KEBERAGAMAN SASTRA INDONESIA
(seksualitas dan feminisme di dalam sastra wangi)
oleh
Iim Sobandi, M.Pd.
Abstrak
Perkembangan masyarakat yang terus bergerak maju dan pandangan tentang wanita mengalami perubahan-perubahan. Wanita di jaman sekarang ini mulai dipandang sebagai subjek dan bukan lagi objek. Masalah yang berhubungan dengan wanita terkait dengan gender, yang menyangkut hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Pria maupun wanita mempunyai martabat yang sama, keduanya memiliki nilai kemanusian yang layak untuk dihargai dan dihormati demi mewujudkan kesetaraan dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan dalam persefektif gender. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang digunakan sastrawan sebagai sarana mengangkat masalah dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dalam mengangkat masalah yang berhubungan dengan wanita, novel dijadikan sarana yang baik, karena mudah dipahami oleh pembaca. Hal ini yang menjadi salah satu alasan pemilihan novelsebagai objek penulisan.
Salah satu novel yang bermuatan feminisme adalah “Saman” karya Ayu Utami. Novel tersebut adalah gambaran nyata kaum perempuan yang tidak diperlakukan adil dalam kehidupan. Tujuan yang akan dicapai dalam tulisan ini adalah mengungkapkan unsur seksualitas dan feminisme dalam novel-novel karya wanita. Agar wanita tidak lagi dipandang sebelah mata dalam dunia sastra. Hal inilah ynag menjadi dasar bahwa masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan dengan melihat produktifitas dan dominasi dari para sastrawan wanita.
Kata Kunci: novel, sastra wangi, feminisme, sastrawan wanita.
A)Pendahuluan
·Latar Belakang
Modernisme adalah kenyamanan dan kebebasan. Simbol semacam ini dapat menimbulkan kesalahpahaman apabila dipersepsikan secara kurang tepat. Semangat kenyamanan dan kebebasan ini nampaknya telah menginspirasikan banyak wanita-wanita penulis untuk melahirkan karya-karya yang sensasional (Loekito, 2003:130). Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya di Kompas, 7 Maret 2004, menduga-duga bahwa “masa depan novel Indonesia berada di tangan perempuan”. Dominasi karya-karya wanita pengarang yang berbau seksualitas dan feminisme di dalam dunia sastra Indonesia menjadi alasan terbesar pernyataan ini.
Sampel yang menjadi kajian di dalam analisis sastra wangi adalah Saman dan Larung karya Ayu Utami, Mereka Bilang, Saya Monyet, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu, dan Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng.
·Rumusan Masalah
Penulis menyusun beberapa rumusan masalah yang memiliki ruang lingkup seputar sastra wangi, yaitu (a) pengertian sastra wangi, (b) bagaimana dominasi wanita pengarang di dalam dunia sastra Indonesia itu memang ada dan apakah dominasi wanita pengarang dipicu oleh ketenaran sang wanita pengarang itu sendiri, (c) apakah sastra wangi bersifat pornografi dan bukan bagian dari sastra, dan (d) bagaimanakah hasil karya sastra beberapa wanita pengarang memiliki kecenderungan mengusung tema feminisme.
Pembahasan dari keempat rumusan masalah tersebut diharapkan akan sampai pada kesimpulan yang menjadi dasar tujuan dari penulisan ini, yaitu memaparkan hasil analisis unsur-unsur seksualitas dan feminisme di dalam sastra wangi.
B) Pembahasan
a) Pengertian Sastra Wangi
Novel-novel yang dijadikan sampel analisis, seperti yang telah disebutkan di bagian pendahuluan, adalah beberapa contoh dari jenis sastra wangi. Apakah sastra wangi itu? Munculnya istilah ‘sastra wangi’ untuk memberi label pada karya-karya sastra yang ditulis oleh para wanita pengarang, jelas-jelas mengindikasikan dan bertolak dari pemahaman yang bersifat konsumtif (Wahyudi, 2005:12). Kewangian sebuah karya sastra selayaknya harus jelas bertalian dengan komposisi, ideologi, atau suasana cerita. Akan tetapi dalam hubungannya dengan istilah tadi, agaknya terjadi jauh dari permasalahan itu sendiri melainkan lebih berfokus pada diri pengarang yang kebetulan cantik, modern, muda, dan wangi, dalam arti memiliki reputasi yang wangi di dalam masyarakat. Seharusnya keharuman karya-karya mereka harus berbicara sendiri bukan laris karena ketenaran sang pengarang, sejalan dengan ungkapan bahwa “pengarang sudah mati”.
Meidy Loekito juga mendefinisikan sastra wangi sebagai sebuah sebutan untuk generasi sastrawan perempuan masa kini yang muda dan cantik (Loekito, 2003: 147). Definisi yang telah dijabarkan tadi sangat mencelakakan posisi wanita pengarang yang tidak memiliki karakteristik pengarang sastra wangi. Otomatis wanita pengarang tanpa kriteria sastra wangi tersebut akan tersingkir, meskipun kiprahnya di dalam dunia sastra sangat serius. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat pembaca masih gegabah dalam menentukan kualitas suatu karya sastra, penilaian itu hanya berdasarkan ciri fisikal dan korelasi karya sastra yang tidak benar.
b) Dominasi Wanita Pengarang di dalam Dunia Sastra Indonesia
Setelah kemunculan Ayu Utami sebagai salah satu pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta melalui Saman, kehidupan sastra di Indonesia dimeriahkan oleh kemunculan sejumlah wanita pengarang dengan usia yang relatif muda, dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, modern, bebas, dan berani. Sekadar sebagai gambaran saja, nama-nama yang sudah mulai akrab di mata publik pembaca sastra Indonesia antara lain adalah Dorothea Rosa Herliany, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Linda Christanty, Maya Wulan, Nova Riyanti Yusuf, Oka Rusmini, dan Ayu Utami.
Nama yang baru disebut ini belum mewakili sejumlah wanita pengarang sastra wangi, dan belum dapat menggambarkan realitas yang ada. Penyebutan ini hanya sebagai contoh bahwa mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya pada sastra Indonesia. Sejumlah kritikus sastra sudah lama membicarakan, mendiskusikan, dan mendebatkan karya-karya mereka. Media massa juga ikut menyoroti kehidupan mereka karena mereka memiliki sesuatu yang dapat dieksploitasi dari penampilan mereka sebagai ikon wanita pengarang yang masa kini.
Sebagai contoh kita dapat melihat ketenaran seorang Djenar Maesa Ayu. Menurut Katrin Bendel, ketenaran Djenar yang langsung melejit itu tidak lazim terjadi pada wanita pengarang yang kebanyakan melalui proses yang cukup panjang untuk dapat naik daun (2006:150). Tentu ketenaran Djenar tidak terlepas dari siapa dirinya, dan berpayungkan ketenaran ayahnya yang seorang sutradara terkenal.
Kapitalisme dalam sastra sangat mendukung posisi ketenaran wanita pengarang. Hal ini menciptakan daya saing yang tidak sehat di dalam sastra Indonesia. Meidy Loekito mengatakan beberapa penerbit tanpa sungkan-sungkan mencanangkan mencari penulis wanita yang menarik dari segi fisikal, untuk diterbitkan tulisannya (2003:146). Kepentingan ekonomi sangat diutamakan oleh penerbit. Ada beberapa penerbit yang secara terang-terangan meminta agar menambahkan adegan seks yang lebih berani, demi pencapaian pasar yang tinggi.
Tentu tidak salah usaha-usaha yang penerbit lakukan untuk meningkatkan penjualan. Perlu dicermati bahwa harus ada etika-etika yang mengatur usaha-usaha penerbit untuk tidak menekan ide wanita pengarang karena apabila terus ditekan akan menghasilkan karya yang memiliki produktivitas tidak maksimal. Hal semacam ini dikhawatirkan dapat terjadinya degradasi nilai sastra Indonesia, serta penyesatan pembaca sastra Indonesia.
Dominasi sastra wangi ini tidak hanya mengancam wanita pengarang yang tidak memenihi kriteria, bahkan menenggelamkan ketenaran pria pengarang dan kurangnya penerbit yang kreatif untuk memasarkan karya-karya pria pengarang. Kesadaran bahwa umumnya pria pengarang tidak memiliki daya tarik yang dapat dijual secara fisik ternyata tidak disiasati dengan baik oleh penerbit maupun pengarang itu sendiri (Wahyudi, 2005: 15-16). Ketenaran wanita pengarang yang menutupi sebagian besar karya-karya pria pengarang menyulitkan pembaca untuk menemukan karya-karya pria pengarang, yang mungkin lebih berkualitas daripada sastra wangi.
Dengan demikian, ungkapan bahwa ketenaran wanita pengarang dapat dikatakan sebagai dominasi semu karena suatu karya sastra harus dinilai dari kualitasnya dan bukan mengandalkan pasar untuk memberikan pelabelan suatu karya sastra.
c) Sastra Wangi Bagian dari Sastra Seksual
Sastra wangi tidak dapat dipisahkan dari dua hal, yaitu wanita sebagai pengarangnya, dan seks sebagai isi dari cerita. Sastra wangi sebagai terobosan baru dalam dunia sastra Indonesia paska-orba menawarkan hal-hal yang bersifat seksualitas. Banyak cerita-cerita yang menggembar-gemborkan perkelaminan, hubungan homoseksual, dan kelainan seksual lain, seperti masokisme yang ditulis oleh Ayu Utami. Menurut Meidy Loekito, kata-kata vulgar merupakan pelecehan terhadap sastra (2003130).
Indah Lestari kemudian membantah pernyataan Meidy Loekito, ia menandaskan bahwa perempuan memiliki hak menulis tentang seksualitas dirinya sendiri, apabila itu dilarang itu sama saja seperti menyensor nafas dan ujaran secara bersamaan (4003:8).
