Nganu, ini saya ndak lagi ngomongin tempat wingit, penampakan, apalagi ngrasani mbokdhe Valak yang mbikin abege jejeritan di film conjuring yang sedang booming. Kebetulan, saya ini cermin manusia yang sangat total dalam merepresentasikan diri sebagai mahluk yang penuh keluh dan kesah. Jadi sebenarnya tulisan ini ya masih seputaran tentang grundelan dan sambatan. Semoga saja ndak bikin eneg buat yang sudah terlanjur baca.
Saya sakjane yo sudah agak mulai selow mengenai ini, tapi koq ya ndilalah ada seorang kakek males nulis yang komen masalah ini. lha kan saya jadinya terprovokasi buat nggambleh lagi.
Balik lagi ke judul diatas. Kalo bunyinya begitu, berarti yo jelas kalau saya sedang mengeluhkan tentang fasilitas di mushola. Mohon maaf sebelumnya, saya ndak sedang menggeneralisasi lho ya. Saya hanya melihat fakta di sebagian masjid dan mushola yang pernah saya singgahi. Jadi ndak perlu marah atau mencak-mencak kalau toh memang di tempat njenengan tidak demikian keadaannya.
Mari kita telisik sejenak , Kalau njenengan beragama islam dan kebetulan senang ngadem atau belanja di mall, pasti kebutuhan akan mushola menjadi penting. Yang namanya mall pastilah megah, bermandi cahaya, menguarkan wangi yang mengelus syaraf penciuman dengan sempurna dan absolutely resik. Sayangnya keadaan yang demikian seringkali tidak berlaku untuk sarana ibadahnya. Beberapa kali saya temukan tempat sholat yang berada di area parkiran dengan kondisi yang jelas ndak nyaman. Sumuk karena tak berpendingin udara dan pengap karena terlalu sempit ditambah campuran gas buangan knalpot mobil yang lalu lalang.
Tapi intinya saya ndak mempermasalahkan tempatnya, wong sholat bisa dilakukan dimana saja sepanjang hamparan bumiNya. Tapi lha koq apesnya, sudah tempatnya ndak nyaman, sarana prasarananya juga tut wuri handayani. Tempat wudhu yang lumutnya bisa mbikin nggeblag kalo jalannya kurang hati-hati, toilet yang ‘nuwun sewu’ bisa mbikin hasrat kebelet tiba-tiba menguap dan mukena yang mungkin lupa dicuci berbulan-bulan.
Kita pindah lokasi lagi, kali ini saya sedang dalam perjalanan di daerah Jawa Barat. Karena waktu sholat makin mépét, kami pun memutuskan berhenti di sebuah masjid  yang notabene masih baru dan bagus bangunan fisiknya. Waktu kami mau berwudhu, kami mesti melewati kolam cuci kaki yang airnya surut dengan warna air yang mungkin lebih cocok untuk dijadikan jamu paitan.
Saya pun jalan dengan hati-hati takut terpeleset lumut yang sudah ngendon dengan sempurna di dasar air. Begitu sampai di tempat wudhu, lha koq airnya ngadat. Tiba-tiba dari arah belakang, ada ibu-ibu yang bilang kalau wudhunya di kamar mandi saja. Pas masuk kamar mandi, tiba-tiba hidung saya yang mancung ke dalam ini mencium bau yang warbiyasah. Mungkin itu semacam bau pipis purba yang lupa tidak disiram sehingga menghasilkan aroma yang pekat ,galak dan tidak bersahabat. Demi air wudhu, saya terpaka mengambil ajian nyilem ala ikan duyung, tahan napas dan wudhu dengan buru-buru.
Alhamdulillah meski air keran mengalir antara ada dan tiada, namun cobaan terlampaui. Syukurlah, saya ndak lupa bawa mukena. Kebetulan tempat wanita ada di serambi, pas saya mau nggelar sajadah yang tersedia, lha koq mak bul, debunya terbang kesana kemari, refleks saya pun terbatuk. Gara-gara kejadian itu, akhirnya saya memperhatikan sekeliling dengan lebih seksama. Pandangan mata tertumpu pada telapak kaki yang sudah berubah warna karena ternyata saya menginjak lantai yang berlapis debu-debu intan. Daripada saya hanya mbatin, saya pun berkeliling dan menemukan sapu. Tanpa izin, saya pun lancang menyapu sebelum akhirnya bisa sholat dengan tenang.
Tiba-tiba saya ingat peristiwa sekitar sepuluh tahun lampau. Saat itu kampus pindah ke lokasi baru. Tempat kuliah, laboratorium hingga mushola adalah bangunan baru. Karena bangunan yang masih gress itu, maka kotor mudah sekali terlihat. Begitu juga yang terjadi dengan tempat wudhu di mushola. Entah kenapa, sepertinya lumut dan jamur sangat berbahagia menetap disana. Saya dan teman-teman sebenarnya merasa gerah dan pingin mengambil sikat.