Oleh: Iin Indriyani
Ramadhan kembali tiba. 2019, empat kali puasa, aku tak kunjung pulang. Menjelang tahun keempat, nasibku tak semujur tahun yang sudah-sudah. Lepas pasien yang kurawat meninggal pada bulan Februari kemarin, aku belum menemukan majikan yang cocok sampai bertemu di bulan Mei. Terlunta-lunta di asrama luar adalah pemborosan. Satu hari wajib membayar NTD 200 hanya untuk tidur, listrik dan mandi saja. Belum uang makan, pulsa, serta kebutuhan lainnya. Berminggu-minggu tinggal di tempat itu jelas membuat gajiku ludes, habis tak tersisa. Agency-ku sengaja membiarkan aku menganggur terlalu lama, lantaran aku tidak mau menurut terhadap mereka. Tentu saja, siapa pula yang mau dijadikan budak di rumah mereka, handphone disita, bersih-bersih empat lantai, tanpa gaji, tanpa makanan layak, selain bekas sembahyangan dan sedikit sisa sayuran yang-pun tidak layak mereka berikan kepada anjing di jalanan. Tak berperikemanusiaan!
Ini kali kedua aku menetap di asrama terbuka yang terletak tak jauh dari pusat Kota Taichung. Hanya lima menit naik bis untuk sampai ke piramyd, pusat perbelanjaan dan tempat favorite para buruh migran yang berdomisili di wilayah Taiwan Tengah. Setelah pasienku meninggal, aku dioper merawat kakek dengan anak perempuannya yang memiliki masalah mental di Kota Wuri. Setiap hari pekerjaannya marah-marah tidak jelas, tidak di rumah, maupun di tempat umum. Urat malu perempuan itu entah sempat terputus dimana. Di rumah itupun aku tidak diberi tempat tidur layak selain sofa panjang depan televisi yang setiap malam pasrah kutiduri. Bahkan, aku orang ke-tujuh yang bekerja di rumah itu dalam waktu kurang dari setahun. Menurutku yang lebih gila dari perempuan itu, adalah Agency-ku sendiri. Sudah sadar tidak ada yang betah karena banyak masalah, masih saja melempar pekerja tanpa persetujuan kami terlebih dulu. Of Course, semua karena mereka saling memberi keuntungan dan uang! Tetapi sayangnya, aku tak sepolos enam orang sebelumku yang memilih jalan pulang. Setelah dua bulan permohonan pindah diabaikan, aku nekat kabur dan kembali ke asrama terbuka itu lagi. Perempuan gila dan Agency itu tentu saja mengamuk sejadinya. Tapi aku tak peduli. Setidaknya aku puas, sudah berhasil membayar kelicikan mereka dengan kejutan kecil yang kuperbuat.
Di tengah kesulitan, aku mengenal lelaki muda orang Taiwan yang ternyata juga seorang Agency. Memang, di asrama terbuka itu sering didatangi banyak Agency yang menawarkan job kepada kami. Kami terlebih dulu ditawari untuk cek lokasi. Jikalau cocok antara majikan dan kami setuju, barulah mereka yang akan menarik kami dari Agency lama. Sebelumnya aku tak menyangka, laki-laki itulah yang membantuku keluar dari masalah ini. Walau penuh drama pertengkaran dengan Agency lamaku, akhirnya aku berhasil keluar dari jerat perbudakan atas bantuan lelaki muda baik hati itu. Dokumenku di Agency lama ditukar dengan uang NTD 12.000. Uang itu dibayar oleh calon majikan baruku dan setengahnya olehku. Tak apalah, yang terpenting aku bisa bebas dari cekikan Agency bobrok mata duitan yang kugaji setiap bulan selama hampir tiga tahun di Taiwan. Good Bye!
Sebelumnya, aku sudah cek lokasi bersama Agency baruku di Kota Qingshui, sebuah kota yang terkenal dengan obyek wisata pantai Gaomey Wetland yang masih berada di Kabupaten Taichung. Di sana, aku dibawa ke panti jompo besar yang jauh dari jalan raya. Agency baru yang kupanggil Keke berkata, bahwa pasien yang nanti aku rawat masih berada di tempat itu. Kami naik ke lantai atas, lorong demi lorong, pintu demi pintu kami lewati, sampai tiba di ruangan cukup lebar dengan enam ranjang pasien didalamnya. Hanya ada lima pasien, sedang satu ranjang dekat toilet itu kosong. Kami mendekati seorang kakek kurus yang tidur disebelah ranjang kosong tersebut. Ia tertidur, sesekali kelopak matanya bergerak pelan. Mulutnya terbuka, giginya ompong. Saat Keke memanggilnya, Ia-pun membuka mata dan tertawa polos layaknya anak kecil. Hatiku bergetar, terharu. Terbawa suasana hening yang mungkin jauh lebih hening keadaan hati para lansia yang dititipkan keluarganya di sana.Â
"Bagaimana, Ani. Apa kamu bersedia merawat beliau? Kasihan, dia tidak ada yang menjaga maka dari itu dia dititipkan di sini." Ujar Keke.Â
Aku terdiam.
"Lagian tubuhnya kurus sekali, paling 40-an kilo. Kamu tidak akan susah untuk mengangkatnya jika mau mandi." Tambahnya.
Aku belum bergeming, kedua bola mataku masih menatap kakek renta itu. Kudengar beliau memiliki tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan. Semuanya sudah menikah, hanya satu anak laki-laki yang tidak. Itu artinya, beliau memiliki tiga menantu beserta cucu-cucu. Tetapi malang sekali, tidak satupun dari mereka yang berkenan merawat beliau dengan tangan mereka sendiri. Atau mungkin mereka bisa membayar perawat Taiwan sekedar bergantian menjaga beliau agar tetap dirawat di rumahnya sendiri. Ah, entahlah. Belum selesai sekelumit pertanyaan itu berngiang di kepalaku, tiba-tiba saja aku mengangguk dan berkata, "Iya, Keke. Aku mau merawatnya."
Bagiku, saat itu bukan lagi tentang uang