Menurut Subagio Sastrowardoyo (1983:25) “Sesungguhnya kurang tepat rumusan yang mengatakan bahwa pornografi dapat dilihat cirinya pada pelukisan yang mendetail tentang seks”. Rumusan semacam itu kurang mengena pada intinya, sebab ternyata banyak karangan ilimiah yang menjelaskan masalah persetubuhan secara rinci, toh, waktu kita membaca karangan semacam itu tidak terkesan ada pornografi.
Ada beberapa perbedaan yang mendasar mengenai sastra seksual dan teks yang bersifat pornografi. Sastra memiliki kriteria kesatuan organis, perpaduan unsur, dan kesungguhan Adegan seks itu ditampilkan pengarangnya tidak hanya untuk menciptakan kesenangan dan kesan-kesan romantis bagi pembaca melainkan didasari oleh pandangan hidup pengarang. Pornografi tidak memiliki kriteria kesatuan yang organis, tidak ada penghayatan dari pengarang, hanya bertujuan untuk kesenangan belaka (Sunoto, 1989:105).
Cara menilai cabul atau tidaknya suatu karya sastra:
-Tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan sampai mengerti tentang motif dan kedudukan penulisnya.
-Seks adalah soal kemanusiaan besar yang akan selalu menggangu manusia karena itu kita temukan dalam sastra kapan saja.
-Sastra seks tidak mungkin melanggar nilai-nilai kesusilaan bila didukung oleh satu ide yang baik, disiapkan matang, dapat memberikan sesuatu untuk kehidupan.
-Cerita cabul itu melanggar nilai-nilai kesusilaan, jelek, pengolahannya kurang matang, murahan, tidak dapat memberi apa-apa. (Hoerip, 1982:49)
d) Pengusungan Tema Feminisme di dalam Sastra Wangi
Sejak Orde Baru naik, mereka membungkam demokrasi juga membungkam segala ekspresi seksual. Mereka memulainya dengan membungkam gerakan perempuan Indonesia, yang memberi gambaran bagaimana sistem ketatanegaraan ini sama sekali tidak memberikan ruang-ruang terhadap sistem yang heterogen. Termasuk di dalamnya hak-hak seksual yang beraneka ragam (Laraswati:2010). Alasan ini menjadi salah satu pemicu maraknya wanita pengarang dengan karya-karya yang berbau seksualitas.
Tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra dikritik Meidy Loekito terititasi (2003:130). Indah Lestari kemudian memaparkan dalam feminisme, gagasan tubuh dan seksualitas memang menjadi menu utama dalam perkembangan kritik feminis terhadap partriarki (2004:7). Teks sastra adalah wadah tempat konstruksi gender biologis berada.
Para feminisme telah mengajukan keberatannya bahwa hanya laki-laki saja yang memiliki hasrat. Di dalam novel Larung tokoh Cok, seorang wanita, memiliki juga hasrat seperti laki-laki. Novel Ayu Utami banyak mengungkapkan isu-isu feminisme yang selama ini terus diperjuangkan oleh kaum feminis. Ini berarti karya sastra merupakan salah satu tombak untuk para feminis melakukan perjuangan mereka untuk menyetarakan gender.
C) Penutup
Dominasi pada wanita pengarang di Indonesia ini tidak dapat dipungkiri lagi. Kemunculan sastra wangi disimpulkan sebagai dominasi semu pada khazanah sastra Indonesia. Tidak diterima bahwa penilaian kualitas sastra terpatok pada gender atau isu-isu seksualitas yang mereka bawa, melainkan dari dalam karya mereka sendiri.
Unsur seksualitas dalam karya sastra tidak dapat secara cepat disimpulkan sebagai bentuk dari pornografi. Pornografi dan sastra memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Sebuah karya sastra mengutamakan keindahan suatu cerita dan memiliki bobot tersendiri, walaupun ditulis dengan unsur seksualitas. Nafsu birahi itu adalah hal yang sah dimiliki manusia yang kita butuhkan sikap wajar, mengembalikan seksualitas dalam kehidupan, menerima tanpa ketegangan, sebagaimana kita menerima tubuh kita sendiri (Goenawan, 1980: 60).
Feminisme memang tidak dapat dilepaskan dari sosok wanita sebagai pejuangnya. Karya-karya sastra seksual di sini disimpulkan menjadi jembatan dalam perjuangan kaum feminis untuk menyetarakan gender. Karya-karya tersebut sebagai bukti bahwa mereka masih sangat bersemangat memperjuangkan hak-hak kaum wanita, terutama dalam hal penulisan seksualitas dalam sebuah karya sastra.
Daftar Pustaka
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Bandung: Jalasutra.
Damono, Sapardi Djoko. Bayang-bayang Perempuan Pengarang. Kompas, 7 Maret 2004.
Goenawan, Mohamad. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
Hoerip, Satyagraha. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Laraswati, Gita. Hak-hak Seksual Belum Menjadi Prioritas Demokrasi. Jakarta: Sinar Harapan