Mohon tunggu...
IIM_ SOBANDI
IIM_ SOBANDI Mohon Tunggu... -

Senang berbagi ilmu pengetahuan!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bedah “Biola Tak Berdawai” Melalui Empat Pendekatan Sastra

31 Januari 2014   22:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEDAH “BIOLA TAK BERDAWAI”

MELALUI EMPAT PENDEKATAN SASTRA



oleh

Iim Sobandi, M.Pd.



Abstrak

Gambaran fenomena yang dimuat di dalam novel Biola Tak Berdawai tidak jauh dari realitas sosial yang terjadi saat ini. Hampir setiap hari media massa, baik berupa media cetak maupun televisi menayangkan kasus pembuangan bayi dan abortus. Pergaulan bebas dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran ini.

Satu hal yang terlalu ideal dalam novel ini adalah: totalitas seorang Renjani yang sudah sangat langka ditemukan pada zaman ini. Kalau pun itu ada pengabdian yang setotal ini hanya ada satu pribadi dalam satu dekade, misalnya: pengabdian penuh cinta Bunda Theresia dari Calcutta yang berjuang untuk orang orang miskn dan penderita kusta di India. Totalitas seorang Renjani menjadi semacam bius penghilang rasa sakit atau peri penolong dari negeri dongeng pengantar tidur di saat dunia zaman ini semakin terkoyak oleh kaburnya penghayatan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai warisan leluhur kita. Dengan menggunakan keempat pendekatan sastra, akhirnya kita dapat mengeathui makna beharga dari novel ini.

Kata Kunci: novel, mimetik, ekspresif, pragmatik, objektif.



Pendahuluan

Secara garis besar, berbagai macam pendekatan terhadap karya sastra yang berkembang dalam studi sastra, menurut Abram (Wiyatmi, 2006:78), terdiri dari empat pendekatan utama, yaitu pendekatan (1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan seperti pendekatan struktural, semiotik, sosiologi sastra, resepsi sastra, psikologi sastra, dan moral.

Lewat artikel ini, penulis akan mencoba mendekati Novel “Biola Tak Berdawai” karya Seno Gumira Ajidharma dengan keempat pendekatan utama tersebut. Pengkajian diawali dengan mengetengahkan sinopsis, teori tiap pendekatan dan kemudian “membedah” novel dengan pendekatan yang bersangkutan.

Sesui dengan teori yang dikatakan oleh Jean Paul Sarte, bahwa hasil menulis karya sastra yang berupa novel, puisi maupun cerpen harus diapresiasi dan dikritisi agar dapat mengetahui kadar manfaat dari karya sastra itu. Jean Paul Sarte mengemukakan, bahwa unuk mengkritik sebuah novel, dapat menggunakan berbagai pendekatan, yaitu pendekatan (1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif.

Sinopsis Novel

Renjani meninggalkan Jakarta, untuk mengubur masa lalunya dan keinginannya untuk menjadi penari balet. Ia pindah ke Yogya dan mengabdikan hidupnya dengan merawat anak-anak tuna daksa yang tidak dikehendaki orang tuanya. Ia dibantu oleh seorang dokter berumur 40 tahun. Mbak Wid. Dewa 8 tahun, menjadi anak kesayangan Renjani dan diperlakukan sebagai anak normal. Renjani terkejut melihat reaksi Dewa, ketika iseng-iseng menari balet.

Hal ini yang membuatnya membawa Dewa ke resital biola. Disitu ia berjumpa dengan Bhisma, mahasiswa musik, 23 tahun. Bhisma tertarik pasca penampilan Renjani dari situlah persahabatan terjalin.

Empat Pendekatan Sastra dalam Novel Biola Tak Berdawai

1)Pendekatan Mimetik

Karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teuw, 1980:11). Novel ini didekati secara mimetik. Pendekatan mimetik memiliki pandangan bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya menjadi bahan kajian pendekatan ini..

Tanggapan:

Latar realitas bagi novel ini kondisi Yogyakarta, lebih luas lagi Indonesia tahun 2002. Sebuah peradaban yang diwarnai dengan penurunan nilai-nilai moral. Ketika dunia diterjang arus globalisasi sekaligus dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Berbagai bentuk pelanggaran menjadi menu harian berbagai media. Termasuk kasus-kasus pembuangan bayi menjadi liputan berita. Sering terjadi bayi-bayi tersebut sebagai hasil hubungan gelap. Ada juga bayi-bayi yang dibuang karena dianggap sebagai aib entah karena lahir cacat atau karena kelahirannya tidak diinginkan.

Tidak jarang juga terjadi pengguguran kandungan atau abortus. Secara etika moral dari saat pertama zigot sudah mempunyai identitas genetis. Semua yang dilakukan di dunia harus menyatakan bahwa dalam arti tertentu mereka beradaa pada saat pembuahan, walaupun embrio muda belum mempunyai identitas persona. (Bertens, 2003:114).

“Kamu buang anakmu?! Sinting kamu Renjani! Kamu gugurkan anakmu ya? Iya Renjani?! Iya?!” (halaman 54).

Tokoh Renjani seorang sosok yang pernah menggugurkan kandungannya. Kendati bayi tak berdosa tersebut harus terbentuk akibat hasil perkosaan seharusnya sang bayi memiliki hak untuk hidup. Tetapi tidak terlalu mudah bagi Renjani menerima begitu saja bayi yang tidak diinginkannya itu berkembang dalam rahimnya. Demikianlah dalam kegalauan yang mendalam ia memilih mengakhiri kehidupan sang embrio dari rahimnya.

Moralitas menentang abortus demikian pendapat Jean Paul Sartre. Pembicaraan ini mengakibatkan pro dan kontra antara legalisir melawan anti abortus. Masalahnya adalah apabila kehamilan tidak dikehendaki misalnya karena hasil perkosaan, si wanita tidak menginginkan kehamilannya, di sisi lain janin dalam kandungan juga mempunyai hak hidup. Maka timbullah polarisasi tajam antara pro pilihan dan pro kehidupan (Bertens, 2004: 139).

Konflik ini diangkat oleh Sekar Ayu Asmara dalam Film Biola Tak Berdawai, yang akhirnya di Novelkan oleh Seno Gumirah Ajidharma.

Memang bayi Cempaka adalah bayi kesekian yang diletakkan di muka pintu pagar, tentu kita masih boleh terheran-heran, jika bayi-bayi tuna daksa dibuang karena keganjilan bentuk upanya, maka alasan membuang bayi yang bukan saja sehat, tetapi juga cantik, montok, dan membuat bahagia setiap orang yang memandangnya? Apakah pembuang bayi itu orang- orang miskin yang kurang pengetahuan? Sepanjang pengalaman pak Kliwon, hanya sekali terjadi da bayi diletakkan seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di pagi buta. Selebihnya selalu diturunkan dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak juga yang nomornya dengan awalan B: mobil-mobil Jakarta. Bahkan Pak Kliwon merasa pernah mengenali wajah salah seorang dari mereka, sebagai wajah yang sering muncul di layar TV. (halaman 25).

Fenomena lain diangkat dalam “Biola Tak Berdawai” ini adalah maraknya pembuangan bayi-bayi tak berdosa. Ada yang dibuang di tempat sampah. Ada pula yang diletakkan di depan pintu panti asuhan. Fenomena memprihatinkan ini membawa sebuah kontras yang sangat jelas antara semangat cinta kasih dan ketidakpedulian dalam dalam setiap detil alur cerita novel ini.

2)Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. (Wiyatmi, 2006:82).

Tanggapan:

Pendekatan ekspresif mengkaji sastra bertitik-tolak dari kehidupan pengarangnya. Ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, daerah kelahiran, latar belakang sosialnya, pendidikan, dan pengalaman yang pernah dilewatkannya. Dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang, gerak jiwa, pengembangan imajinasi, fantasi pengarang yang tertuang dalam karyanya.

Novel “Biola Tak Berdawai” tidak dapat dipisahkan dari dua pengaruh kehidupan dua orang besar Seno Gumira Adjidharma dan Sekar Ayu Asmara. Seno Gumira lahir di Boston, 19 Juni 1958. Adjidharma adalah seorang wartawan dan penulis serba bisa dari generasi baru dalam sastra Indonesia. Tak kurang dari 25 judul buku yang ditulis Seno, terdiri dari esai, cerpen, roman dan juga skenario drama dan film. Buku-buku karya Seno beberapa di antaranya yakni: Atas Nama Malam, Wisanggeni, Sang Buronan, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno dikenal sebagai seorang penulis situasi di Timor Timor tempo dulu.

Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkannya dalam Trilogi buku Saksi Mata (Kumpulan Cerpen), Jazz, dan Insiden (Roman) dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan Esai). Seno juga dianugerahi sejumlah penghargaan, diantaranya South East Asia Write Award.

Sekar Ayu Asmara, adalah sosok kreatif yang enerjik. Lahir di Jakarta, dan pernah bermukim di Afganistan, Turki serta Belanda. Enerji kreatifnya telah muncul selama beberapa dasawarsa dalam bentuk dan dimensi yang berbeda-beda. Sekar pernah berkarir dalam dunia iklan, serta pernah menjadi komposer dan juga penulis lirik lagu untuk artis-artis papan atas. Ia juga tercatat sebagai pelukis yang telah berpameran tunggal.

3)Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi nilai karya sastra tersebut (Wiyatmi, 2006:86).

Tanggapan:

Saat kutelan makanan yang disuapkan ibuku.” Anak pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu yang boleh tinggal di sini.”Tapi mbak Wid, entah kenapa tersinggung dengan perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Anak-anak yang dibuang orang tuanya.Anak-anak yang bikin malu keluarga. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Sssst… mbak Wid pun bicara tentang diriku. “Duh Renjani, Renjani, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang sama Dewa, tetapi anak itu mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa…” Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani begitu nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid yang betapa pun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di rumah asuh ibu Sejati (halaman 18).


Pada dasarnya novel ini sarat dengan nilai-nilai moral. Dewa sebgai pribadi autis dan tuna daksa secara fisik seorang cacat yang diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa komunikasi manusia normal. Dalam keberadaannya itu Renjani tetap memperlakukan Dewa sebagai mana manusia normal. Ia patut dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Ketika kehidupan tidak dihargai lagi, ketika nilai-nilai moral dan semangat cinta kasih tercabik-cabik. Renjani hadir membawa inspirasi dan pengharapan bagi orang-orang yang tidak berdaya. Apa yang dianggap sebagai mitos bahwa dengan cinta kasih dan ketulusan hidup dapat diubah. Ini tercermin dalam kisah ini. Ketulusan cinta Bhisma mendorongnya merawat Dewa ketika Renjani akhirnya meninggal akibat kanker rahim yang ia derita.

“.Aku ternyata memang mendongak di kuburan, bagaikan melihat ibuku terbang seperti bidadari di langit. Bhisma tertegun dengan biolanya. Tanpa kusadari dari mulutku keluar suara. “D…de…f…faa shaa… aaang ..iii..bu..” Bhisma mengangkat dan mendekapku, seperti mendekap cinta ke dalam hatinya (halaman 191).

Hampir keselurauhan watak Renjani dan Bhisma merupakan idealisme sebuah totalitas hidup dalam mencintai. Karya ini menjadi sangat patut dihargai karena memiliki muatan nilai moral yang tinggi. Cocok untuk dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan moral bagi para pembaca. Novel ini mempengaruhi pembaca untuk memiliki ketulusan dan semangat untuk mencintai orang-orang yang tidak berdaya sperti Dewa dan bayi-bayi tuna daksa lainnya sehingga mereka dapat bertumbuh atau setidaknya mampu bertahan hidup dengan penderitaan dan situasi kurang menguntungkan yang mereka alami. Yang menjadi kelemahan dari novel ini adalah jalan cerita yang terlalu idealis. Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur belaka?.

4)Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui Wiyatmi, 2006:87).

Tanggapan:
Novel “Biola Tak Berdawai” berlatar kota Yogyakarta pada era tahun 2003. pada umumnya setting diketengahkan di Panti asuhan anak-anak tuna daksa. Dengan alur penceritaan flashback hal ini dapat dilihat pada episode novel pada bab 11 (halaman 77) secara mundur mengisahkan kembali pengalaman buruk atas tindak perkosaan yang dialami Renjani. Penceritaan adegan-adegan dalam novel ini diselingi dengan kisah pewayangan hal ini menyempurnakan penyampaian lapis arti di mana kisah Renjani memiliki kesamaan dengan kisah pewayangan. Kisah-kisah pewayangan ini sekaligus digunakan untuk menyampaikan stratum metafisika sebagai unsur yang intrinsik dalam keagungan sebuah tindakan totalitas seorang Renjani dalam pengabdian kepada anak-anak tuna daksa.

Dengan mengetahui norma-norma karya sastra ini, tahulah kita sekarang bahwa menilai karya sastra haruslah kita menilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu, kita tidak hanya menilai “isi” dan “bentuk” karya sastra saja tetapi harus menilai sampai di mana kekuatan bunyi dapat dilaksanakan pengarang, bagaimana sastrawan menyusun kata-kata, atau kalimat, menyusun plot, berhasil atau tidakkah, juga sampai di manakah harga atau nilai pikiran-pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya lewat norma-normanya itu, dan bagaimana segi-segi atau norma-norma lainnya (Pradopo,1994:56).

Tanpa dawai, bagaimana biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya, tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu baagikan biola tak berdawai….(Ajidharma, 2003:1).

Refleksi penulis tentang korelasi antara jiwa dan tubuh digambarkan dengan memetaforakan antara biola dan dawai dengan badan dan jiwa. Tanpa dawai bagaimana biola bisa bersuara? Pilihan kata biola menjadi manifestasi keberadaan tubuh dan jiwa manusia. “menjelmakan jiwa” pilihan kata yang memiliki peran menghadirkan lapis arti stigma sekaligus lapis suara yang menimbulkan efek bunyi yang indah untuk didengar.

Kehidupan kepompong bergunakah kehidupan seperti itu? Tentu berguna, jika kepompongitu akan menjelma menjadi kupu-kupu kembali, melayang menemukan dirinya kembali. Begitu kuat keinginanku untuk mengembalikan kebahagiaan ibuku.” (Ajidharma, 2003:81).

Secara keseluruhan gaya penceriataan novel ini memiliki keseimbangan antara gaya bahasa yang lugas sekaligus penggunaan metafora. Meski pun pemakaian makna kias cukup tinggi intensitasnya namun bahasa dapat dipahami. Makna dan pesan mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik.



Penutup

Melalui pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik dan objektif, Pemahaman tentang esensi terdalam dari pesan Novel “Biola tak Berdawai” semakin dapat ditemukan. Selain lewat pengkajian karya sastra ini ditunjukkan betapa kompleksnya aspek-aspek yang membangun terciptanya novel “Biola Tak Berdawai”.

Pengalaman ini sangat berguna bagi penulis sebagai seorang guru, karena lewat pengkajian ini pemahaman tentang hubungan antara ketiga disiplin ilmu Sejarah Sastra, Kritik Sastra dan Sastra semakin diperkaya. Pengkajian yang sederhana ini diharapkan dapat diperkembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi kemajuan bersastra dan kegiatan ilmiah penulis.

Ada satu hal yang perlu dikritik dari novel ini, yaitu dari segijalan cerita yang terlalu idealis. Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur belaka?. Karena pada intinya, sebuah novel merupakan gambaran hidup manusia pada saat itu. Suatu kejadian atau pola hidup yang dekat dengan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ajidharma, Seno Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai. Jakarta: PT. Andal Krida Nusantara.

Bertens. 2004. Sketsa-sketsa Moral. Yogyakarta: Kanisius.

_______.2003. Keprihatinan Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun