Pornografi muncul menjadi kontroversi pro-kontra di masyarakat, mengenai apakah termasuk seni potografi atau pornoaksi. Saat seorang potografer dan para seniman mengatakan foto-foto telanjang wanita yang dibuatnya merupakan sebuah karya seni dan janganlah menghubung-hubungkan antara seni dengan agama. Karya seni sesuatu yang bebas nilai, seni adalah seni.
Bila demikian, apakah kehidupan manusia terpisah dengan nilai atau ajaran-ajaran agama yang diyakini oleh semua masyarakat sebagai nilai-nilai umum yang harus ditaati bersama? Bukankah semua agama menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci yang mereka sampaikan adalah sebuah jalan hidup (way of life), yang berarti terjadi kesatuan antara agama dan kehidupan duniawi.Â
Berarti bila kita menganut keterpisahan agama sebagai way of life dengan kehidupan duniawi maka sesungguhnya kita tidak dalam keadaan beragama dan bertuhan. Padahal keberagamaan adalah fitrah sekaligus merupakan salah satu ciri dari manusia yang berbudaya dan beradab.Â
Dalam pandangan beberapa seniman berfaham sekuler, seni adalah kawasan bebas nilai dan ekspresi sebagai bentuk eksplorasi imajinasi seorang manusia. Jadi seni menempatkan manusia untuk menggali potensi olah pikirnya. Dia terlepas dari agama, politik, etnis, ataupun wilayah budaya, dan geografis. Berarti seni adalah bebas nilai.Â
Seni bekerja untuk dan didorong oleh hasrat seni itu sendiri, bukan untuk kepentingan yang lain, bukan untuk agama, bukan untuk etnis, bukan untuk etis tidak etis, bukan untuk norma, seni adalah untuk seni. Demikian sebagian pendapat publik yang mengemuka dalam polemik.
Ketika seni sudah melewati batas abu-abunya atau dipertontonkan kepada khalayak ramai, maka seni itu sebetulnya bukan lagi seni untuk seni, atau seni untuk wilayah pribadi, tetapi seni untuk publik. Sedangkan di publik terdapat wilayah lain berupa agama, akhlak, moral, budaya, dan nilai-nilai etis lainnya.
Disinilah terjadi persinggungan nilai-nilai antara seni untuk seni dan konsumsi personal semata dan karya seni untuk wilayah publik. Pertanyaannya layakah foto-foto bugil wanita seksi disebut sebagai wilayah seni pada saat secara fulgar dipajang di ruang publik?, atau goyang erotis mengundang syhwat dari penyanyi dangdut, karena realitasnya dilihat oleh anak-anak, remaja, orang tua, dan bisa siapapun yang kemudian mendorong lahirnya hawa nafsu yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan amoral. Inilah yang harus diarifi oleh para pelaku pornografi dan pornoaksi atau mereka yang menamakan kelompok artis ataupun pekerja seni.
Seni ketika sudah menjadi konsumsi publik menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan agama, atau juga moral masyarakat. Tranformasi nilai-nilai tersebut sulit menyaringnya manakah untuk anak-anak, untuk orang dewasa, dan kawasan pendidikan, semuanya telah bercampur baur. Hampir sulit mengenali ini yang boleh dan ini yang tidak boleh. Teknologi media telah membuat sekat-sekat itu hilang. Televisi, internet, film, dan majalah, telah menjadikan dunia tanpa batas. Â
Sejatinya, aktualisasi sebuah seni yang diharapkan adalah bukan hanya sekedar sebuah pemenuhan hasrat semata tetapi lebih dari itu adalah rasa pengungkapan estetis dan keseimbangan hidup manusia. Bukan berarti kita harus mengekang kebebasan manusia dalam menyalurkan hasrat kemanusiaannya tetapi haruslah memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya itu akan mendatangkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain.
Jangan sampai nilai-nilai yang kita anut mendatangkan bencana bagi lingkungan sosial di masyarakat kita seperti kriminalitas, ragam penyakit, dan kemiskinan. Bukankah kebudayaan yang kita ciptakan adalah untuk mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian kita sebagai bagian dari masyarakat yang berperadaban haruslah bersikap sebagai individu yang beradab pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H