Mohon tunggu...
Iim Samsuriyanto
Iim Samsuriyanto Mohon Tunggu... Guru

saya seorang guru di sekolah dasar swasta di kota Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aila

7 Januari 2025   10:24 Diperbarui: 7 Januari 2025   10:24 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Namaku Aila. Aku duduk di kelas lima sekolah dasar di ibu kota. Ayahku bekerja di salah satu bank swasta terkemuka di Bekasi dan ibuku bekerja di kantor pajak negara di kota yang sama. Aku di ibu kota tinggal bersama kakek dan nenek dari ibuku. Boleh dibilang, keluargaku berkecukupan. Kebutuhanku terpenuhi. Bahkan uang saku setiap hari rata-rata diatas lima puluh ribu rupiah. Setiap hari uang itu habis entah untuk apa, aku lupa. Tetapi setiap kali aku minta lagi pada ayah, ibu ataupun kakek dan nenekku, mereka tak pernah menanyakan uang itu habis untuk apa. Setiap hari aku berangkat dan pulang sekolah diantar dan dijemput supirku yang setia. Aku biasa memanggilnya Pak Tua. Karena ia memang sudah tua dan beruban.

            Di sekolah aku bukan anak yang pandai, bahkan aku pernah tinggal kelas. Tapi bukan itu persoalanku. Sekolah yang semula menjadi tempat menyenangkan, sekarang menjadi tempat yang paling aku benci. Setiap hari, selalu saja aku ditegur atau dimarahi guruku. Entah karena aku lupa mengerjakan PR, entah aku lupa membawa buku, entah aku jalan-jalan di kelas. Guru kelasku itu sungguh rewel. Pernah aku hampir salah semua mengerjakan soal yang dia berikan, akupun dimarahi.

            Berangkat dengan lesu, kuatir akan dimarahi dan pulangpun dengan lesu karena sudah dimarahi. Akhirnya aku putuskan untuk tidak mau sekolah lagi. Setiap kali aku diantar ke sekolah, aku selalu menurut. Tetapi setelah supirku pergi, aku pun pergi. Kuhabiskan waktu dengan bermain game di sebuah mall. Semua ini bisa aku lakukan karena aku melepas pakaian sekolahku. 

            Tiga hari aku tidak masuk, belum ada tanggapan apa-apa dari sekolah. Tetapi setelah seminggu aku tak masuk, orang tuaku menerima surat dari wali kelasku. Menanyakan mengapa aku tidak masuk. Sedih karena aku berbohong, tetapi aku juga heran mengapa guru yang setiap saat memarahiku, malahan memanggilku. Bukankah seharusnya dia senang jika aku tidak masuk?

            Sore hari ketika aku sampai di gerbang depan rumahku, tanpa kuduga sebelumnya kulihat sosok seorang wanita yang kukenal berdiri di teras rumahku, berbicara dengan kakekku. Tidak salah lagi dialah wali kelasku, yang setiap hari selalu memarahiku. Muak rasanya melihat wali kelasku itu. Ingin rasanya kucopot sepatuku lalu kulempar saja ke wajahnya.

            Belum sempat aku berbicara dia sudah menanyaiku. Mengapa aku tidak masuk? Ke mana saja slama ini? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Muak aku mendengarnya.

            Satu kalimat yang mewakili semua rasa benciku padanya, AKU BENCI  BU GURU, KARENA SETIAP HARI KERJANYA MARAH DI KELAS!. Aku menangis dan pergi meninggalkannya.

            Entah siapa yang menyuruh, ia mengejarku, memelukku dan mengusapi air mataku yang mengalir deras. Berbagai nasihat keluar dari mulutnya, seakan-akan meruntuhkan kerasnya rasa benciku. "Semua yang ibu lakukan supaya kamu berubah lebih baik, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab." Itulah penjelasan akhir dari semua nasihatnya.

            Malam hari ketika aku hendak tidur, semua peristiwa tadi terdengar jelas kembali. Mengiang-ngiang dalam batinku. Semua ia lakukan supaya aku menjadi lebih baik. Lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab. Setiap kali kuulang-ulang kalimat itu, membuat aku sadar, kalau itu adalah benar. Siapakah yang bisa menjadi polisi, kalau tidak ada guru? Siapakah yang bisa menjadi pegawai bank seperti papaku, kalau tidak karena guru? Siapakah yang bisa membuat mamaku bisa bekerja di kantor pajak, kalau tidak karena guru? Siapakah yang membuatku bisa membaca dan menulis, kalau tidak karena guru? Aku bisa seperti sekarang inipun karena guru.

            Tak terasa mengalir lagi butiran kristal bening dari sudut pipiku. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Maafkan aku guruku. Maafkan aku ayah, ibu, kakek, dan nenekku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun