[caption id="attachment_353321" align="alignright" width="225" caption="HUT RI 69 -- Repro Internet"][/caption]
Dulu... seringkali aku duduk bersila diam mendengarkan orang tua bercerita. Mataku berkedip pelan, telinga tetap menganga takjub mendengarkan. Kadang ada rasa perih mengiris di dada ini, saat mereka mulai bercerita tentang kekejaman belanda atau beringasnya jepang. Ingin rasanya dulu aku cepat beranjak besar, pintar, terpelajar dan membela negara ini mati-matian.
Dulu... lagu kebangsaan sering di dendangkan. Pancasila hafal, lagu daerah dilombakan. Anak-anak dengan semangat menyanyikannya serentak. Berbaju putih, bawahan merah dan dikuncir pita warna merah putih. Indah rasanya saat itu....
Dulu... bermain dengan teman begitu menyenangkan. Sekedar tembak-tembakan dari ranting kayu dengan peluru biji salam. Atau bermain petak umpet sampai petang datang. Kesedihan adalah saat teman tak datang, kesedihan adalah saat teman sakit—karena bermain tak akan asyik jika tak ada teman.
Dulu... moment HUT Kemerdekaan dinantikan. Sekedar berdandan ala baju daerah atau pahlawan kemerdekaan. Dulu lomba makan kerupuk, balap karung, balap kelereng, panjat pinang semua semarak. Kebersamaan adalah sisi kesatuan yang dilambangkan
Aah... Dulu telah usai. Sekarang semua itu hanya menjadi kenangan. Orang asik mendengarkan sinetron pertengkaran, fitnah, dan perpecahan. Sesama saudara saling mengolok dilegalkan dalam tayangan televisi dan disaksikan.
Kini generasi bangsa tak mengerti lagu daerah, lagu kebangsaan saja terkadang tak hafal. Pancasila dirubah menjadi enam. Baju merah putih menjadi basi, hilang ditelan bumi. Kata mereka banyak warna yang lebih indah dari warna merah dan putih.
Lihat saja sekarang. Anak terkurung di dalam rumah dengan gadget kesayangan. Tak mengenal teman dan tak membutuhkan teman. Bermain lebih asyik jika tidak ada teman, karena tidak ada yang mengganggu. Lama kelamaan semakin apatis, tak peduli dan tidak memiliki rasa saling empati. Kamu kamu aku aku.
Sekarang ulang tahun kemerdekaan adalah tradisi, asal semarak uang berapapun dibayarkan. Tapi jiwa-jiwa mereka seperti terlepas darinya. Ungkapan syukur dibayar dengan mengeluh dan menyalahkan. Andai para pahlawan bisa dihidupkan kembali, kira-kira apa yang akan mereka katakan? (Iin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H