Kalimat Negatif VS Kalimat Positif
Oleh: Iis Nia Daniar
Visi dan misi sekolah yang disosialisasikan kepada semua warga sekolah dan orang tua/wali murid adalah sebuah harapan bersama mengenai pendidikan putera/puteri penerus bangsa di masa mendatang. Agar pendeskripsian lebih jelas dan mudah direalisasikan, visi dan misi sekolah tersebut diturunkan ke dalam berbagai aturan-aturan yang biasa disebut sebagai tata tertib. Mendengar frasa tata tertib saja mungkin sebagian murid sudah merinding karena terbayang hukuman yang akan diterimanya jika melanggar aturan.
Akan tetapi, efektifkah hukuman yang diberikan pada murid yang melanggar tata tertib? Jawabannya tentu tidak. Hal tersebut dapat diamati dari masih tingginya pelanggaran tata tertib di sekolah. Selain itu, output pun masih banyak yang berperilaku tidak sesuai dengan norma bahkan mengarah pada tindakan kriminalitas. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa harus ada jurus yang efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan tersebut.Â
Kembali pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara bahwa semua anak terlahir dengan membawa kodrat alamnya, sebagai penuntun seharusnya memahami bahasa yang tepat untuk menebalkan kodrat alam positif yang mereka miliki.Â
Bahasa sebagai sarana untuk berkembangnya ilmu pengetahuan menjadi sarana juga untuk berkembangnya nilai positif para murid. Bahasa sebagai alat komunikasi akan mudah diingat dan apabila bahasa tersebut digunakan berulang dalam jangka waktu lama, pendengar akan mengejawantahkan bahasa yang sering didengar dan dibacanya itu ke dalam perilaku sehari-hari --bahasa yang diksud adalah kalimat yang terdapat pada tata tertib. Â
Oleh karena itu, peluang untuk menuntun perilaku para murid melalui tata tertib adalah sia-sia. Para murid hanya akan mengingat kalimat negatif dan akan berperilaku negatif juga di kemudian hari.Â
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengubah kalimat tata tertib sekolah menjadi kalimat positif yang tidak mengandung pemarkah ingkar, seperti kata tidak, dilarang, jangan, dan bukan. Contoh Tidak memainkan gawai saat pembelajaran dari kalimat tersebut yang diingat para murid hanya memainkan gawai saat pembelajaran.Â
Mengapa demikian? Seperti yang diketahui bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar kalimat dalam tata tertib tersebut diterima oleh otak reptil manusia sebagai sebuah ancaman yang dapat memberangus kebebasan hidup.Â
Oleh karena itu, muncullah pemberontakan dalam dirinya yang menyebabkan penolakan kata tidak dalam kalimat Tidak memainkan gawai saat pembelajaran. Penolakan tersebut berlanjut dalam hidupnya dan menjadi sebuah kebiasaan sehingga nilai-nilai negatiflah yang tebal. Kemudian nilai-nilai itu secara diinsyafi atau tidak menggerakkan organ tubuh berperilaku dan berpikir menyimpang dari sebuah peraturan.
Dari penjelasan tersebut, kalimat Tidak memainkan gawai saat pembelajaran hendaknya diubah menjadi kalimat positif menjadi mengikuti pembelajaran dengan fokus dan menyenangkan. Kalimat mengikuti pembelajaran dengan fokus dan menyenangkan yang masuk ke alam bawah sadarnya tidak akan ditolak karena sudah memenuhi kebutuhan dasar menyenangkan (fun). Dengan demikian, para murid di kemudian hari dapat tetap fokus belajar dengan hati yang senang.Â