Pada awal masuk mengajar di  Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) di Kinabalu, Malaysia, langkah pertama yang saya lakukan, dan memang biasa dilakukan kebanyakan pengajar lainnya, adalah memperkenalkan diri kepada para siswa. Saya mengajar untuk murid-murid kelas lima ketika itu.
Perkenalan itu pun diawali dari diri saya sendiri. Lalu setelah itu dilanjutkan para siswa untuk secara bergantian memperkenalkan diri masing-masing.
Ada hal menarik ketika di tengah perkenalan. Salah seorang siswa yang memperkenalkan menutup perkenalannya itu dengan cita-cita, "Ingin mempunyai IC".
Sejenak, saya kaget. Apa tuh IC ? Kemudian beberapa siswa menjawab bahwa IC itu adalah sebuah kartu seseorang yang sudah diakui sebagai warga negara Malaysia. Mungki kalau di Indoensia lebih tepatnya KTP atau kartu tanda penduduk.
Kemudian saya bertanya lagi kepada anak tersebut. "Loh, kenapa kamu bercita-cita ingin mempunyai IC?", tanya saya dengan sedikit heran.
Si anak tersebut pun menjawab dengan sanatainya
"Karena, pak, kalau sudah punya IC itu kita lebih tenang hidup di sini, tidak di kejar-kejar police, semua sudah dijamin di sini, pak, mau sekolah setinggi apa pun asal kita mau bisa dikasih oleh kerajaan, tinggal kita yang bayar nanti setelah dapat kerja. Biaya ke rumah sakit murah, kalau gaji di bawah RM 1000 bisa dapat bantuan dari kerajaan, Â mencari kerja gampang dan rumah pun disubsidi sama kerajaan," katanya.
"Pokonya hidup di sini lebih enak, pak, daripada di Indonesia, serta  orang tua saya sudah nyaman tinggal dan bekerja di sini," sambungnya.
Waduh dalam hati sambil menelan ludah saya sejenak merenung. Masuk akal juga sih alasan anak ini kenapa dia bercita-cita ingin punya IC. Menurutku, ini ini PR besar. Kalau begini terus bisa-bisa nanti semua anak bercita-cita sama.
Saya langsung bertanya lagi kepada anak tersebut, "Apakah kamu tidak ada keinginan untuk pulang ke Indonesia dan kemudian bekerja di sana serta membangun Indonesia?
Lalu dia menjawab, "Saya belum tahu Indonesia, pak. Saya belum pernah pergi ke sana dari semenjak lahir. Jadi saya tidak tahu Indonesia," jawab si anak itu dengan sangat jujur.