Tulisan ini saya buat di awal Juli tahun 2024 ketika mengikuti Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 11. Ketika membaca modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak, saya tertarik dengan trapesium usia untuk merefleksi diri.Â
Refleksi diri sangat penting diterapkan pada individu yang kemudian berpengaruh besar pada keberhasilan organisasi Hilangnya kapasitas personelnya untuk memecahkan masalah, belajar dari pengalaman masa lalu, dan terlibat dalam banyak hal kegiatan introspektif lainnya yang penting untuk kesuksesan (Kross et al., 2023).Â
Bagi guru, refleksi diri tentu meningkatkan kualitas profesionalnya. Dari sudut pandang ini, disarankan agar guru melakukan refleksi terhadap kondisi dan konteks yang agar belajar lebih banyak dan mengubah praktik pengajaran sesuai dengan kebutuhan (Pang, 2022).
. . .
Ada banyak hal positif sejauh usia saya yang telah berada di angka 39 saat ini. Tentu saja jika ada kaitannya dengan masa sekolah, era sekolah dasar (SD) paling saya kenang karena banyak hak-hal positif waktu itu.Â
Saya bersekolah di sebuah SD yang notabene tergolong "ndeso". Orangtua saya bukanlah orang yang mampu secara ekonomi, namun senantiasa mengutamakan pendidikan anak-anaknya di atas segalanya. Bahkan kami makan dengan lauk tempe setiap hari agar iuran sekolah tidak pernah terlambat.
Waktu itu sekitar tahun 1996-1997, saya berada di kelas 5 ke kelas 6. Bisa dibilang itulah masa keemasan prestasi. Saya yang hobi tenis meja mengikuti berbagai kejuaraan, demikian halnya dengan lomba-lomba akademik di level kabupaten maupun provinsi. Yang paling mengesankan adalah saya lulusan dengan NEM terbaik se-kabupaten.Â
Saya ingat pagi itu, Bu Retno (kepala sekolah) dan guru kelas 6 yang bernama Bu Umi berjalan kaki ke rumah, buru-buru dengan wajah sumringah, menyampaikan kabar gembira itu. Saya masih kanak-kanak, mungkin tidak mengerti rasanya bangga akan kemenangan. Baik ibu saya dan kedua guru tersebut sama-sama menangis sambil mengatakan "mimpi apa Bu?"
Prestasi-prestasi yang saya ukir di masa SD masih berlanjut hingga SMP meski lambat laun saya jadi kehilangan banyak fokus pada hal-hal yang saya sukai. Kehidupan SMP berjalan begitu saja meski sempat juga ada konflik dengan guru.Â
Berikutnya masa SMA, bisa dibilang prestasi saya sedang minus. Dari biasanya masih 3 besar pararel, kemudian menjadi peringkat 35 dari 36 siswa di kelas.Â
Hal itu bemula ketika akan mengikuti lomba siswa teladan. Saya sudah berlatih dan menyiapkan banyak hal, namun ternyata saya digantikan dan tidak ada satupun guru yang menyampaikan ke saya sebelumnya.
Beberapa hari setelah lomba, saya baru tahu jika saya digantikan oleh anak salah seorang guru sekolah itu juga. Salah satu guru akhirnya menyampaikan "kamu tidak punya telepon rumah jadi tidak bisa dihubungi, maka digantikan."
Alasan tidak masuk akal itu saya ingat sampai sekarang. Tahun 2000-an, saya kira wajar jika tidak memiliki telepon rumah, apalagi mengingat keadaan ekonomi saya. Tiap hari saya ke sekolah, kecuali hari Minggu jika tidak ada kegiatan OSIS. Begitulah peristiwa itu kemudian membuat saya malas belajar.
Beberapa pihak terlibat dalam peristiwa tersebut selain saya, yakni Guru. Rentang 27 tahun setelah peristiwa-peristiwa menyenangkan dan 23 tahun peristiwa menyakitkan itu terjadi, nyatanya masih tersimpan di memori saya. Setiap detail kejadian itu. Saya mengingat nama, wajah, ekspresi, serta kata-kata yang disampaikan. Padahal saya ini karakter yang mudah lupa.Â
Nyatanya kita tidak pernah melupakan guru-guru terbaik. Mereka yang memberi kita pemahaman yang lebih dalam atau semangat abadi, mereka yang kita kunjungi kembali bertahun-tahun setelah lulus, para pendidik yang membuka pintu dan mengubah jalan hidup kita (Wallis, 2008).
Begitupun pada guru yang memberikan kesan negatif, bahkan di grup teman sekolah kami masih sering membahas guru-guru tersebut. Namun kami juga memiliki welas asih, ketika Bapak dan Ibu Guru tersebut sakit atau berpulang ke Rahmatullah, kami pun berduka sedalam-dalamnya. Saat ini saya menjadi guru, mau meninggalkan kesan seperti apa di pikiran anak-anak, kita sendiri yang menentukan.
Berbagai peristiwa di masa sekolah ternyata memang memberi efek "traumatis" tersendiri. Penelitian menunjukkan bahwa trauma psikologis merusak area dan fungsi otak yang mendukung kecerdasan emosional.Â
Dampak luka psikologis serupa dengan efek seseorang yang mengalami cedera otak (Gottfredson & Becker, 2023). Peristiwa-peristiwa yang pernah saya alami waktu itu memberi dampak pada emosi saya hingga sekarang dan saya tidak terlalu menyadari sampai diingatkan dengan tugas ini.
