Adzan Isya berkumandang tepat saat bis yang membawa saya dan rombongan berhenti di tempat parkir seberang Masjid Al Jabbar. Hujan rintik yang mengiringi perjalanan kami sejak dari Cibaduyut masih menyisakan rinainya. Meski begitu, tak satupun dari kami mengeluarkan paying, kecuali saya. Saya tergabung dengan rombongan yang usianya lebih muda dari saya. Wajar mereka tidak takut kehujanan.
Dua orang lelaki menghampiri kami, menawarkan shuttle untuk sampai ke depan pintu masuk masjid. Ketidaktahuan akan lokasi dan kekhawatiran hujan makin deras membuat rombongan para emak memutuskan menerima tawaran, sedangkan bapak-bapak pilih berjalan kaki. Mobil shuttle ini bentuknya semacam angkot lawas yang bisa membawa sekitar 15 orang. Tarip per orang cukup murah, lima ribu. Kami pikir jarak dari tempat parkir ke depan pintu masjid cukup jauh, ternyata tidak. Ketika kami sampai di tempat, rombongan bapak-bapak sudah tiba duluan.
Cahaya yang Berpendar
Turun dari shuttle, pandangan saya tertuju pada cahaya lampu yang indah terpendar dari masjid yang yang terletak di Kota Bandung, Jawa Barat ini. Warna ungu, biru, kuning keemasan, dan oranye nampak mendominasi. Masjid ini segagah namanya, Al Jabbar. Al Jabbar merupakan salah satu Asmaul Husna (nama-nama Allah yang baik) yang artinya Maha Perkasa atau Maha Gagah. Pemilihan nama Al Jabbar ini pas banget, selain karena gagahnya juga karena sesuai dengan lokasinya yaitu di Jabar.
Masjid Al Jabbar juga sering disebut masjid terapung karena dibangun di atas danau buatan yang berfungsi sebagai penyimpan air dan retensi banjir. Karena saya datang pada waktu malam, saya tidak bisa menyaksikan keindahan danau dan bagaimana dari kejauhan masjid terlihat mengapung di atas air.
Mendekati pintu utama masjid, kami disambut oleh mamang tukang foto yang menawarkan jasa foto dengan latar belakang masjid. Kalau hanya dengan HP nanti tidak kelihatan indahnya, Bu. Mumpung lampu belum dimatikan, Bu. Hanya dengan sepuluh ribu. Begitu mereka merayu. Saya tidak tertarik, bagi saya mengabadikan kenangan cukup dengan HP seadanya milik sendiri. Saya meminta salah seorang teman untuk memfoto saya, hasilnya bisa ditebak. Hanya kelihatan remang-remang, apalagi saya memakai baju dan jilbab warna gelap. Tak apalah, nanti bisa foto yang lebih bagus di dalam.
Hujan yang tak kunjung berhenti, membuat lantai pelataran cukup licin. Seorang teteh yang berjalan beberapa langkah di depan saya, jatuh terduduk. Sepertinya dia tergelincir atau jatuh ke lubang yang tidak terlihat karena tertutup genangan. Melihat itu, saya berjalan di bagian tepi dengan berpegangan pada besi pembatas. Sampai di batas suci, seorang petugas mengarahkan untuk melepas alas kaki serta berjalan mengikuti karpet hitam agar tidak terpeleset. Kesempatan berjalan di atas karpet ini saya manfaatkan untuk berfoto kembali. Hasilnya lumayan, lebih baik dibanding dari pelataran tadi. Wajah saya terlihat.
Memasuki bangunan utama masjid, kami diminta untuk menitipkan alas kaki. Disediakan tas yang cukup untuk memuat beberapa pasang alas kaki. Selanjutnya kami bergegas menuju toilet. Saat kami datang, toilet sedang dibersihkan. Jumlah toilet cukup memadai, dengan kondisi bersih dan nyaman. Sayangnya, toilet ini tidak menyediakan tempat untuk mandi, toilet hanya bisa digunakan untuk buang air besar dan kecil saja. Padahal, kadang jamaah, terutama musafir, ingin mandi dulu sebelum solat.
Selesai urusan ke toilet, kami pindah ke tempat wudu yang terpisah sekitar 20 langkah dari toilet. Lumayan merepotkan menurut saya. Saya bayangkan kalau sampai di tempat wudu tiba-tiba terasa ingin buang air besar, butuh beberapa saat untuk kembali ke toilet. Kenapa kedua tempat ini tidak dibuat berdampingan saja ya? Pikir saya. Pasti ada alasan tertentu yang saya tidak tahu.
Lupakan soal toilet, sudah terjadi seperti itu. Tak lama di tempat wudu, kami segera menuju ke area utama solat yang ada di lantai dua. Solat isya sudah usai karena tadi kami terlalu lama menghabiskan waktu di bawah. Jadilah kami batal mewujudkan harapan kami untuk solat jamaah di Al Jabbar. Ini kegagalan kedua sebetulnya. Rencana awal kami mengejar solat berjamaah Maghrib dan Isya di Al Jabbar, tapi karena Bandung macet parah, kami tiba sangat terlambat. Akibatnya, kami gagal solat berjamaah Maghrib dan Isya sekaligus.
Ornamen yang Beragam
Saya menunggu teman-teman yang masih wudu dengan menikmati keindahan interior masjid dan suasana di dalamnya. Masih cukup banyak pengunjung yang mendirikan solat maupun sekedar duduk bersama dengan temannya di atas karpet dengan nuansa biru dan kuning muda. Interior masjid ini sangat indah, terdiri dari berbagai ornamen dan hiasan-hiasan unik. Lengkungnya didominasi warna coklat susu. Atap utamanya berwarna krem dengan kombinasi bangun belah ketupat.
Salah satu keistimewaan masjid ini adalah bentuknya yang setengah bola. Tidak ada sekat antara dinding, atap, dan kubah. Semuanya menyatu menciptakan lengkungan-lengkungan yang elegan. Saya baru menyadarinya setelah beberapa saat mencermati mengapa ruang dalamnya tidak terlihat berbentuk kotak seperti kebanyakan masjid. Menurut artikel yang saya baca, arsitektur masjid ini merupakan gabungan antara keindahan arsitektur Turki dan seni Jawa Barat.
Lampu-lampu hias terpasang dengan indah di setiap pertemuan lengkungan. Cantik sekali. Di sudut itu pula dilengkapi dengan rak yang bisa digunakan untuk menaruh al Qur'an atau tas. Masih banyak lagi ornamen lain yang terus terang saya tidak bisa menamainya. Contohnya, ada bangunan berdiri di area solat seperti tiang tapi bukan tiang karena tidak menyangga atap. Jadi apa namanya? Entahlah, saya terlalu "ndeso" untuk mengetahui namanya.
Masjid di manapun selalu menawarkan aura kedamaian, begitu pun di masjid ini. Meskipun akhirnya kami harus mendirikan solat berjamaah sendiri, tapi kami sangat bersyukur bisa mengunjungi masjid yang saat ini menjadi ikon kota Bandung ini. Jadi, Anda tertarik mengunjunginya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI