Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Nisan Tak Bernama di Belakang Kuburan

30 Maret 2015   09:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:48 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada yang lebih menyenangkan hati Bintoro selain menyelesaikan semua pekerjaannya dengan tuntas. Ketika semua orang yang sekejap lalu telah meramaikan tempat tinggalnya dan kembali pulang ke rumahnya masing-masing dengan membawa perasaan yang berwarna warni, saat itulah Bintoro kembali meneruskan pekerjaannya, tidak seberat sebelum orang-orang berdatangan kemari memang, tapi tak ada lagi manusia yang mau bekerja seperti Bintoro.

***

Semua bermula ketika ia keluar dari penjara, tempat yang enggan dijejaki oleh siapapun yang masih berpikiran waras. Kalaulah Bintoro ditanya dia pun akan menjawab tak mau untuk tinggal di dalam tempat berjeruji sepanjang hari selama 21 tahun 7 bulan 5 hari. Bintoro sendiri sudah lupa atau tepatnya berusaha untuk melupakan penyebab dia masuk tempat pesakitan selama itu. Satu hal yang diyakininya dengan sungguh-sungguh dalam lubuk hatinya adalah bahwa ia tidak melakukan semua hal yang dituduhkan kepadanya. Tapi Bintoro sudah lelah dengan semua tahap dari penangkapan, penyelidikan, penyiksaan hingga persidangan omong kosong yang digelar tanpa pernah mempedulikan pembelaan yang dia miliki.

Menyandang status mantan narapidana di masa itu bukan perkara mudah, begitupun yang terjadi dengan Bintoro. Perlahan dan pasti semua orang yang dikenal menjauhinya, ada yang merasa kalau Bintoro tak pantas lagi masuk dalam lingkungan pergaulannya, tapi banyak juga yang memilih jalan aman. Dengan tidak berhubungan dengan Bintoro setidaknya kehidupan mereka tidak akan diusik atau apes-apesnya masuk bui. Satu-satunya orang yang masih menganggap Bintoro manusia adalah Simboknya, setiap bulan selama tahun-tahun pertamanya dipenjara, Simbok selalu menjenguk dan membawakan masakan ala kadarnya tak peduli dia harus berhutang sana sini untuk membayar ongkos pergi pulang dari rumah ke penjara. Tapi Bintoro akhirnya harus tahu diri bahwa tak ada lagi manusia yang peduli padanya setelah mendapat kabar bahwa Simboknya mangkat di tahun ketiga ia dipenjara menyusul Bapaknya yang sudah berpulang saat ia masih bayi.

***

Seharusnya Bintoro bahagia, hari ini ia keluar dari penjara, tapi sungguh Bintoro bingung apa yang harus ia lakukan sekeluarnya dari sini. Tak ada lagi orang yang mengharapkan kepulangannya, tak ada lagi rumah yang harus ia tuju. Untunglah ia punya sedikit bekal uang disakunya dari hasil upah bekerja di dalam penjara. Dengan uang yang tak seberapa itu ia memutuskan untuk mengembara, entah kemana dan mau apa Bintoro tak tahu. Dari terminal kota itu ia naik bus sekenanya,duduk di kursi kosong dekat jendela. Hawa pengap dari bus tanpa pendingin udara tak lagi ia rasa, hanya satu yang Bintoro inginkan bus itu lekas jalan meninggalkan tempat yang penuh kenangan mencekam. Sempat terlintas dalam benaknya untuk sekedar menengok kuburan simboknya, tapi kemudian ia patahkan karena Bintoro yakin, doa yang tulus ia panjatkan tiap hri sudah cukup untuk kebaikan Simboknya disana. Bintoro sudah bertekad tak akan menginjak kampungnya lagi, ia tak hendak bertemu dengan orng-orang dari masa lalunya, ia ingin membebaskan mereka dari ingatan tentang dirinya selamanya.

***

Pertama menjejak di tanah asing ini Bintoro hanya berjalan mengandalkan insting belaka. Karena ia lapar, maka ia mencari warung makan. Ditempat iru dimana orang-orang tak tahu masa lalunya, Bintoro merasa menjadi orang yang normal, tak ada yang berusaha menjauhi atau tampak alergi terhadapnya. Ia sama dengan yang lainnya, datang, duduk, makan dan bayar, oh ya dengan sekali kali ngobrol tentu saja. Bintoro masih terpekur duduk dihamparan sajadah mushola, sejak maghrib tadi dia sudah disini. Tapi sampai selesai isya’ jumlah jamaah tak lagi bertambah, hanya dia, imam sholat dan satu jamaah yang juga muazin. Perbincangan mereka selepas isya membawa babak baru dalam kehidupan Bintoro, Pak Salim sang imam yang sudah sepuh itu menawarkan makan malam bersama di rumahnya, dan Pak Miun yang adalah penggali kubur dan telah uzur adalah berbaik hati menyediakan tempat tinggal baginya.

***

Dua puluh satu tahun berselang sejak peristiwa di mushola malam itu, Bintoro kini enam puluh dua, pak salim dan pak muin sudah lama pulang kembali ke keabadian, tak ada yang berubah dengan jumlah jamaah, tetap tiga seperti yang dulu. Bedanya sekarang Bintoro yang jadi imam dan makmumnya dua bocah usia kelas 3 SD bernama Puthut dan Iqbal. Tak hanya mewarisi posisi Pak Salim, Bintoro juga mewarisi pekerjaan Pak Muin, iya kini ia seorang penggali kubur.

Tentang menggali kubur awalnya memang berat dilakukan, tapi lama-lama Bintoro menikmati pekerjaan itu. Semua juga tak lepas dari ketelatenan Pak Muin dalam mengajari dan memberi semangat semasa hidupnya. Pak Muin duda tanpa anak itu tak pernah menyangka akhirnya mendapatkan penerus, akhirnya ia bisa meninggalkan segala rupa dunia tanpa beban mengganjal, Bintoro orang yang tiba-tiba datang di kampung itu seolah-olah dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan kampung itu dari kepunahan seorang penggali kubur.

***

Bukannya Bintoro tidak berusaha mencari pengganti, tapi semua yang dilakukan tak ada yang bertahan lama. Agus,Dhani, Ari ketiganya pemuda kampung ini pernah membantu Bintoro dalam waktu yang berbeda, namun semua tak bertahan lama, tak sampai hitungan bulan mereka menyerah dengan pekerjaan ini. Bintoro memang bukan penggali kubur biasa, ia merawat orang sejak mereka menjadi mayat, memandikan, mendoakan,juga mencari petak tanah kubur untuk rumah masa depannya. Semua dilakukan dengan keikhlasan. Entah mengapa seisi kampung ini seperti tak mau berurusan dengan orang yang sudah kehilangan ruhnya. Berulang kali Bintoro mengingatkan bahwa dirinya sudah tua dan saatnya mencari pengganti, tapi orang-orang tak mau peduli dan berpikir bahwa Bintoro tak akan pernah mati.

Bintoro memandang dari rumahnya, tepatnya rumah pak Muin yang diberikan kepadanya. Ada liang baru di sisi paling belakang kuburan, tepat di selatan pohon maja, disitu dia berencana untuk tidur selamanya jika waktunya tiba, yang entah kapan dia tak tahu, hanya saja Bintoro tak ingin menyusahkan orang di kampung itu, untuk itulah dia sengaja menyiapkan liang lahatnya sendiri lengkap dengan nisan tanpa nama sebagai sebuah penanda sambil terus memanjatkan doa semoga ada yang mau merawatnya saat dia sudah tak bernyawa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun