Mohon tunggu...
Iis Indrawati
Iis Indrawati Mohon Tunggu... Human Resources - Nama

Iis Indrawati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dalam Masyarakat: Sebuah Diskriminasi Tanpa Akhir

23 Agustus 2022   08:23 Diperbarui: 23 Agustus 2022   08:24 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Media sosial akhir-akhir ini menjadi begitu sensitif bagi perempuan. Bagaimana tidak fenomena-fenomena yang muncul kebanyakan meliputi perempuan-perempuan tak berdaya yang di eksploitasi oleh kapitalis. Muncul beragam tanggapan yang pro dan juga kontra. Ada yang ikut geram, ada yang tak peduli, dan bahkan ada yang menyalahkan si korban selaku pihak yang di rugikan. Sungguh miris memang, tak dapat dielakan lagi bagaimana bobroknya kehidupan yang sedang dialami oleh para perempuan-perempuan  yang tak beruntung.

Perempuan menjadi begitu rentan terhadap kekerasan, pelecehan dan sebagainya, yang mana disebabkan oleh budaya patriarki yang begitu kental di masyarakat kita saat ini. Mediapun turut andil dengan cara mempresentasikan perempuan sedemikian rupa sehingga menjadi  lebih terpojokkan, sungguh sudah jatuh malah ketiban tangga pula. Mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi perempuan-perempuan Indonesia saat ini.


Perilaku misoginis tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Akan tetapi bisa juga datang dari perempuan itu sendiri. Melihat fenomena banyaknya perempuan yang mendapatkan bullyan dari kalangan perempuan sendiri maka muncullah tagar baru di media sosial "women support women". Tagar ini muncul sebagai respon positif para perempuan untuk memberikan support positif pada perempuan lain yang sedang menghadapi suatu masalah. Penggunaan tagar ini ternyata tidak berlaku untuk semua perempuan yang menjadi korban. "women suport women", ternyata hanya berlaku bagi segelintir orang yang memiliki pengaruh besar di media sosial dan memiliki paras yang enak untuk di pandang.


Perjuangan perempuan untuk menuntut hak-hak kemanusiaanya sudah banyak dilakukan, tidak hanya dalam gerakan di dunia nyata akan tetapi juga  di dunia maya. Hal ini dilkukan untuk menyebarkan secara cepat dan meluas pada masyarakat luas keadaan yang terjadi pada perempuan di Indonesia saat ini. Akan tetapi, dalam prosesnya tidak semudah yang dipikirkan. Meski begitu, perjuangan untuk perepmuan-perempuan yang terindas tidak berhenti begitu saja, dilakukan terus menerus secara konsisten demi mencapai keadilan bagi perempuan. Gerakan memperjuangkan hak perempuan tidak hanya datang dari mereka korban dan penyintas, akan tetapi juga pada mereka perempuan-perempuan yang menyadari betapa pentingnya masalah ini dan sudah seharusnya diperjuangkan. Meski masih ada perempuan yang masih tidak peduli dengan nasib korban akan tetapi banyak juga perempuan lain yang turut membantu korban.


Perjuangan perempuan tidak akan pernah berhasil jika perempuan hanya berjuang sendiri. Perempuan membutuhkan dukungan dari laki-laki dan perempuan lainnya. Permasalahan ini, bukan hanya tanggungjawab dari perempuan yang menjadi korban. Akan tetapi, masalah ini adalah tanggungjawab semua lapisan masyarakat tidak memandang status, gelar dan kedudukan. Sudah seharusnya hak asasi manusia ditegakkan seperti seharusnya. Menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan tentunya akan lebih mudah bila setiap orang peduli dan sadar akan peran dan hak setiap manusia.


Barangkali slogan memanusiakan manusia hingga saat ini hanyalah simbolik semata. Slogan ini banyak bertebaran di kehidupan kita umumnya di lingkungan akademis di perguruan tinggi. Ekspetaksi yang berlebihan terhadap suatu hal memang tidaklah baik. Awalnya saya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap para akademisi, terhadap orang-orang yang memiliki pendidikan yang baik. Kenyataannya ekspektasi tidak selalu sejalan dengan realita. Perguruan tinggi yang saya anggap sebagai tempat teraman sebagai tempat menimba ilmu dan berbagi pengalaman ternyata memiliki sisi gelap didalamnya. Tidak jarang yang memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada akhirnya tingkat pendidikan dan ilmu yang dimiliki tidak bisa menjadi tolak ukur untuk menilai baik-buruknya orang lain.


Menelisik lebih dalam lagi akar dari semua permasalahan perempuan ini memang berasal dari budaya patriarki. Budaya patriarki memandang bahwa perempuan adalah pihak yang akan selalu berada dibawah kuasa laki-laki. Akan tetapi, permasalahan ini bukan tidak mungkin untuk dihilangkan. Hanya saja kesadaran masyarakat untuk menata kembali pandangan terhadap peran antara laki-laki dan perempuan perlu untuk dilakukan.


Pada hakikatnya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk di hargai, dilindungi, dan dihormati. Ketidak setaraan hanya menimbulkan konflik tak berujung. Suatu kehidupan sosial yang ideal, akan tercapai apabila hubungan antar manusia tidak memandang jenis kelamin baik itu laki-laki maupun perempuan terjalin dengan begitu baik melalui perlakuan yang sama tanpa membedakan salah satunya. Melihat lebih dekat peran perempuan yang ada selama ini, maka setiap orang akan mengerti bahwa hal ini adalah suatu keprihatinan yang sangat besar. Tidak perlu menutup mata dan telinga sebab setiap perempuan membutuhkan uluran tanganmu.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun