PANDANGAN tradisional memandang pembangunan pendidikan hanya sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada public sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada rakyatnya. Sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian dalam gerak langkah pembangunan. Tanggapan yang berkembang bahwa sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan suatu negara. Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam hal kecilnya komitmen  anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang.
Perkembangan cara pandang ilmiah di akhir abad 20 telah secara dramatis menggeser pola pikir tradisional sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan bagi kemakmuran suatu negara. Pandangan ilmiah memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dan kemakmuran suatu negara.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan kemakmuran.
Â
Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainnya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul "investmen in human capital" dihadapan The American Economic Association membangun dasar ilmiah bagi perkembangan teori human capital modern. Pesan filosofis pidato tersebut sederhanan bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Kemudian, Schultz (1961) dan Deninson (1962) memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan, dengan fokus intinya manusia, telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Alasan utamanya dari perubahan pandangan ini ialah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Â
Selanjutnya, Bowman (1962), mengenalkan suatu konsep "revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis". Para peneliti lainya seperti Deninson (1962), Becker (1969) dan yang lainya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini. Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Berkembangnya pemikiran  tersebut secara meluas diseluruh dunia sehingga mendorong permintaan akan pendidikan secara meluas di berbagai negara. Dewasa ini di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi "leading sektor" pembangunan negara. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitmen politik anggaran sektor pendidikan yang signifikan, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya. Dalam pandangan teori human capital faktor manusia dipandang sebagai modal yang sama kedudukannya dengan faktor produksi lainya, bahkan sebagai faktor yang bisa melipatgandakan produktifitas, efektifitas dan efisiensi dari keseluruhan faktor produksi yang ada, jadi posisinya bahkan lebih dari sekedar modal pasif.
Â
 Berbagai penelitian ilmiah membuktikan adanya keterkaitan signifikan antara pendidikan dengan kemakmuran. Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka mencapai kesimpulan tersebut. Misalnya, studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurupnya pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada negara-negara lain. Juga telah digambarakan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilanya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara petani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapatan rendah menunjukan, bahwa ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, menunjukan hasil tahunan seoarang petani yang berpendidikan selama 4 tahun, rata-rata 13 persen lebih tinggi daripada seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, 1980).
Pengaruh-pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi melampaui perbaikan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja. Orang tua yang berpendidikan dasar dapat dipastikan belajar lebih banyak tentang dan melaksanakan praktek-peraktek kesehatan yang lebih baik bagi dirinya maupun anaknya, sadar dan tahun akan kebersihan, dan gizi.  Juga kemungkinan akan terjadi anak-anak jauh lebih sehat dan terpelihara dengan baik. Selain itu orang-orang yang berpendidikan cenderung mempuyai tingkat fertilitas (kesuburan melahirkan) yang lebih rendah. Mereka lebih menyadari kerugian jika mempunyai terlalu banyak anak  yang harus dipenuhi berbagai kebutuhannya, sandang pangannya dan pendidikan. Manusia terdidik juga pada umumnya lebih mudah dan bersedia untuk menerima gagasan-gagasan baru dalam pembangunan, seperti program keluarga berencana, kesadaran pemanfaatan sumber daya lingkungan yang bermartabat (efektif, efisien, tidak merusak) dan berbagai inovasi lainya. Peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak juga begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi dalam pendidikan mendorong produktivitas investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
 Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi  (rate of return) terhadap investasi dalam bidang pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh di atas 10 persen. Tingkat pengembalian rata-rata atas investasi pada pendidikan dasar sebesar  27 persen dinegara-negara berpendapatan rendah, dan 22 persen di negara-negara berpenghasilan Sedang. Untuk jenjang pendidikan menengah, gambaran untuk hal yang sama adalah 17 persen dan 14 persen, dan untuk pendidikan tinggi adalah 13 persen dan 12 persen. Di Indonesia, penelitian McMahon dari World Bank (1992) melaporkan bahwa  investasi pendidikan/modal manusia telah memberikan manfaat balikan (sebesar 15,3% (1982); 13% (1986); 9,5 (1987); 11,2 % (1988). Sedangkan nilai balik investasi modal fisik untuk tahun yang sama sebesar 9,1% , tidak mengalami peningkatan. Berbagai penelitian lainya relatif selalu menunjukan  bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik.