Perjalanan hidup yang sebenarnya yang mungkin hanya sedikit orang yang melakukannya adalah perjalanan dari otak ke hati. Kasus saya ini barulah permulaan. Saya belum menempuh jarak sepenuhnya. Saya masih di tengah jalan menuju arah yang sangat jauh. Selagi bergerak dengan hati, pikiran saya berusaha menarik saya kembali. Akal saya menantang kebijaksanaan saya yang bersifat naluriah dan membuat kebisingan yang memperingatkan saya untuk "mewaspadai hati"-si penipu. Namun, saya mulai memercayai hati saya-alih-alih akal. Saya mencintai hati saya. Saya mencintai perasaan saya. Namun, bukan berarti saya tidak meminta pertimbangan akal. Kadang-kadang akal sejalan dengan hati, tetapi kadang-kadang berlawanan. Pilihan terakhir tetap saya yang menentukan. Meskipun demikian, saya hanya seorang pemula. Namun, saya bukan satu-satunya pengembara!
Akal dan hati memainkan peran berbeda yang memberi Anda kebijaksanaan, Akal memberi Anda kekayaan duniawi, sedangkan hati memberi Anda Anugerah Surgawi. Jadi, kita harus mengetahui seni gunakan akal dan hati. Mengapa perjalanan dari akal ke hati dianggap paling sulit, membosankan, dan panjang? Saya akan menjelaskan dengan meminjam pencerahan sufi, yang seorang guru kebatinan:
"Akal bersifat mendebat, selalu membantah dan membantah. Tidak ada habisnya. Akal tetap membuatmu terikat, tetapi tidak pernah memberikan kesimpulan. Akal tidak bersifat menyimpulkan-begitulah kodratnya. Oleh karena itu, filsafat tidak mampu memberikan satu kesimpulan akan kemanusiaan. Filsafat telah menjadi percobaan yang sangat sia-sia dan selama ribuan tahun, ribuan orang paling cemerlang terjebak dalam pekerjaan konyol ini. Akal mendebat, tetapi tidak pernah sampai pada kesimpulan, sedangkan hati tidak pernah membantah, tetapi mengetahui kesimpulan. Bagaimana bisa sampai seperti ini merupakan salah satu misteri kehidupan. Akal sangat berisik, tetapi semua kebisingannya percuma. Hati bersifat sunyi, tetapi mengantarkan kebaikan. Maka, "beralihlah dari Kepala ke Hati",nasihat sufi
Peralihan dari otak ke hati tidak terjadi begitu saja, tetapi kadang - kadang kenyataan paling kejam menjadi titik tolak. Namun, butuh waktu untuk menumbuhkan kebijaksanaan butuh waktu bergerak dari otak ke hati
Gunung papandayan menjadi saksi bisu saya bahwa setelah saya mendaki gunung tersebut rasa syukur yang saya utarakan tak henti-hentinya saya ucapkan, perubahan kecil yang tercipta hingga menjadikan saya yang sekarang ini menjadi salah satu pengalaman yang paling berharga dalam hidup saya, oleh karena itu saya namakan perjalanan ini dari otak ke hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H