Reportase International Interfaith (UN) Conference Hotel New Saphir Yogyakarta 24 Juni 2013 (arhlibrary.com) | AHMADIYAH NEWS
“Thank you for your inspiring presentation”
“Perkenalkan ini perwakilan dari Ahmadiyah,“ terang Ibu Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA, Ph.D (Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga) fasilitator konferensi saat memperkenalkan penulis kepada Prof. Dr. HM. Amin Abdullah, Keynote speaker (Departemen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga), jelang International Interfaith (UN) Conference. Penulis mendapat sambutan dari beliau serta Mr. Farid Abdul Hamid, konsultan senior dari Tanah Merah, Singapura), MC sekaligus fasilitator konferensi.
Foto kiri ke kanan: Prof. Dr. Mark Woodward, Prof. Dr. Alef Theria Wasim, Prof. Dr. HM. Amin Abdullah, Hani Mohammed, Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA, Ph.D, dan Farid Abdul Hamid (Foto oleh Panitia International Interfaith (UN) Conference))
Sementara peserta lain banyak yang belum hadir, Ibu Inayah mengapresiasi kedatangan awal penulis. Partisipan dari kalangan akademisi, tokoh agama serta tokoh masyarakat berbatas diundang ke Hotel New Saphir, Yogyakarta, Senin (24/06/2013). Hadir pula perwakilan lain dari Ahmadiyah, Dr. Munawar Ahmad, S.S, M.Si.
Hotel New Saphir, Yogyakarta (Foto dari http://www.agoda.com)
Penulis dan Dr. Munawar Ahmad, S.S, M.Si berkesempatan berbincang dengan Prof. Dr. Mark Woodward (Arizona State University), yang juga fasilitator acara ini. Penulis pernah bertemu dengannya pada seminar di Recent Cafe satu bulan ke belakang, dimana dia menjadi pembicara utamanya.
“Jangan ragu untuk berbicara di sini. Anda aman,” salah satu bincangnya kepada penulis dalam bahasa Inggris. Dengan ramah dan supel beliau mengucapkan terimakasih atas kedatangan kami, dari Ahmadiyah.
Tanpa ragu Ibu Inayah mengajak penulis berkenalan dengan Hani Mohammed (Singapura), moderator konferensi, yang juga menghantarkan ceramah Prof. Dr. Alef Theria Wasim sebagai keynote speaker kedua.
Ibu Inayah dalam sambutannya berbahasa Inggris menyatakan konferensi berkombinasi bilingual. Dia mengatakan konferensi ini adalah kerjasama Jurusan Sosiologi Agama FUSAP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Arizona State University, USA yang prihatin dengan keadaan intoleransi di Indonesia dan menjadikannya agenda utama dalam konferensi yang berlangsung.
“Konferensi diadakan karena keprihatinan terjadinyakonflik intoleransi beragama,Sementara Indonesia beragam,“ tekan Prof. Dr. Mark Woodward pada sambutannya senada dengan Ibu Inayah.
Saat inti acara tiba, mengawali ceramah berjudul Akar intoleransi dalam Islam: Perspektif sejarah dan filosofi, Prof. Dr. HM. Amin Abdullah menyinggung emansipasi wanita di masa kini, katanya “50 tahun lalu wanita tidak mungkin berada di forum seperti dua wanita yang mendampingi saya di depan anda dalam konferensi ini, inilah peran dari ‘Public Education’ dan ‘Human Dignity’ .” Saat itu beliau diapit Ibu Prof. Dr. Alef Theria Wasim dan Hani Mohammed.
“Begitupula dengan kesadaran bertoleransi umat beragama,” papar Prof. Amin yang juga pernah sampaikan paper bahasannya di Berlin-Jerman dan Jakarta. “Pendidikan adalah media paling efekif yang membangun, memperbaiki dan meningkatkan tradisi masyarakat dari generasi ke generasi dan dari abad ke abad, “ tambahnya.
Dia menjabarkan apabila terjadi interaksi antar keyakinan dan agama yang lebih luas lagi dan bila keadaan negara tersebut belum rela menjadi bangsa maka disana tengah terjadi tiga benturan nilai mulai dari lokal, nasional dan Internasional. Untuk mengatasi intoleransi maka di tingkat lokal diperlukan kearifan komunitas agama, pada tingkat nasional semua setara di hadapan hukum sedangkan pada tingkat Internasional perlu diberikan kesadaran bahwa kita adalah global citizen dan ada International Relationship. Sinergi tiga nilai ini bila tidak berjalan maka intoleransi akan terjadi di mana-mana.
