Mohon tunggu...
Iin Solihin
Iin Solihin Mohon Tunggu... -

Hati tercipta dari dua kekuatan, Antara Harapan dan Ketakutan. Keduanya bagai Tsunami menerjang segala rintangan. Hanyalah Tuhan Sang pemilik Harapan dan Ketakutan. Dalam perenungan, Daku menghayal, Tuhan menghilangkan derita Kebodohan dan Kemiskinan. Dalam kebimbangan, benarkah TUHAN mau menghilangkan segala penderitaan. Disaat Keheningan, Tuhan besabda, Itulah alasan kenapa AKU menciptakanmu (itulah tugas manusia sbg khalifah).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ramadan dan Ironi Spiritualitas

26 November 2012   12:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Iin Solihin

Menjelang datangnya bulan suci ramadan (siyam, shaum) atau puasa pada bulan Juli 2012, tentunya seluruh umat Islam di seluruh dunia dan khususnya di Indonesia menyambutnya dengan rasa syukur, suka cita, berbahagia karena masih diberikan kesempatan merayakan kehidupan untuk berjumpa kembali dengan bulan yang penuh keberkahan “lebih baik dari seribu bulan” (khairun min alfi syahr) diantara bulan-bulan yang lain dalam satu tahun.

Momentum ramadan atau puasa selain sebagai salah satu bentuk kewajiban dan ibadah ketiga umat Islam setelah Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Juga sebagai proses introspeksi diri dan masyarakat meningkatkan keimanan dalam beribadah kepada Allah SWT untuk kebaikan baik secara teologis maupun sosial dalam menumbuhkan sifat-sifat terpuji dan meninggalkan sifat-sifat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritualisme ketaqwaan dan keimanan kepada Allah SWT.

Sejatinya, hikmah puasa dijadikan evaluasi bersama bagi umat Islam khususnya di Indonesia dan semua elemen bangsa dan negara yang secara realitas masih dilanda permasalahan yang semakin kompleks seperti kemiskinan, kekerasan, korupsi dan intoleransi telah menimbulkan ke-ironian dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan bangsa yang mayoritas muslim di dunia. Tentunya, nilai-nilai ke-religiusan dan keadaban yang dimiliki dijadikan sebagai modal untuk “membumikan” nafas keimanan dan kemanusiaan dalam perayaan kehidupan yang fitri.

Geliat Budaya

Andre Moller dalam Ramadan di Jawa, Pandangan dari Luar (2005/230-232) mengungkapkan bahwa, masyarakat muslim Indonesia khususnya didalam budaya Jawa memiliki beragam sebutan dan memaknai bulan ramadhan, seperti bulan maghfirah, bulan silaturrahmi, bulan memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, bulan keadilan, bulan reformasi dan bulan kesetaraan jender.

Menurut Moller, masyarakat muslim di Jawa tersebut memiliki kreativitas unik dan antusias yang cukup tinggi dalam menyambut bulan suci ramadhan yang justeru disinyalir telah menghabiskan energi, waktu dan pemborosan uang yang cukup banyak seperti melakukan arak-arakan dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan sekolah. Hal itu tentunya sangat bertentangan dengan makna puasa yang menganjurkan “kemeriahan ibadah” dengan cara yang sederhana.

Kemudian, kemeriahan menyambut ramadan terjadi pula di perusahan-perusahaan, toko-toko dan pusat perbelanjaan yang ramai menjual produk-produk yang disesuaikan dengan momentum ramadan yang tampak “Islami” untuk mendukung dan meningkatkan kereligiusan, tetapi secara tidak langsung menggiring masyarakat untuk melakukan hidup konsumtif yang cukup berbahaya.

Bahkan, hal itu diperparah dengan adanya “jilbablisasi” dan “Islamisasi” diberbagai kalangan para pejabat yang korup, para artis, acara TV, sinetron Islami/religi, lagu-lagu religi, ceramah-ceramah komersil ustad seleb yang dikemas semenarik mungkin diberbagai media cetak dan elektronik berlomba-lomba memamerkan dan mempromosikan proses formalisasi yang “menyesatkan” karena secara substansi dibalik itu semua hanya sebatas kepura-puraan yang dibentuk oleh dan demi kepentingan para kapitalis dalam meningkatkan laba dan popularitas.

