“Media adalah cermin dinamis yang bisa ikut mengubah wajah buruk masyarakat menjadi lebih menghormati perempuan dan mencegah kekerasan."
Diskusi perempuan di @America, beralamat Pacific Place Jl. Jend. Sudirman No.52-53, RT.5/RW.3, Senayan, Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12190 pada 23 November 2016 lalu dihadiri perwakilan PPLI (Pengurus Pusat Lajnah Imaillah) oleh Henny Haerani dan Iin Qurrotul Ain yang tiba pukul 15.00.
Tema acara diskusi, Brave Miss World: Media’s Role in Ending Silence Against Women dihadiri berbagai mahasiswa dan umum dari berbagai daerah Indonesia termasuk dari Papua. Berikut hal-hal yang dikemukakan dalam diskusi oleh 4 pembicara terdiri dari, Alex Junaedi (Jakarta Pusat dan Sejuk), Devi Sumarno (Rumah Putih), Cecilia Peck (American Film Producer), Linor Abangil (aktivitis Internasional).
Faktanya “Media bukanlah cermin statis yang memotret apa adanya fakta, termasuk kekerasan seksual dan bisa memicu kejahatan lebih lanjut.’
Media adalah potret masyarakat, maka masyarakat yang sebagian besar masih patriarkis dengan nilai-nilai laki-laki yang dominan akan tergambar dalam liputan media massa yang hidup di dalamnya. Sebuah potret masyarakat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. (A. Junaidi, “Porno!”)
Harapan yang tertumpu pada media, “Media adalah cermin dinamis yang bisa ikut mengubah wajah buruk masyarakat menjadi lebih menghormati perempuan dan mencegah kekerasan.”
“Korban pemerkosaan butuh dibantu dan ditolong,” kata Devi Sumarno, pemilik rumah bagi penyintas. Saat ini “Media menjadi alat viktimisasi korban karena angle berita berpihak pada pelaku,” ujar Alex Junaedi.
Solusi untuk media yang disampaikan pada panel ini, peran orangtua dalam mendidik anak, peran sekolah dalam seksual awareness, peran media dalam memberikan informasi yang mendidik, peran pemerintah membrikan tindakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual
Adapun hambatan yang ada untuk ending silence against women ialah, penyintas terlalu fokus pada permasalahan lebih dari kerjasama dalam membangun ulang masa depannya. Rasa malu akan aib membuat para penyintas tutup mulut termasuk pihak keluarga daripada mencari pertolongan atau memindak pihak pria. Kurangnya pendidikan penyintas sehingga berdampak kepada jalan pemikiran yang sempit dan berwawasan sempit. Kurangnya pembangunan mentalitas berjuang sehingga mudah menyerah maka dari itu sangat dibutuhkan pemberian intensitas motivasi diri yang kuat. Jka dasar karakter yang terbangun dalam penyintas kurang kooperatif adalah juga kendala yang ada dalam diri penyintas.
Namun tetaplah menjadi tugas kita bersama untuk memberikan jalan keluar baik bagi penyintas maupun melakukan upaya untuk mengurangi jumlah penyintas. Media semoga menjadi solution maker untuk ending Silence ini.