“Pendidikan harus terkombinasi untuk mengakhiri intoleransi,” katanya lagi. “Pendidikan agama di sekolah mesti mengenalkan jenis keagamaan berikut,” ujarnya.
Katanya bahwa pendidikan agama pertama adalah subjektif, yakni pendidikan untuk dogmatis subjektif, perlu dipupuk kecintaan kepada agamanya sembari mengenalkan agama lain. Namun yang terjadi saat ini pendidikan agama di sekolah berperspektif ‘insider’ dan ‘in grup feeling,’ yang selanjutnya memperkuat subjektif menarik Tuhan yang di atas ke bawah.
“Siapa mereka Pak,” kata anaknya saat duduk di bangku Sekolah Dasar, menunjuk kumpulan orang di depan gereja. Dr. Amin menjawab pertanyaan anaknya, “ Mereka mau beribadah sama seperti orang Islam mau Jum’atan.”Lalu anak saya berujar “Mereka masuk neraka, ya?” Membuat saya kaget mendengar ucapannya dan bertanya,” Siapa yang bilang itu?”“Guru agama saya, Pak,” jawab anak saya,” kata Prof. Amin bercerita, membuktikan intoleransi juga berkembang di kalangan anak-anak.
Selanjutnya Prof Amin menyebutkan fenomena pendidikan agama kedua yakni objektif, membuat deskripsi sesuai dengan agama, berpendirian teguh, ‘outsider perspektif’ dalam menilai agama lain, dan bersikap relatif.
Pendidikan agama ketiga adalah gabungan subjektif dan objektif, diiringi pembuatan metode-metode baru seperti ‘religious study’ maka akan menumbuhkan empati and simpati untuk mengakhiri intoleransi.
Prof. Dr. Alef Theria Wasim, dari Asosiasi Studi dan Penelitian Agama Indonesia, mengemukakan tentang ‘Harmoni Agama’. Menurutnya intoleransi timbul sebagai reaksi, maka perlu dicari penyebabnya baik internal maupun eksternal.
“Untuk mengakhiri intoleransimaka adakanlah diskusi,” katanya.
Peserta kemudian menikmati ‘coffe break’ pukul 10.00 setelah acara pembukaan dan ceramah memakan waktu satu jam. Acara tetap dilanjutkan dengan setting tema untuk sesi ‘breakout’ sembari minum dan makan makanan kecil.
Mr. Farid yang juga sebagai Principal Trainer di Ithaca menghantarkan acara demi acara dengan bahasa Melayunya yang kental bercampur bahasa Inggris.
Pada sesi ini peserta diajak bermain game, yang nanti terpilih satu pemenangnya. Leadership Game tersebut membutuhkan konsentrasi penuh, satu demi satu menggugurkan para peserta berjumlah 33 orang. Dan tinggallah penulis yang bertahan dan memenangkan permainan simulasi ini.
Nyamannya suasana Hotel New Shapir tempat konferensi berlangsung terasa kekhasannya saat peserta menikmati makan siang di salah satu restaurant yang letaknya tepat di atas hall konferensi. Kami disambut ramah para pramusaji.
Salah satu restaurant di Hotel New Saphir, Yogyakarta (Foto dari http://www.agoda.com)
Mr. Farid mendatangi meja kami masing-masing, mengingatkan bahwa acara akan dilanjutkan lima belas menit lagi, membuat kami tidak bisa mencicipi banyak hidangan penutup yang memang beragam.
Setelah menunaikan shalat, acara dilanjutkan dengan sesi “ breakout”, dan “sesi pleno bertukar pikiran”.
Mr. Farid memandu acara diskusi ini dan menawarkan usulan empat tema bagi pembahasan grup terkait bagaimana mengakhiri intoleransi di Indonesia, dua diantaranya adalah “Pendidikan sebagai solusi” dan “Peninjauan dan pencabutan Undang-undang yang sarat dengan intoleransi”.Penulis yang berada di grup yang memilih tema yang terakhir disebut, ditunjuk memimpin diskusi grup.
Undang-undang Intoleransi beragama yang diangkat penulis untuk menjadi bahan diskusi adalah SKB 3 Mentri, Perda-Perda, UU Penodaan Agama 1965 dan Keputusan Menteri tahun 2006 tentang pendirian tempat ibadah.
Usai diskusi grup tiba giliran penulis yang kembali ditunjuk mempresentasikan hasil diskusi di hadapan semua peserta konferensi.
Dikemukakan bahwa Ahmadiyah tidak ada interest di bidang politik. Dimanapun pengikut Ahmadiyah tinggal maka ia akan menjunjung hukum yang berlaku. Ahmadi Singapura taat pada hukum Singapura, Ahmadi Amerika turut pada hukum yang berlaku di Amerika termasuk sebagai warga negara Indonesia yang baik, JAI akan taat hukum.
“Meski JAI dianak-tirikan di mata hukum namun tidak akan ada demonstrasi atau pawai dari para Ahmadi yang menuntut dicabutnya hukum-hukum yang mengandung intoleransi,” kata penulis.
“Perkenankan saya bicara bahwa Wage Rudolf Supratman dan Arif Rahman Hakim, para pahlawan bangsa Indonesia adalah pengikut Ahmadiyah,” ujar penulis membuktikan kecintaan Ahmadi kepada bangsa ini.
Seterusnya dikemukakan kepada hadirin hasil diskusi untuk solusi perbaikan hukum. Pertama penyelesaian konflik semestinya dimediasi negara, selanjutnya penghapusan SKB 3 Menteri tentang larangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah karena keputusannya yang tidak sesuai dengan UUD 1945 ini, justeru memicu meluasnya keluar perda-perda sebagai hasil misinterpretasi pada isi SKB itu sendiri.
Gubernur Jawa Barat, Gubernur NTB, Bupati Sampang, Bupati Bogor adalah contoh paraotoritas yang bertindak intoleransi.
Mengingat Syiah dan Umat Kristen juga menjadi objek intoleransi produk hukum Indonesia. “Panggilan hati dari para tokoh agama akan menjadi kekuatan moral yang turut mendukung berakhirnya intoleransi agama.” Penulis menyebutkan hasil pembicaraan grup berkenaan sosialisasi adanya intoleransi nyata di Indonesia diperlukan sembari menghimbau untuk menghentikannya. Kemudian perlu pendampingan hukum dari para ahli hukum yang konsen akan intoleransi tersebut. “Perlu dibuat kebijakan politik dalam kehidupan beragama,” kata penulis berbicara mewakili grup. Setelah itu dipertanyakan “Apakah yang mendasari negara mengeluarkan undang-undang dan keputusan berintoleransi. “Siapa yang ada di balik kemudi kendaraan negara ini?” ‘“Perlu proses panjang untuk terwujudnya toleransi tanpa intoleransi lagi.”
Kembali penulis menekankan kelebihan orang Ahmadiyah yang cinta negeri. “Kami siap berkorban demi negara walau nyawa dan darah yang menjadi bayarannya,” tutup presentasi penulis pada sesi pleno tersebut yang mengundang tepuk tangan dari para profesor, doktor, Pendeta Kristen Katholik dan Hindu, serta cendekiawan dan mahasiswa dari berbagai keyakinan dan agama.
Sebanyak 34 peserta konferensi mewakili berikut ini, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), DIAN Interfidei, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Indonesian Center for Deradicalization Wisdom (ICDW) (Mantan Pimpinan NII), Dosen Perbandingan Agama-FUSPI-UIN Sunan Kalijaga, Dosen Sosiologi Agama-FUSPI-UIN Sunan Kalijaga, PKBI/STIKES AISYIYAH/Aktifis Gender, Pemuda Marhaenisme, HMI, Dosen Tafsir Hadits-FUSPI-UIN Sunan Kalijaga, PP Aisyiyah, PP Al-Munawir Krapyak, STHD Ashram Krisna, CRCS UGM, Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Pasca Sarjana UGM (KAMMI), Wake Forest University-CA, GKJ Sarimulyo, Studi Agama dan Resolusi Konflik Pasca Sarjana UINSunan Kalijaga, HKBP (Huria Kristen Batak Protestant), Center Difabel UIN Sunan Kalijaga/Rausyan Fikr, Dosen Filsafat UGM dan STAIN Pekalongan.
Foto sebagian peserta beserta Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dan Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA, Ph.D(Photo oleh Panitia International Interfaith (UN) Conference)
Tanpa terasa acara yang juga diliput wartawan asing tersebut menghantarkan satu demi satu grup, meyampaikan pandangan mereka untuk “ending intoleransi”. Acara final saat jarum jam menunjukkan 16.30 WIB.
Setelah memandu “closing” konferensi, Mr. Farid Abdul Hamid menghampiri penulis dan mengucapkan selamat.
“Thank you for your inspiring presentation,”katanya sembari meminta kartu nama.
By Iin Qurrotul Ain binti T Hidayatullah untuk arhlibrary.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H