Hasil survey Depkominfo (2011), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sekitar 802 acara TV di Indonesia di 10 hari pertama bulan ramadhan banyak menayangkan adegan kekerasan sebanyak 59,4 persen secara psikis dan 23,7 secara fisik, 12 persen adegan cabul dan 5 persen adegan mistis. Tentunya, dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk menghormati dan mendukung terciptanya bulan ramadan yang bergelimang kedamaian dalam ibadah.

Jauh sebelumnya, eksploitasi dan komersialisasi “spiritualisme” keagamaan juga pernah dialami dikalangan umat Nasrani Amerika (1890) dalam momentum perayaan Kelahiran Kristusdan Inggris ‘Bapa Natal’ (Father Christmas) dan dalam adat Jerman Santo Nikolas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hugh Dalziel Duncan dalam Sosiologi Uang (1997/33). Dimana para kapitalis telah menumbuh suburkan dalam menciptakan “ritual manusia uang” didalam nilai kereligiusan keagamaan seperti kesederhanaan, keikhlasan, persaudaraan, cinta kasih, saling memberi hadiah makanan kepada anggota keluarga, teman yang semula dibuat sendiri dengan tangan oleh tiap orang yang kemudian dirubah menjadi hadiah yang berbentuk parsel-parsel mewah “demi gengsi” yang dibeli secara instan dari toko-toko yang harganya cukup mahal.

Kandungan nilai ajaran-ajaran puasa adalah menahan hawa nafsu untuk menikmati sesuatu apa yang kita butuhkan dengan sederhana, bukan mencari kenikmatan yang kita inginkan. Sebagaimana sering terjadi setiap menjelang perayaan dan akhir ramadan mendekati hari raya Idul fitri semua kebutuhan masyarakat menjadi mahal harganya seperti harga pakaian lebaran, sembako, jasa-jasa pelayanan, transportasi udara, darat maupun laut.

Proses Hijrah

Sebagaimana diuraikan diatas, kewajiban meritusi puasa di bulan ramadan bukan hanya untuk derita ritus menahan haus dan lapar. Tetapi lebih dari itu adalah puasa sebagai sebuah proses pensucian para manusia di bumi dalam perenungan yang kemudian mampu melewati tangga-tangga kemurkaan ditingkah laku hidup yang abai akan ayat-ayat Tuhan yang disimbolkan oleh alam untuk saling menjaga dan merawat bukan saling mendurhakai.

Nilai-nilai puasa untuk konteks kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang masih diselimuti awan mendung permasalahan akan lekas usai jika kita bersama-sama mengawal dan membentuk kualitas diri yang korup, kriminal, jabatan puja harta, ke-ilmuan yang menipu menjadi lebih baik dengan momentum ramadan yang diakhiri oleh perayaan Idul Fitri sebagai tanda memasuki bulan Syawal dengan perayaan suka cita telah melewati dan merayakan keagungan bulan yang penuh berkah dan pahala untuk menikmati kehidupan baru yang lebih baik.

Tentunya, kehidupan yang religius akan lebih bermanfaat disaat kita mampu merawat dan menjaga keharmonisan hubungan dengan alam sosial kenegaraan secara kritis melakukan proses hijrah mengamalkan ayat-ayat suci yang tertulis dalam kitab negara (UUD 1945) sebagai pedoman kehidupan bangsa yang memiliki segudang keunikan aneka ragam budaya, suku dan agama. Semoga !

**Penulis adalah peneliti pada Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) dan juga penggerak komunitas diskusi Rumah Anak Bangsa (RAB) Pare-KediriJawa Timur.

...........................................................................

Tulisan ini pernah terbit di Buletin Mlaku Edisi Ke-V Tahun 2012 di Pare Kediri Jawa Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun