Transmigrasi adalah program pemerintah yang dirancang untuk meratakan pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memindahkan penduduk dari daerah yang padat ke wilayah yang masih terbuka dan berpotensi untuk dikembangkan. Program ini terutama melibatkan perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia, termasuk Pulau Sumatra, khususnya di wilayah Dharmasraya. Program transmigrasi di wilayah ini bertujuan membuka lahan baru, meningkatkan produksi pertanian, dan mengurangi kepadatan penduduk di daerah asal transmigran.Â
Program ini dimulai pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memberikan peluang bagi penduduk Pulau Jawa yang saat itu mengalami kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Beberapa penduduk dipindahkan ke Sumatra Barat, tepatnya di Nagari Sitiung.Â
Pada masa itu, Kabupaten Dharmasraya belum terbentuk; Sitiung masih termasuk dalam wilayah Sijunjung dan Sawahlunto. Program transmigrasi ini dilakukan dengan serius oleh pemerintah, salah satunya adalah untuk mengurangi kepadatan penduduk di daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Selain itu, transmigrasi juga bertujuan untuk mendukung pembangunan waduk yang berguna bagi irigasi sawah, penghijauan, dan pariwisata di daerah asal transmigran. Hingga kini, kawasan tersebut telah berkembang menjadi destinasi wisata yang cukup pesat.Â
Transmigrasi yang terjadi di Sitiung memiliki kekhasan tersendiri, dikenal sebagai Transmigrasi Bedol Deso. Istilah Bedol Deso berarti perpindahan seluruh desa, mulai dari kepala desa hingga perangkat desa dan seluruh penduduknya. Transmigrasi Bedol Deso dari Wonogiri ini dilakukan akibat pembangunan Proyek Waduk Gajah Mungkur, yang mengharuskan seluruh desa dipindahkan ke Sumatra.
Proses pemindahan dimulai pada 16 September 1976, dengan gelombang pertama sebanyak 100 Kepala Keluarga (KK) tiba di Sitiung. Pemindahan ini berlanjut secara berkala setiap hari Rabu, dengan masing-masing gelombang terdiri dari 100 KK. Desa-desa yang dipindahkan terbagi ke beberapa jorong (dusun), seperti Jorong Sinikan, Jorong Piruko Tengah, Jorong Piruko Selatan, dan lainnya, hingga total mencapai lebih dari 2.600 KK.Â
Sitiung, yang sebelumnya hanya berupa hutan belantara, kini telah berubah berkat kerja sama antara pemerintah dengan pemilik tanah ulayat. Pemerintah mengganti semua yang dimiliki oleh para transmigran di Wonogiri dengan tanah dan rumah baru di Sitiung, bahkan disebut sebagai "ganti untung" karena luas tanah dan rumah yang diberikan lebih besar dari yang mereka tinggalkan. Setiap keluarga transmigran diberikan lahan pekarangan seluas 1/4 hektar, rumah beserta isinya, 1 hektar sawah, dan 1 hektar kebun, dengan beberapa mendapatkan seekor sapi atau uang sebagai penggantinya.Â
Pada masa awal kedatangan, para transmigran dijanjikan kesejahteraan oleh pemerintah dengan diberi jaminan pasokan beras, ikan asin, garam, minyak goreng, dan minyak tanah. Setiap kepala keluarga menerima 15 kg beras, sementara anggota keluarga lainnya masing-masing mendapatkan 10 kg.Â
Namun, kehidupan di tempat baru ini sangat berbeda dibandingkan dengan kampung halaman mereka di Jawa. Di tahun-tahun awal, para transmigran harus menghadapi tantangan besar, tinggal di rumah-rumah sederhana berukuran 4x6 meter yang terbuat dari papan, dengan hutan dan rawa-rawa di sekitarnya.Â
Program ini mengalami berbagai tantangan, termasuk kegagalan dalam beberapa upaya bercocok tanam di lahan baru yang masih sulit diolah. Hingga akhirnya, Presiden Soeharto meluncurkan program pompanisasi, yang memanfaatkan air dari Batang Hari untuk irigasi sawah.Â
Setelah beberapa kali percobaan, pada tahun 1984 program ini mulai menunjukkan hasil, dan perekonomian di Nagari Sitiung mulai membaik pada tahun 1986-1987. Pada masa itu, kemiskinan sudah mulai berkurang, meskipun fasilitas pendidikan masih menjadi tantangan yang signifikan, terutama jika dibandingkan dengan di Jawa. Inilah sekelumit kisah suka dan duka para transmigran di Nagari Sitiung, yang berjuang menghadapi tantangan demi masa depan yang lebih baik.