musim kemarau. Hal ini disebabkan Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun.
Salah satu keunikan yang dimiliki Indonesia adalah memiliki dua musim, yaitu musim hujan danDikutip dari Kompas.com (19/5), musim kemarau terjadi ketika curah hujan dan kelembapan undara di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami penurunan. Hal inilah yang memicu terjadinya kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia yang berakibat pada kurangnya ketersediaan air. Masalah inilah yang tidak bisa saya lupakan setiap musim kemarau di kampungku.
Ketika saya masih kecil, musim kemarau memaksa kami harus menyiapkan senter, gayung, ember, jerikan, lori (jika di kampung saya disebut "lori-lori"). Siang dan malam orang-orang di kampungku berlomba-lomba mencari beberapa sumur yang menampung air bersih untuk kebutuhan minum dan masak. Sebenarnya, di kampungku juga ada sungai, tetapi air sungainya juga mulai berkurang di musim kemarau. Kami hanya menggunakannya untuk mencuci dan mandi. Â
Jika musim hujan, kami hanya ke sumur dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Kami pun tidak berani ke sungai karena aliran sungainya bertambah deras dan dalam. Â Namun, memasuki musim kemarau, kami harus sering-sering ke sumur menunggu tampungan air, ke sungai untuk mencuci dan mandi.
Saya ingat sekali, ketika saya kelas 3 -- 6 SD, saya dan beberapa temanku harus ke sumur malam-malam, sekitar pukul 19.00 atau pukul 22.00 menggunakan senter memantau air di sumur apakah sudah tertampung banyak atau belum. Kami juga menelusuri beberapa sumur yang ada di kampung kami. Namun, hal ini tidak menjadi beban bagi kami.
Jika airnya sudah terkumpul, kami akan menimba air pelan-pelan. Bahkan, orang tua kami harus kembali ke sumur tersebut menunggu tampungan air pukul 24.00 sampai subuh. Saya harus mengalaminya dari SD sampai SMP.
Ketika memasuki SMA, saya harus memilih tinggal di asrama putri yang dekat dengan SMA saya. Jadi, setiap musim kemarau, saya tidak memiliki tugas lagi untuk memantau air di sumur. Saya rasa air di asrama kami sudah tersedia. Saya tidak perlu lagi ke sumur untuk mengambil air, tidak perlu lagi ke sungai mencuci pada musim kemarau.
Ternyata, hal tersebut tidak berhenti berhenti sampai di situ. Ketika musim hujan, kami di asrama harus berlomba-lomba bangun pukul 03.00 -- 04.00 untuk mengambil air di sumur bor samping asrama kami. Mungkin pompa airnya tidak kuat memompa sehingga memaksa kami  untuk mengangukut air dari sumur bor.
Jika kami tidak mengangkut air dari sumur, saya dan beberapa temanku rela memanjat pagar untuk mandi di sekolah SD yang letaknya di depan asrama. Mungkin para suster biara juga paham kondisi anak-anak asrama sehingga belum ada kasus kami dimarahi atau ketahuan oleh satpam karena memanjat pagar.
Selepas dari SMA, Akhirnya, saya ke ibu kota provinsi untuk kuliah. Ketika sampai di sana, saya merasa senang karena rumah tante saya memiliki kamar mandi dan air yang berlimpah. Namun, kami tetap saja kekurangan air pada musim kemarau.
Setiap pagi saya, saudara, dan om saya harus bangun pagi-pagi mengambil air di sumur bor samping rumah. Kebetulan sumur bor tersebut menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya. Sampai akhirnya, saya pindah ke indekos dekat kampus. Masalahnya tetap sama ketika musim kemarau. Saya harus menumpang mandi di indekos teman yang airnya berlimpah.