Guru merupakan kunci utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan,karena persyaratan penting bagi terwujudnya pendidikan yang bermutu adalah apabila pelaksanaannya dilakukan oleh pendidik-pendidik yang keprofesionalannya dapat diandalkan. Menurut Slamet PH(1992) dunia pendidikan tidak akan mengalami perubahan apapun sepanjang para dosen dan guru tidak mau berubah,tidak adaptif dan antisipatif terhadap perubahan.
Indikator-indikator penting mengenai kondisi pendidikan kita saat ini satu diantaranya adalah masih rendahnya kualitas guru untuk semua jenjang pendidikan
(Tilaar,1991). Sementara itu Zamroni (2000), mengatakan bahwa rendahnya kualitas pendidikan akan senantiasa berkaitan dengan rendahnya mutu guru. Slamet PH (1994) mengatakan pula secara gregatif, kondisi pendidikan kita berada pada tingkat mediokratis dan konservatif terhadap perubahan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek terutama mutu manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah yang kurang transpormatif.Â
Padahal dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia hal tersebut harus segera diatasi. Untuk itulah berkenaan dengan hal tersebut dalam penelitian ini akan mengkaitkan seberapa besar pengaruh manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan reorientasi pengelolaan pendidikan , yakni dari sistem manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Esensi dari manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah adalah otonomi manajemen sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.Â
Melalui sistem ini, pengelola atau manejer sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dan meningkatkan proses pendidikan menurut prakarsa sendiri sehingga mengurangi ketergantungan dari pemerintah pusat. Pengertian diatas menunjukan bahwa sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sekolahnya, karena "sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya", (Ditjend. Dikdasmen, 200:5).
Dalam pelaksanaannya menuntut perubahan sikap dan tingkah laku dari seluruh komponen sekolah, baik kepala sekolah, guru dan staf administrasi, termasuk orangtua dan masyarakat dalam memandang, memahami dan membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan sekolah. Perubahan sikap dan tingkah laku tersebut akan dapat terjadi bila sumberdaya sekolah yang ada dimanfaatkan dan dikelola secara optimal dan efektif oleh kepala sekolah selaku orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan disekolah.
Tuntutan akan kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh tersebut pada kenyataannya tidak terlepas dari isu-isu praksis pendidikan maupun isu-isu yang berkaitan dengan desentralisasi pendidikan, yakni:
Isu-isu yang sering muncul tersebut antara lain; keterbatasan wewenang kepala sekolah yang berimplikasi pada rendahnya efektivitas pencapaian target pendidikan disekolah. Isu ini menyangkut pula minimnya kewenangan yang diberikan kepada kepala sekolah dalam mengembangkan manajemen pendidikan disekolah termasuk keterbatasan ruang geraknya dalam memanfaatkan sumber-sumber pendidikan yang dialokasikan pada sekolah (Soebagyo Brotosedjati, 2002:6).
Dalam persoalan kemandirian dan kreativitas pengelolaan pendidikan disekolah sangat tergantung kepada keandalan seorang kepala sekolah, dimana kepala sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam hal keterbukaan, akuntabilitas manajemen sekolah, maka kepala sekolah selaku manajer dalam mengatur dan mengurus sekolahnya hendaknya memperhatikan input-input manajemen sekolah.