Mohon tunggu...
Iis Nuryati
Iis Nuryati Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pengelola Rumah Belajar

Mengelola Rumah Belajar gratis. Menulis cerpen, puisi, dan artikel. Menyukai filantropi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ibu Hanya Boleh Mendengar yang Baik-Baik Saja

30 Januari 2025   15:45 Diperbarui: 30 Januari 2025   15:45 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Sejak awal berumah tangga, saya dan suami sepakat hanya memberitahu kondisi yang baik-baik saja kepada ibu saya. Tak boleh ada kabar sedih atau buruk, seperti sakit, tidak punya uang, atau gagal sesuatu, yang sampai kepada beliau.

Kami menyepakati hal ini bukan tanpa sebab. Ibu saya mengidap sakit jantung lemah dan psikis beliau agak rapuh. Saat mendengar kabar sedih, ibu ikut sedih bahkan bisa lebih sedih dari yang menderita sedih. Jika salah satu dari kami (anak dan cucunya) sakit, ibu bisa lebih sakit dari kami. Sejauh yang saya ingat, kondisi ini sudah berlangsung sejak saya masih duduk di bangku SMA.

"Membohongi" Ibu

Demi menjaga psikis ibu, saya kakak beradik sering "membohongi" ibu.  Kami sering mengarang cerita untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya. Jika ada salah seorang di antara kami sakit, lalu ibu bertanya bagaimana kabar kami, tanpa dikomando kami sepakat menjawab "baik-baik saja". Jika ibu penasaran kenapa salah satu di antara kami lama tidak menelpon, kami kompak menjawab "baru repot, kerjaannya banyak." Kami bisa melakukan ini dengan aman karena sampai bapak meninggal, ibu tidak memiliki HP sendiri. Ibu juga tidak bisa membaca pesan  SMS. Sekarang ibu sudah memegang HP (jadul) sendiri tapi tetap hanya bisa menelpon dan menerima telpon. Jadi masih tetap aman. 

Alhamdulillah, almarhum bapak merupakan sosok yang kuat. Meskipun kami tidak bisa curhat kepada ibu, kami tetap bisa bercerita pada bapak. Bapak pun ikut bersama kami, pandai menutupi situasi yang sebenarnya. Bapak pintar bersiasat dan mengarang cerita agar ibu tidak curiga. Bapak hanya bilang ada rapat sampai sore atau malam demi menjenguk anak atau cucunya yang sakit.

Saya dan ibu tidak tinggal satu kota. Setiap akhir pekan, saya memiliki jadwal khusus menelpon beliau. Pernah suatu ketika saya menelpon dalam keadaan diinfus di rumah sakit, tapi tidak sedikitpun saya menyinggungnya. Saya tetap berusaha ceria dan tetap bercakap-cakap meskipun sebentar. Jika ditanya sedang di mana saya, saya menjawab, "Baru acara di luar, Buk". Saking saya dan suami memegang prinsip hanya cerita yang baik-baik saja, meskipun saya sudah sembuh atau apapun itu sudah berlalu, saya tetap tidak menceritakan ke ibu.

Ada masa di mana saya benar-benar pada kondisi di mana saya sangat membutuhkan ibu. Tahun 2021, suami saya terkena covid yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit selama dua puluh empat hari, enam harinya di ruang ICU. Selama itu pula, saya (dan saudara-saudara) menahan diri dari memberitahu ibu. Sampai dua atau tiga bulan berikutnya, suami saya sudah sembuh, ibu tetap tidak tahu bahwa menantunya pernah terkena covid cukup berat. Jika pada akhirnya beliau tahu, itu bukan dari kami, tapi ada saudara yang tidak sengaja keceplosan mengabarkan.

Doa Ibu Tetap melangit

Sejujurnya, pada situasi tertentu, saya sangat merindukan doa ibu. Saat diuji sakit (hampir tiap tahun saya dirawat di rumah sakit), tubuh terasa lemah, dan rasa nyeri menyerang, ingin rasanya menangis dan mengadu pada ibu. Lalu ibu akan menengadahkan tangan melantunkan doa buat saya. Tetapi itu tidak mungkin, hati ibu bagaikan kaca. Saya tidak akan membiarkannya retak sekecil apapun karena sebab apapun.

Selain waktu sakit, ada situasi lain yang juga saya sembunyikan dari ibu, yaitu ketika akan mengikuti ujian, lomba, seleksi, atau yang semacam ini yang berhubungan dengan pekerjaan saya. Bukan tidak ingin mendapat doa restunya, tetapi jika saya kabari, ibu akan ikut tegang. Jika saya gagal, ibu jauh lebih kecewa dari saya. Daripada ibu mendengar saya gagal, lebih baik saya rahasiakan. Tapi Alhamdulillah selama ini saya lebih sering berhasil. Dan dengan suka cita, saya kabarkan keberhasilan itu pada ibu. Mendengar suara bahagia ibu di ujung telpon tidak ada bandingannya.

Doa restu ibu ibarat senjata bagi putra-putrinya. Dan saya meyakini, meskipun tidak meminta, doa restu ibu saya pastilah tetap melangit untuk saya. Ikatan hati antara ibu dan anak tetap akan menuju muara yang sama. Dengan hanya memberitahu yang baik-baik saja kepada ibu, saya berharap ini menjadi bagian bakti saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun