Namanya Mbah Ti, ehmm saya sendiri nggak tahu nama lengkapnya, tapi orang-orang disini lebih sering menyebut namanya Mbah Ndabong, itu nama kampung dimana dia tinggal, atau malah Mbah Gedhang, itu karena kesehariannya ia jualan pisang dan sayur mayur serta telur bebek.
Entah sudah berapa lama Mbah Ti jualan pisang, mungkin sudah lebih dari empat dasawarsa atau bahkan lebih , pokoknya sejak saya kecil dan bapak ibuk pindah kesini Mbah Ti sudah jualan pisang keliling dari rumah ke rumah. Jadi bisa dikatakan pagi hari tanpa ketemu Mbah Ti dan teriakan khasnya yang kecil melengking “pisang buuu, tigan bebek, ron tela” itu ibarat makan nasi tanpa dicocol sambal, kurang lengkap.
Jadi kalau saya mudik ke rumah seperti minggu kemarin itu saya seperti menemukan kembali kepingan masa lalu. Saat matahari masih hangat dan nyaman di badan, langit masih sendu, embun masih menempel di dedaunan, udara masih segar, induk burung baru saja balik ke sarangnya membawa makanan untuk anaknya, saat itulah sesosok tubuh yang kecil dan agak bungkuk berjalan perlahan dari arah timur, beberapa kali dia berteriak menjajakan barang dagangannya.
Saya yang kangen dengan Mbah Ti pun menghampiri, ternyata dia masih hafal dengan saya, saya lihat bakul di gendongannya isinya masih sama pisang berpuluh-puluh sisir, beberapa macam sayuran hijau seperti bayam, kangkung, pariya dan kacang panjang, tas anyaman yang ditenteng di tangan kanannya pun penuh dengan telur bebek dan telur ayam kampung. Sungguh masih seperti puluhan tahun lalu.
Ketika beberapa sisir pisang dan telur bebek berpindah tangan, saya mencoba menolong mengangkat bakul itu kembali ke gendongan di punggungnya, fiuh ternyata beratnya ndak main-main. Belum lagi ditambah tentengan telur mentah yang rawan pecah, padahal Mbah Gedang ini perawakannya kecil cenderung kurus. Ndak bisa mbayangin setiap hari mesti mengangkut beban seberat itu dan semua ditempuh dengan berjalan kaki menapaki jalan yang tidak semuanya mulus, jarak yang mesti dilalui pun tidak dekat sekitar 7 km an, jadi kalau bolak-balik ya bisa 15 km plus-plus dengan mampir dari rumah ke rumah.
Kalau ditanya berapa umur pastinya sih Mbah Ti selalu jawab nggak tahu, tapi menilik ceritanya sepertinya simbah satu ini telah melewati usia kepala tujuh. Mungkin banyak yang menyangka betapa tega anak-anaknya yang membiarkan ibunya yang telah lanjut usia ini tetap berjuang mencari nafkah, namun Mbah Gedhang sendiri berpendapat bahwa sebenarnya anak cucu sudah mencoba membujuknya untuk berhenti berjualan dan istirahat dirumah saja, tapi dia sendiri masih merasa mampu dan bersemangat untuk terus berjualan, dia bertekad akan tetap menjual pisang dan aneka sayuran dari rumah ke rumah sampai ia tak sanggup lagi berjalan.
Setiap harinya sejak berpuluh tahun silam, setelah menunaikan shalat subuh, ia mulai berjalan perlahan keluar rumah membawa barang dagangan yang biasanya ia dapat dari kulakan membeli hasil kebun tetangga sekitar yang sudah dipersiapkan sore sebelumnya. Tak banyak untung yang didapat dari hasil berjualan ini, namun dari yang tidak banyak itu Mbah Gedhang mengaku sudah bisa mengantarkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang walaupun tidak sampai jenjang tertinggi tapi mampu mengantarkan anak-anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari dirinya, dan sekarang ketika anak-anaknya sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri maka keuntungan dari berjualannya sekarang ia gunakan untuk menyenangkan cucu-cunya, terkadang membeli jajan atau pernak pernik kebutuhan sekolah. Oh ya Mbah Gedhang memenag sengaja tidak naik angkutan umum dan memilih berjalan kaki dari rumahnya agar ongkos transportnya bisa disimpan dan dibagi ke cucu-cucunya.
Saya percaya masih banyak sosok-sosok yang lebih hebat diluar sana, tapi setidaknya sosok Mbah Ti mampu menginspirasi saya dari dulu. Dari dulu saya mengagumi etos kerjanya yang begitu tinggi, semangat pantang menyerah dan juga tekad untuk mengantarkan keturunannya agar bisa hidup lebih baik darinya.
Usia senja dan tubuh yang ringkih tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja, andai saja semua mau bersikap seperti ini pasti semua akan menjadi lebih baik, tak ada lagi peminta-minta yang aslinya bertubuh tegap tiba-tiba menjadi pincang ketika sudah sampai di tempat kerja di sebuah perempatan jalan, atau pemuda tanggung yang ngakunya seniman jalanan malah jadi preman tukan palak di sebuah angkutan.
Untuk Mbah Ti semoga engkau selalu diberi nikmat sehat dan nikmat panjang umur agar tetap dapat menularkan semangatmu ke setiap orang yang engkau temui, aamiin
*sengaja ndak pake photo ya, bukan maksud hoax tapi nggak enak aja buat di publish :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H