Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Perihal Sawah yang Menuju Punah

13 September 2016   15:40 Diperbarui: 13 September 2016   18:51 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh tani menanam padi di lahan sawah di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. (Kompas)

Setiap kali ada kesempatan pulang kampung, saya selalu menyempatkan diri untuk bersepeda. Yach, bersepeda yang hanya kayuh-kayuh manja saja, tak perlu sampai ngos-ngosan meneteskan peluh layaknya para atlet olahraga. Konon, selain mendapat manfaat kesehatan secara fisik, seperti aktivitas olahraga yang lain, bersepeda juga akan memberikan efek baik bagi kesehatan jiwa.

Ndak perlulah kita kaji lebih jauh bagaimana mekanisme dan reaksi-reaksi yang diolah oleh otak kita dan efek yang dihasilkan oleh organ-organ tubuh lainnya sehingga bisa merasakan sensasi bahagia dari bersepeda, nanti dikiranya saya sok tahu dan keminter, padahal kan memang iya. Jadi tolong disetujui sajalah apa yang telah saya tulis di atas.

Kembali ke perihal bersepeda tadi. Biasanya saya akan mengambil rute yang bukan jalan raya utama. Maklum sajalah, di kota kecil ini, jalan protokolnya sangat tidak cocok untuk sepedaan sepoi-sepoi. Lha gimana ndak, wong hampir dua per tiga isinya adalah motor, dan dua per tiga bagian dari motor itu dikendarai oleh adek-adek, embak-embak, dan tentu saja ibuk-ibuk bermotor matic. Bukannya mau generalisasi, tapi dengan gambaran itu pasti sudah ndak perlu lagi saya deskripsikan keruwetannya.

Menilik dan menimbang risiko disrempet secara memalukan dan menyakitkan, saya pun lebih suka melipir cari rute yang lebih aman. Saya akhirnya suka nrabas mencari jalan-jalan yang melewati persawahan. Entah kenapa, bersepeda di sekeliling hijaunya sawah itu membawa nuansa tersendiri yang sangat menyenangkan hati.

Nah, sebenarnya masalah sawah inilah yang pingin saya rumpikan dari tadi, tapi malah kelamaan intro ndak penting seperti biasa, maafkan.

Apa sih yang menarik dari nggosip tentang sawah. Jadi begini, makin ke sini saya makin sedih melihat komdisi sawah di kampung halaman. Apa pasal? Setiap kali saya bersepeda dan kembali di hamparan lokasi sawah yang sama, dari waktu ke waktu selalu terjadi perubahan yang drastis. Bukan perubahan terhadap tanamannya, tapi perubahan terhadap luasan lahannya.

Saat dua bulan yang lalu misalnya, sawah itu masih menghasilkan bulir padi yang montok dan berisi, kini telah berganti dengan fondasi sebuah komplek perumahan. Belum lagi hamparan luas sawah yang biasa saya lihat dari balik jendela kereta api, kini sudah malih warni menjadi tanah biasa, yang sebentar lagi saya yakin pasti digunakan untuk kepentingan industri.

Bukannya saya tidak mendukung kemajuan daerah dengan bertaburnya investasi di sana-sini. Tapi kalau ingat sawah yang subur dengan pengairan sepanjang tahun kemudian berubah menjadi lokasi pabrik atau perumahan, kok hati saya jadi sedikit maknyut gitu, sakit-sakit gimana.

Saya memang tidak lahir dari keluarga petani dan tidak memahami benar bagaimana bercocok tanam. Namun, saya tahu kalau kodrat tanah negara kita terutama di Pulau Jawa adalah agraris. Tanah yang begitu subur sehingga saat dilempar tongkat dan kayu pun, tak perlu diragukan lagi akan berubah menjadi tanaman yang menghasilkan. Apalagi menilik kenyataan bahwa hampir semua penduduk kita adalah konsumen nasi, apa ya ndak kojur nanti kalau sawahnya musnah semua.

Okelah ya, saya juga tidak menafikan bahwasanya jumlah penduduk itu makin membeludak karena ternyata pelajaran biologi wabilkhusus ilmu reproduksi sudah dipraktikkan dengan baik dan benar. Dengan semakin banyaknya orang tentu saja kebutuhan akan tempat tinggal juga berbanding lurus sehingga alih fungsi lahan kian tak terbendung.

Tapi kalau sudah begitu, apa artinya manusia boleh saja semena-mena melibas semuanya. Pemilik lahan sawah mungkin saja terpikat dengan iming-iming duit gede yang dikeluarkan para pemodal. Tapi semua tak bisa disalahkan begitu saja, jangan-jangan memang keuntungan jualan tanah lebih besar daripada ketika diolah dan masih menjadi sawah. Menjadi petani apalagi petani gurem yang lahannya tak seberapa memang banyak risikonya. Sudah ongkos tanam dari pupuk, benih dan pestisidanya mahal, nanti pas mau panen mesti deg-degan diserang hama, ndilalah apesnya pas panen beneran lha kok ndak laku dijual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun