapa pun gajinya tidak cukup dan harus tetap nyeser?" "Kebutuhan tidak tertahankan pembentuk kebiasaan nyeser itu bukan semata gaya hidup pribadi yang serbawah!" tukas Umar. "Melainkan, justru lebih berat memenuhi tuntutan standar eksistensialnya sebagai politisi--lebih-lebih mendekati akhir periode jabatan dan harus meraih kembali kursinya lewat pemilu! Mulai dari sumbangan terbuka ke partai yang jumlahnya signifikan, lalu secara tertutup bersaing keras dalam 'tender' penawaran tertinggi untuk nomor urut terbaik dan daerah pemilihan kantong massa partai paling gemuk! Lalu, kontribusi ke pimpinan provinsi dan cabang-cabang di daerah pemilihan, sekaligus jaminan masuk daftar usulan caleg ke pusat! Dan, pembinaan massa pendukungnya di daerah pemilihan serta biaya kampanye langsung nanti! Semua itu bisa membentuk addicted factor yang bukan saja membuat kepala jadi kaki untuk mencukupkannya, malah rasionalitas pun ikut terjungkir-balik!" "Cukup jelas kenapa anggota DPR bisa seperti Mpu Sendok yang tewas tertusuk Mpu Gandring, keris buatannya sendiri!" timpal Amir. "Anggota DPR pembuat hukum, terjerat oleh hukum buatan sendiri--hanya akibat salah urutan baca--DPR komisi berapa, jadi komisi DPR berapa?" (Bandar Lampung, 20 Feb.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun