Mohon tunggu...
Iin Munawaroh
Iin Munawaroh Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis dan ingin menjadi penulis HEBAT

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita-wanita Gemblung (Cerpen oleh Iin Munawaroh*)

25 Maret 2014   15:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di rerumputan hijau, dengan semilir bayu bergelayut sepoi Darto mengintip Gendis. Wajah ayu Gendis bagai sinar rembulan tanggal lima belas yang benderang. Ayunan rambutnya melambai menyibak bayangan-bayang Darto di sore yang pernah ia takhlukkan bersama gadis ayu itu. Bibirnya yang ranum, semakin memikat—meleleh sewarna ceri terkena embun. Lalu tersungging senyum yang entahlah, tapi mampu membuat detak jantung Darto terpacu kencang tak bisa dikendalikan.

Dalam hayal tak seirama lantunan ‘laggen tayub’ di radionya, Darto mendesah ragu. Tak mungkin semua hasrat yang dikurungnya di lepaskan begitu saja. Wajah ayu purnama Gendis tak mungkin dibiarkan bermadu lalu terbuang sia-sia oleh perjaka-perjaka kampung tak lebih tampan darinya. Darto bertekad menyelinap di pori-pori hati gadis ayu itu untuk mendapatkannya, mendapatkan secawang madu nikmat tanpa adanya perlawanan. Alhasil tak lama menunggu, diapun berhasil menguasai seluruh rongga hati Gendis dan meneguk madu legit milik Gendis.

Saat rembulan naik setinggi kubah langit yang berwajah muram, gadis berumur belasan tahun itu menari diatas dipan Darto untuk pertama kalinya, dan mempersembahkan kelopak-kelopak wangi kasturi dari tubuhnya. Walau sedikit resah menggelayut gemulai di tengah-tengah goyangan edannya, Gendis tak mau berhenti. Mencoba ikut hanyut dalam senti demi senti permainan maut Darto. Gerimis yang menebarkan hawa sejuk dari celah-celah milisenti di gubuk itu, semakin memacu semangat Darto untuk memilah kelopak mana yang ingin dinikmatinya. Tak lama, hanya dalam hitungan paroh malam saja, Darto dan Gendis telah berhianat pada sebuah janji. Janji Gemblung dari pelarian busuk dua manusia tak beradab.

Hari berganti bulan, dan malam sabit tanpa bintang mulai menggantung malas di atas langit. Tak ada yang berubah pada kecantikan wajah Gendis, hanya saja perut gadis ayu itu kian lama kian membuncit. Malam-malamnya selalu pekat, sepekat warna hitam langit saat tak ditemani bintang. Dalam malam-malamnya yang suram tanpa belaian, Gendis meraung sejadi-jadinya. Bukan karena menyesali tarian atas ranjangnya dengan Darto. Hanya saja badannya semakin terasa berat saja untuk bisa melakukan tugas dapurnya sendirian. Apalagi sudah sepekan Darto tidak mengunjunginya. Tak ada seorang ibu yang membelainya disaat hamil seperti ini. Gendis sendirian di gubuk kecilnya, hanya ditemani kasur dan bantal kumalnya saja.

Tak lama saat dia menangis mengeluarkan isi busuk hatinya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Setengah terperanjat Gendis segera membuka pintu itu, memeluk lelaki yang yang berdiri mematung di depannya. Mata Gendis yang lentik menggoda itu semakin indah, saat bibirnya menunggingkan senyum mawar merah yang merekah. Senyum legit yang membawa Darto ke dalam rumah kecil tanpa barang apapun selain dipan reot dan kasur penuh kutu busuk.

“Perutku akan segera mengecil lagi kangmas, aku akan segera melahirkan,” ucapnya sembari bergelayut di pangkuan Darto.

Senyum kecut tiba-tiba muncul di bibir Darto. “Kenapa kau sangat senang dengan kelahiran anak itu? Bukankah kelahirannya adalah pertanda buruk bagi hubungan kita?”

“Aku tak perduli kangmas!” jawab Gendis sinis. “Itu semua bukan salahku. Biarlah semua orang menilaiku dengan nada kata cela. Ini semua salah perempuan itu, salah istrimu bukan salahku.”

“Tapi bukankah .....,”

“Sudahlah kangmas, jangan kau bahas lagi cerita ini. Lebih baik kita menikmati malam ini. Buatkan aku secangkir kenikmatan sebelum kau meneguk kenikmatan yang lain saat aku melahirkan nanti. Aku tau hasrat lelakimu tak bisa kau bendung, aku tak semuafik dan sok suci seperti wanita itu. Aku rela membagimu dengan siapapun, tapi malam ini bukankah kidung cinta menyelimuti kita. Ayo kangmas, nikmatilah....”

Suara malam kembali sunyi. Bahkan jangkrik yang biasanya mengerik riang menertawakan kesendirian Gendis pun menghilang. Tak ada lagi percakapan antara dua manusia yang baru saja bersua. Hanya sesekali suara decit dipan tua yang beradu dengan suara deruan nafas Gendis menjadi bunyi-bunyian menyayat desir darah.

Dua hari setelahnya Gendis benar-benar melahirkan. Dibantu oleh seorang dukun beranak di desanya, Gendis melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik tanpa cacat dengan lancar. Tak terlalu banyak keluhan atau jerit sakit saat melahirkan. Bahkan saat menggendong bayi perempuannya itu untuk yang pertama kalinya, Gendis tersenyum haru. Entah senyuman apa itu,  mungkin senyuman palsu yang dimunculkan oleh wanita gemblung yang berpura-pura mensyukuri keutuhannya sebagai wanita.

∞∞∞

Dua windu dengan puluhan purnama telah berlalu. Anak Gendis kian hari kian tumbuh serupa bidadari, secantik ibu yang mengandungnya. Namun siapa yang menyangka kisah anak itu tak seindah rupa wajahnya. Anak itu terlalu bosan dengan kepura-puraan dan pujian palsu yang menyiksa batinya. Dan yang paling menyakitkan, anak perempuan yang dilahirkan oleh gendis itu adalah aku.

“Siapa yang sudi menjadi anak yang lahir dari rahim perempuan binal seperti Gendis?” gerutuku hampir disetiap malam sambil tersedu. Apalagi setelah Gendis menjualku kepada juragan kelapa bekas pacarnya. Tubuhku dijadiak bulan-bulanan juragan semprol yang tak tau adat itu. Kerakusannya memaksaku menyerahkan mahkota terpenting yang ku milikki dengan isakan tangis tak dianggap.

Aku tak henti-hentinya mengutuki Gendis. Hampir di setiap malam, aku menangisi nasibku sendiri, mencoba menceritakan semuanya pada cicak yang setia menempel didindingku . Meskipun perangai dan tutur kata Gendis sehalus sutra, namun kemunafikannya tak lekas hilang dari pandanganku. Anak mana yang akan sanggup menghadapi semua ini, menghadapi perangai kotor perempuan yang harus disebut ibu karena sudah melahirkanku lalu dengan semena-mena menjualku.

Lama kelamaan aku mengetahui asal muasal kegemblungan hidup Gendis. Semua ini tak lepas dari wanita sebelumnya yang juga gemblung. Giarti lah asal dari semua kegemblungan itu, Lalu menurun pada kegemblungan Gendis dan kini dia menyeretku pada kegemblungan yang sama. Aku tertawa getir mendengar cerita itu. Sudah tak ada harapan lagi. Kegilaan ini sepertinya sudah tertulis dalam alur hidupku. Bahkan aku menertawakan status kehidupanku, anak yang tak jelas mana bapak mana kakeknya.

Cerita kegemblungan ini diciptakan pertama kali oleh seorang wanita bernama Giarti. Saat itu Giarti adalah perempuan pengumbar kulit kuning langsat tanpa bekas luka. Baju yang dikenakannya pun kian membangkitkan semangat mata para lelaki yang melihatnya. Dia cantik, namun tak setia. Walaupun telah bersuami, Giarti gemar menggoda dan terkikik bangga saat jakun-jakun kaum adam naik turun menelan ludah menikmati lekuk tubuhnya. Apalagi saat Darto, perjaka tua yang tak mau menikah tapi gemar merayu janda itu bertekuk lutut di hadapannya. Darto berwajah tampan dan tubuhnya kekar, tentu akan bisa memuaskan keinginannya yang menggebu untuk menciduk keringat-keringat cinta yang memuncak.

Kegilaan Giarti kepada Darto semakin menjadi. Giartipun lari tunggang langgang dari pelukan Kartono suaminya, membawa serta Gendis gadis ayu buah cintanya dengan Kartono, lalu diam-diam menikah dengan Darto. Mulanya hidup Giarti bahagia-bahagia saja, apalagi impiannya menikah dengan berondong muda nan gagah itu telah tercipta. Namun hatinya patah berkeping-keping kala mendapati suami barunya itu bermain gila dengan putri semata wayangnya Gendis. Tak bisa dihindari lagi, kobaran api amarah Giarti menjadi-jadi. Cakarnya hampir mencabik sebagian wajah lelaki edan yang tega menyeruput gelas madu milik anaknya.

