Mohon tunggu...
Iis Daniar
Iis Daniar Mohon Tunggu... Dosen - Iis Nia Daniar

Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Antar-Materi Modul 1.4

18 Desember 2022   12:52 Diperbarui: 18 Desember 2022   13:14 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koneksi Antar Materi - Modul 1.4

Sekolah adalah lingkungan yang mengupayakan secara sadar penuntunan bagi para murid. Oleh karena itu, setiap tahun ajaran baru dimulai, semua orang tua yang mempunyai anak usia sekolah, pasti mencari sekolah. Orang tua membutuhkan sekolah sebagai lingkungan formal untuk menuntun anak-anaknya dengan tujuan agar anak-anaknya dapat memiliki kompetensi keilmuan dan keterampilan yang didasarkan pada keimanan sehingga dapat bersaing pada kehidupan dewasa kelak. 

Dari tujuan orang tua tersebut dijabarkan ke dalam visi sekolah. Visi sekolah pada dasarnya adalah nilai jual sekolah. Apa yang ditawarkan kepada orang tua untuk anak-anaknya itu tercakup dalam visi sekolah. Sekolah akan berusaha sangat keras untuk merealisasikan visinya agar tidak mengecewakan orang tua/ wali murid karena itu visi disamakan dengan harapan. Harapan yang disepakati bersama oleh guru, pihak pembuat kebijakan, dan orang tua/wali murid, bahkan warga sekolah lainnya, seperti caraka dan petugas keamanan. Visi perlu dicerna dan didukung pengejawantahannya oleh semua  pihak, terutama yang merupakan pelaku pendidikan.  

Peran saya sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah sudah tentu berkewajiban merumuskan visi tersebut secara bersama-sama atau berkolaborasi dengan pelaku pendidikan lainnya. Setelah itu, kami menawarkan kepada orang tua atau wali yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kami. Jika sudah ada kesepakatan antara orang tua dan kami berkaitan dengan visi, baru kami menelurkan menjadi beberapa kebijakan. Kebijakan tersebut selanjutnya dibuatkan program-program sekolah, seperti program sekolah. Program sekolah inilah yang digadang-gadang sebagai sarana untuk menumbuhkan budaya positif di sekolah. 

Pembuatan program sekolah memanfaatkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Saya sebagai calon guru penggerak dengan sadar memanfaatkan inti-inti positif dari sumber daya yang dimiliki di sekolah. Untuk mewujudkan nilai dan peran guru penggerak, saya berusaha seoptimal mungkin walaupun pergerakan perubahannya belum signifikan. BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan atur eksekusi) sebagai pegangan saya untuk membuat rancangan program. Dengan langkah-langkah BAGJA tersebut, saya mencoba sedikit-demi sedikit membuat perubahan dengan menggunakan model manajemen Inkuiri Apresiatif (IA) untuk menciptakan budaya positif di lingkungan sekolah tempat saya mengabdi.

Adanya budaya positif yang diterapkan di sekolah pada mulanya dianggapa hanya berujung pada penghargaan dan hukuman karena realitanya murid-murid yang taat pada peraturan dan melaksanakan program sekolah dengan baik akan diapresiasi, sedangkan para murid yang melakukan hal sebaliknya akan mendapatkan hukuman. Keduanya, apresiasi dan hukuman, tersebut sebenarnya mempunyai nilai yang sama: nol (0). Dikatakan mempunyai nilai yang sama karena hanya memberikan efek sementara pada keadaan psikologis murid. Penebalan karakter positif tidak terlalu kentara di sini. Jika dianalogikan penebalan yang dilakukan dengan menggunakan apresiasi atau penghargaan dan hukuman adalah menebalkan garis putus-putus dengan menggunakan tinta yang mudah luntur. Oleh karena itu, diperlukan formula tinta untuk menebalkan karakter positif murid-murid. Formula yang tepat untuk saat ini adalah menyentuh hati murid-murid.

Menyentuh hati murid-murid adalah hal yang bisa dilakukan untuk menebalkan karakter positif mereka. Atas dasar pemikiran bahwa hati pasti selalu menyuarakan kebenaran, murid-murid akan diupayakan untuk kembali pada kodrat kebaikan dalam kehidupannya. Jadi, kodrat kebaikan ini akan tetap ada dalam diri para murid meskipun pembelajaran pada  sekolah kami telah diselesaikan. Hal tersebut dapat juga diartikan bahwa budaya positif yang kami tanamkan melalui program-program sekolah dan interaksi keseharian kami antara guru dan murid akan tertanam di benak para murid dalam jangka waktu yang lama. Dari budaya  positif yang tertanam ini melahirkan sebuah motivasi yang akan menciptakan tindakan atau sebuah upaya perubahan menjadi manusia yang baik. 

Dalam penerapan tinta yang menyentuh hati ini tentu ada sandungan-sandungan apalagi jika berhadapan dengan murid-murid yang masih labil secara psikologisnya. Cara penanganannya dengan langkah-langkah segitiga restitusi. Jadi bukan dengan penghargaan dan hukuman lagi. Memang selama ini bahkan saat lengah dan lelah, saya masih menggunakan perhargaan dan hukuman, tetapi begitu tersadar dan ingat apa yang sudah dipelajari pada modul 1, saya berusaha mengembalikan kondisi. 

Yang tadinya saya mengambil fungsi kontrol hanya sebagai penghukum atau teman saya berusaha menggunakan posisi kontrol sebagai manajer.Cara saya mengembalikan  kondisi adalah dengan menggunakan langkah yang ada dalam segitiga restitusi tersebut: menstabilkan identitas, validasi masalah, dan membuat keyakinan kelas. Keyakinan kelas yang dibuat adalah strategi untuk menciptakan budaya positif pada sekolah kami. Kesadaran para murid, dikembalikan pada keyakinan kelas.

Seorang murid yang baik karakternya akan lebih membahagiakan orang tua dan guru jika dibandingkan dengan seorang murid yang baik prestasinya, tetapi karakternya tidak baik. Jadi, bisa dikatakan bahwa sekolah sebagai tempat penumbuhan budaya positif akan sukses jika output-nya mempunyai karakter yang baik. Karakter baik adalah utama dalam pengejaran mutu sekolah, ini yang saya pahami setelah mempelajari modul 1 . Prestasi baik tidak salah untuk dikejar para guru terhadap murid-muridnya, tetapi alangkah indah dunia ini jika semua sekolah sepemikiran untuk mencetak output yang memiliki karakter baik.

Di atas telah dijabarkan tentang penerapan nilai dan peran guru penggerak dalam menciptakan budaya positif di sekolah melalui BAGJA, posisi kontrol,  dan penggunaan setitiga restitusi untuk pengembalian kondisi. Tujuan pengaplikasian tersebut tidak lain untuk menciptakan anak yang merdeka berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Akan tetapi, dalam pengejawantahannya di sekolah saya masih perlu untuk mendalami pengaturan waktu sebagai guru yang mempunyai tugas menuntun dan sebagai guru yang dituntun pelaporan administrasi. Karena dosa terbesar saya adalah ketika para murid membutuhkan saya sebagai penuntun, saya asyik dengan penyelesaian dokumen-dokumen yang sudah ada pembatasan waktu penyerahan. Hal tersebut secara langsung memengaruhi semua budaya positif yang telah dibangun. Ada kesan egois dalam diri saya, ini yang saya ambil dari kalimat chat murid kepada saya, "Ibu sibuk terus." Sedih sekali rasanya berada di posisi mereka yang merindukan gurunya, tetapi gurunya sibuk dengan urusan administrasi kejar tayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun