Ingkang kaping kalih: tiyang wayuh punika langkung kathah wragading gêsangipun, tinimbang kalihan ingkang botên. Manawi manut agami Islam, tiyang wayuh botên kenging baukapine, bojo kalih utawi langkung kêdah sami dipun sukani griya, sandhang, têdha ingkang sami. Sanajan cara Jawi bojo kathah katunggilakên sagriya, mêksa kathah têlasing yatra ingkang kaangge ngawontênakên kabêtahanipun tiyang punika sadaya.
Terjemahan:
Yang kedua: orang wayuh (menikah lebih dari satu) lebih banyak kebutuhan hidupnya, daripada orang yang tidak poligami. Misalnya menurut Agama Islam, seorang yang poligami, tidak boleh egois (seenaknya sendiri), istri dua atau lebih harus sama-sama diberi rumah, pakaian, dan makanan yang sama. Walaupun dalam adat Jawa istri banyak disatukan dalam satu rumah, terpaksa harus menghabiskan uang banyak untuk memenuhi kebutuhan orang-orang itu semua.
Konteks di atas menekankan bahwa seorang lelaki yang poligami akan lebih banyak kebutuhan hidupnya karena harus adil dalam memberikan nafkah lahir kepada seluruh istrinya. Maka dari itu, seorang suami diharuskan memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menafkahi semua istri dan anak-anaknya dengan layak. Dalam keadilan lainnya, seorang suami juga harus adil dalam pembagian nafkah batin seperti kasih sayang, waktu, dan perhatian kepada masing-masing istrinya tersebut. Karena hal demikian berkaitan dengan keadilan perlakuan dalam hal hak maupun kewajiban seorang suami terhadap istri dan keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H