Awal mengajar di usia 22 akhir, saya adalah sarjana pendidikan yang baru lulus. Semangat masih menggebu, serasa apa yang saya terima di bangku kuliah akan saya jejalkan semua ke pikiran anak-anak. Tahun demi tahun berganti, ambisi saya luruh perlahan, berganti dengan perasaan-perasaan yang lebih lembut.Â
Sekitar usia 30-an, saya mulai merasakan banyak cinta pada murid. Suara saya makin lembut, senyum makin sering, dan bahasa yang saya sampaikan benar-benar memperhatikan perasaan mereka.
Berkat pengalaman positif dan negatif, saya semakin mencintai profesi saya sebagai seorang guru. Apa yang saya kenang tentang cinta guru SD waktu itu menjadikan saya memperlakukan murid saya dengan kasih yang sama, ketulusan. Adapun pengalaman negatif pun mengajarkan pada saya agar mencintai murid kita tanpa memandang "dia siapa".
Saya sering merasa kagum jika mengingat masa lalu yang penuh perjuangan. Makanya ketika ada murid yang ada kekurangan ekonomi namun bersemangat dalam menempuh pendidikan, saya selalu mengagumi dan membagi pelajaran itu pada teman-teman sekelasnya. Saya senantiasa percaya, di dunia ini tidak ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat.Â
Tiap manusia memiliki dua sisi itu meski entah mana yang dominan. Beranjak dari pengalaman masa lalu, saya selalu percaya bahwa semua bisa berubah. Murid-murid saya bisa berubah, baik atau buruk, guru memiliki peran yang besar.
Normalnya, saya masih memiliki rasa kecewa jika mengingat peristiwa negatif yang saya alami waktu itu. Apakah saya masih akan menyapa guru tersebut? Untungnya saya tidak pernah bertemu lagi hingga saat ini. Â Bahkan sampai sekarang, kita masih akan mengalami peristiwa negatif juga namun pastinya sudah lebih bijak dalam menyikapi.
Berdasarkan refleksi ini, beberapa pelajaran saya rangkum berikut:
Peristiwa baik dan buruk yang terjadi di masa sekolah masih terkenang meski telah berlangsung puluhan tahun lalu. Adalah sebuah takdir jika saat ini saya menjadi guru, meski seingat saya tidak pernah memasukkan daftar profesi ini sebagai cita-cita masa kecil.Â
Dengan mengingat peristiwa masa lalu yang membuat saya terkenang atau trauma, saya berharap bisa belajar dan memperlakukan murid saya dengan lebih baik lagi. Saya tidak ingin meninggalkan trauma negatif yang akan dikenang seumur hidup murid saya.
Ada guru yang menginspirasi, hingga saat ini pun ajarannya masih saya gunakan untuk mendidik murid-murid saya. Saya berharap bisa menjadi guru yang menginspirasi, bukan melemahkan. Saya tidak ingin anak-anak saya terlalu dimanja, namun lebih memilih menerapkan disiplin positif di benak mereka.Â
Kedisiplinan adalah salah satu kunci kesuksesan di segala bidang. Agama pun telah mengatur hal tersebut, kita punya waktu beribadah, punya aturan, bukan "merdeka" yang berarti bebas melakukan apa saja. Tentunya kedisiplinan itu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Menghindari makian dan memperbanyak senyum.
Emosi-emosi yang saya dapatkan ada negatif dan positif. Seiring usia dan belajar dari pengalaman, maka emosi negatif makin redup. Mungkin itulah yang dimaksud menjadi guru yang dewasa. Memang prosesnya tidak serta merta ketika menjadi guru langsung bisa mengendalikan emosi.Â
Apakah guru boleh marah? Tentu saja. Namun alasan marah itu harus jelas dan dalam batasan bisa mengendalikan diri. Bagi saya pribadi, marah itu melelahkan dan sumber penyakit, maka saya akan memilih diam jika emosi sedang naik.
Demikianlah pengalaman saya, pahit, manis, asam, asin, semua diracik dalam kuali hingga menjadi sedap. Apapun yang saya lakukan sebagai guru, tujuan utamanya hanya ingin mengantarkan anak didik menjadi manusia yang utuh. Saya berdoa suatu saat, salah satu tangan mereka yang akan menarik saya menuju surga. Amin.
Daftar Pustaka
Gottfredson, R. K., & Becker, W. J. (2023). How past trauma impacts emotional intelligence: Examining the connection. In Frontiers in Psychology (Vol. 14). Frontiers Media S.A.Â
Kross, E., Ong, M., & Ayduk, O. (2023). Self-Reflection at Work: Why It Matters and How to Harness Its Potential and Avoid Its Pitfalls. In Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior (Vol. 10, pp. 441--464). Annual Reviews Inc.Â
Pang, N. S. K. (2022). Teachers' Reflective Practices in Implementing Assessment for Learning Skills in Classroom Teaching. ECNU Review of Education, 5(3).Â
Wallis, B. C. (2008). How to Make Great Teachers. Time, 1--7.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H