shutterstock
Zaman semakin maju peradaban semakin berkembang hingga terkadang sesuatu yang lazim dianggap ketinggalan. Manusia semakin mencari sesuatu yang tidak biasa, tidak mainstream karena dianggap memiliki nilai prestise yang tinggi. Tak terkecuali dalam memilih hewan kesayangan, semakin aneh, unik dan jarang ditemui maka nilai gengsi bagi pemiliknya semakin meningkat. Sudah jamak ditemui bahwa satwa liar diperjual belikan dan menjadi komoditi laris bagi para hobiis. Tengoklah nama-nama seperti Iguana, Sugar Gliders, Corn Snakes, Chameleon, Leopard Gecko hingga Katak beracun Poison dart Frogs sampai dengan Panther, Harimau, Beruang madu dan kucing hutan bisa diboyong ke rumah dan berinteraksi dengan para penghuninya seperti layaknya anjing, kucing dan kelinci.
Sampai saat ini diperkirakan bahwa nilai perdagangan internasional mencapai nilai yang fantastis hingga 6 milliar US dollar, sungguh angka yang sangat menggiurkan sehingga tidak heran godaan untuk melakukan penyelundupan dan perdagangan illegal menjadi marak. Adanya penjualan tentu saja karena ada permintaan, banyak diantara para kolektor yang seperti mengalami sedikit “kecanduan” untuk terus memiliki hewan peliharaan yang limited edition, beda dengan orang kebanyakan. Keadaan ini semakin mendapat dukungan dengan tumbuhnya komunitas penyayang binatang yang mungkin saja namanya baru pertama kali kita dengar.
***
Katakanlah saya seorang plin plan yang tidak sepenuhnya pro dengan para hobiis yang memilih satwa liar sebagai binatang peliharaan, pun begitu saya juga tidak selalu kontra dengan kegemaran yang anti mainstream ini. Dua sisi ini pasti memiliki pembelaan yang berdasar. Saya hanya ingin menyampaikan konsekuensi dari sebuah pilihan ketika kita sudah menjatuhkan hati kepada seekor satwa liar untuk dijadikan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagai informasi awal, memelihara satwa liar mengandung berbagai risiko yang bisa disederhanakan menjadi tiga bagian yaitu risiko bagi hewan atau satwanya sendiri, risiko bagi manusia atau pemiliknya dan risiko terhadap lingkungannya.
***
Benarkah ada dampak negative bagi satwa liar yang dipelihara? Jelas jawabannya iya, mereka adalah hewan yang memiliki sifat liar, berasal dari alam yang liar dan kodrat sebenarnya adalah tidak berhubungan langsung dengan sentuhan tangan manusia. Jangan pula dilupakan bahwa satwa liar memiliki pola perilaku , kebiasaan dan kondisi yang sepenuhnya berbeda dengan hewan yang sudah didomestikasi.
Ketika akhirnya pemilik tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan mengakibatkan satwa liar peliharaannya tidak patuh dan kembali ke sifat asalnya, tak jarang dari mereka mengambil jalan pintas seperti memukul, merantai, mengurung bahkan tindakan-tindakan ekstrim seperti mencabut gigi yang jamak dilakukan para pegiat topeng monyet. Jika sudah begini maka kondisi kesehatan mereka pun menjadi taruhannya. Trauma, stress, kurang gizi dan tak jarang berujung pada kematian jika tidak mendapat penanganan yang tepat.
Bahaya tidak berhenti di satwa liar itu saja, jika mereka dipelihara bersama dengan hewan-hewan rumahan seperti anjing ,kucing atau peternakan lain seperti sapi dan kambing maka ada risiko lain yaitu penularan penyakit. Beberapa diantaranya adalah rabies, anthrax, foot and mouth disease, leptospirosis,
***
Lantas apakah ada bahaya yang mengancam manusia/pemilik satwa liar. Dengan berat hati pasti iya adalah jawabannya. Temperamen satwa liar yang sulit ditebak dan dapat berubah karena kondisi cuaca ataupun siklus yang kurang dipahami mengakibatkan satwa liar tidak terkat dengan pemiliknya seperti yang biasa terjadi dengan hewan yang sudah didomestikasi. Jadi tak heran bila sering ditemukan serangan dari satwa liar kepada pemiliknya.
Hal penting lain yang patut diwaspadai adalah risiko penularan penyakit . fakta yang cukup mencengangkan adalah bahwa ada 144 penyakit pada manusia yang disebabkan oleh agen pathogen dari satwa liar. Dan lebih dari 70% dari penyakit muncul dan menular (emerging infectious disease) berasal dari satwa liar.
Penyakit yang bisa menular dari satwa liar ke manusia antara lain rabies, brucellosis, nipah virus, AIDS, leptospirosis, ebola virus dan lain-lain. Penyakit parasit internal seperti cacing ascaris, cacing pita dan protozoa juga dapat menular khususnya pada bayi dan anak-anak. Parasit eksternal seperti kutu, tungau dan caplak juga menjadi zoonosis potensial.
***
Risiko terakhir adalah dampak bagi lingkungan. Permintaan yang tidak sebanding dengan ketersediaan juga perkembangbiakan yang sulit dan tidak serta merta dalam waktu singkat membuat para pedagang banyak yang gelap ,mata karena tergiur keuntungan. Akhirnya banyak yang mencari satwa liar langsung ke habitatnya langsung hingga menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu.
Selain itu kemungkinan pemilik yang tidak bisa mengendalikan perilaku satwa liar yang dipeliharanya membuat mereka menyerah. Bahkan dari sebuah sumber disebutkan bahwa untuk mengubah serigala menjadi anjing peliharaan membutuhkan waktu ribuan tahun. Mungkin ada pemilik yang sadar dan kemudian menyerahkan ke tempat penampungan atau menitipkan ke kebun binatang, tentunya dengan persyaratan yang sangat ketat. Namun banyak pemilik yang tidak mau tahu dan memutuskan untuk melepaskan satwa liar peliharannya begitu saja, tentu saja hal ini selain membahayakan satwa itu sendiri juga mengancam keselamatan satwa lainnya bahkan terkadang membahayakan manusia yang tinggal di lingkungan tersebut.
***
Tidak ada yang salah dengan menjadikan satwa liar sebagai peliharaan sepanjang hal tersebut dilakukan dengan legal dan bertanggung jawab. Namun sebaiknya kita bisa lebih bijaksana dan juga menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki kehidupan dialamnya sendiri, dimana mereka akan lebih aman dan terjamin kelangsungan hidupnya, tidak semua yang indah dilihat harus kita miliki bukan? salam
sumber : OIE, WHO, wildrehabinfo.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H