Namun kegaduhan itu mereda, tiba-tiba seember darah sudah menggenang di lantai. Mata Darto terbelalak kaget, sementara tangan Gendis berlumuran darah. Giarti dibunuh oleh anaknya sendiri, mati di tangan Gendis.

Kini rangkaian cerita itu seakan membayangiku. Cerita wanita-wanita gemblung yang beradu nyawa hanya untuk lelaki seperti Darto – ayah sekaligus kakek tiriku. Lebih menyakitkannnya lagi, aku menjadi dinasti wanita gemblung yang ketiga. Setiap hari aku harus mengerlingkan mataku pada lelaki-lelaki yang haus percikan kembang api cinta. Aku selalu tersenyum semanis mungkin, saat lelaki-lelaki itu memandangi seluruh tubuhku. Pun harus meneguk pahit sebagai wanita jalang yang hina, saat lelaki-lelaki yang berlagak sebagai manusia dari langit itu memandang jijik kepadaku.

Aku memang menjual diriku, itupun karena keserakahan wanita gemblung yang mengandungku. Gendis menjadikanku wanita jalang setelah dia sendiri menjadi jalang. Jangan tanyaka Darto lagi, karena dia sudah mati dikeroyok oleh warga desa karena mengangkangi gadis kampung yang masih bau kencur. Itulah alasan gila Gendis menjualku, katanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari.

Puncaknya saat purnama ke sebelas bernaung di atap bumi. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Mungkin perasaan jijik itulah yang menyakitiku. Menimbulkan rasa takut yang teramat saat bayangan maut kelak tiba. Tiada imbalan yang pantas diberikan kepadaku di hari pengadilan kelak selain api jahannam. Tusukan-tusukan tombak di titik rahasiaku. Sabetan-sabetan pedang di dadaku yang telah dijelajahi pengembara berahi itu. Sayatan-sayatan silet pada setangkup mawar bibirku yang telah dilumat anjing-anjing jalanan. Dan ini semua gara-gara Gendis.

“Aku harus menghentikan ini. Aku muak menjadi wanita jalang. Cukuplah aku menjadi wanita gemblung yang tak pernah menganggap orang yang mengandungku sebagai ibu,” batinku.

Akhirnya pada suatu malam setelah mandi kembang, aku merapal mantra-mantra yang ku pelajari dari dukun. Ku genggam erat boneka jerami yang sedari tadi sudah ku asap-asapkan di atas tungku kemenyan. Ini harus menjadi pelajaran yang menyakitkan bagi wanita gemblung itu. Dia harus merasakan sakit hatiku yang teramat. Dendam kesumat karena sudah berani-beraninya melahirkanku ke dunia dan menjadikanku wanita gemblung berikutnya.

Dengan amarah yang memuncak ku tusukkan paku di genggamanku ke boneka jerami. Seketika itu ku dengar teriakan wanita jalang itu. Jelas aku tau pasti apa yang terjadi, tapi aku memilih diam dan meneruskan ritual setan untuk menyakitinya. Ku tusukkan paku itu berkali-kali sampai tak terdengar lagi teriakannya. Wanita itu pasti sudah mati. Aku tersenyum sinis merayakan kematiannya. Perlahan ku bersihkan kamarku yang gelap itu dan berpura-pura panik menuju kamar sebelah, kamar tempat ibuku seharusnya nyenyak tidur.

Di kamar itu sudah beberapa orang berkumpul, panik dan ketakutan melihat kondisi wanita yang mereka sebut ibuku terbujur kaku tanpa nyawa. Aku sendiri hanya diam memandanginya. Merelakan kepergiannya tanpa sedikitpun tetesan bulir air mata.

Tiba-tiba suara itu kembali menyibak pandanganku, membuatnya sedikit kabur dan memunculkan bayangan baru. Bayangan hitam saat pertama kali Gendis menjual tubuh mungilku. Hatiku perih, sakit dan teriris. Jiwaku kerap meronta dalam pesakitan panjang yang terbalut dendam. “Aku harus memutus rantai dinasti wanita gemblung ini,” gumamku lirih.

Dengan serta merta ku ambil sebilah pisau. Menggenggamnya erat dan menusukkannya tepat di perutku sendiri. Aku tersenyum puas di balik rasa sakit yang perlahan ku rasakan. Ku dengar jerit beberapa orang yang menyaksikan adegan gilaku ini, aku tak perduli. Aku adalah wanita gemblung terakhir yang berjasa. Aku telah memutus rantai wanita gemblung yang pernah ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun