Prolog
Tidak begitu banyak perempuan di Indonesia yang memutuskan untuk menggeluti profesi perupa sebagai pilihan hidupnya. Hal ini bisa saja disebabkan oleh anggapan masyarakat yang memandang bahwa perempuan berprofesi perupa kurang populer bila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya, seperti pembantu rumah tangga di luar negeri (Tenaga Kerja Wanita/TKW), sekretaris, manajer perusahaan, aktris sinetron, atau yang populer melalui rekayasa media televisi: menjadi bintang penyanyi “Akademi Fantasi Indosiar (AFI)” atau “Indonesian Idol”. Penyebab lainnya bisa juga karena adanya kepercayaan di masyarakat mengenai bakat seni rupa yang dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi seseorang (perempuan maupun laki-laki) untuk menggeluti profesi perupa.
Seperti halnya laki-laki, perempuan juga mempunyai minat dan bakat sebagai modal awal untuk menggeluti profesi seni rupa. Namun, menurut pematung Dolorosa Sinaga, minat dan bakat pada diri perempuan ini sering luntur ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam profesi seni rupa akibat dari wawasan berkesenian yang tampak belum kuat.[i] Boleh jadi penyebab lainnya adalah karena masih berlangsungnya pandangan stereotipe di sebagian besar masyarakat mengenai tugas-tugas perempuan yang diidentikkan dengan mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, mengurus kebersihan rumah tangga, dan berbagai macam pekerjaan domestik lainnya yang dianggap sudah terberi sebagai tugas kodrati[ii] perempuan. Jika ada perempuan yang mencoba menggeluti pekerjaan lain di luar wilayah domestik, masyarakat lebih menilainya sebagai kegiatan ekstra dari tugas-tugas kodrati tadi.[iii]
Perempuan: Kodrat dan Konstruksi Sosial-Budaya
Perempuan seperti halnya laki-laki adalah manusia. Sebagai manusia, perempuan memiliki anatomi biologi berupa jenis kelamin atau seks yang berbeda secara kodrati[iv] dengan laki-laki. Perbedaan tersebut terletak pada fungsi reproduksi (melahirkan) pada diri manusia perempuan yang memiliki alat-alat seperti rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Secara biologis, alat-alat yang melekat pada manusia berjenis kelamin (seks) perempuan tersebut tidak bisa dipertukarkan dengan alat-alat yang melekat pada manusia berjenis kelamin laki-laki, serta secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat)[v] yang terberi sejak lahir.[vi]
Kemampuan mereproduksi merupakan satu-satunya hak yang mencirikan keperempuanan.[vii] Jadi, yang dimaksud dengan kodrat perempuan adalah memproduksi telur, menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan mengenai sifat atau ciri lemah, lembut, emosional, keibuan, peran atau pekerjaan mengasuh anak, mengurus rumah tangga dan suami, memasak, mencuci serta peran-peran lainnya yang berhubungan denga pekerjaan domestik yang dilekatkan pada perempuan bukan merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan bagi perempuan, melainkan hasil konstruksi sosial maupun budaya dalam suatu masyarakat tertentu yang disebut dengan istilah gender. Mansour Fakih menjelaskan:
“Padahal kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan megelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat wanita’ atau “takdir Tuhan atas wanita” dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, adalah gender”.[viii]
Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya berjudul Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya menjelaskan bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga sampai pada kriteria sosial dan budaya yang diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin dan gender. Perbedaaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Gender tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin yang biasanya ditempati oleh jenis kelamin laki-laki, dan feminin untuk jenis kelamin perempuan.[ix]
Menurut Fakih, kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris dan di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender.[x] Fakih memberi pengertian konsep gender sebagai suatu sifat atau ciri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sifat-sifat atau ciri yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tersebut dapat dipertukarkan antara sifat atau ciri yang melekat pada manusia perempuan dengan yang melekat pada manusia laki-laki, serta dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.[xi] Misalnya, sifat atau ciri lemah, lembut, cantik, emosional, dan keibuan yang dianggap melekat pada perempuan dapat juga melekat pada laki-laki. Begitu pula sebaliknya, sifat atau ciri kuat, perkasa, rasional, pemberani, dan kebapakan yang dianggap melekat pada laki-laki dapat juga dimiliki oleh perempuan. Contoh lainnya adalah pekerjaan mengasuh anak, mengurus rumah tangga (peran domestik), mencari nafkah keluarga, atau menghadiri pertemuan warga (peran publik) dapat dilakukan juga oleh keduanya, laki-laki maupun perempuan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.[xii]
Namun, pengertian jenis kelamin (seks) yang menjadi kodrat manusia sering disalahpahami dan disamakan dengan pengertian konsep gender. Terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut dengan seks dan gender. Gender yang merupakan konstruksi sosial maupun budaya dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan.[xiii] Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, dapat disaksikan peran-peran perempuan berdasarkan gender seperti melakukan pekerjaan domestik (memasak, mencuci, mengasuh dan mendidik anak, melayani suami, atau membersihkan rumah) dianggap “sudah menjadi kodrat perempuan”. Jika ada perempuan yang tidak melakukan pekerjaan domestik tersebut oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai “menyalahi kodrat perempuan” dan “tercela”.
Kerancuan dan pemutarbalikan makna antara konsep jenis kelamin (seks) yang kodrati dengan konsep gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, mengakibatkan terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat berupa peminggiran, subordinasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang rendah dibanding laki-laki.
Perempuan dan Seni
Di dalam buku berjudul Aspek-aspek Seni Visual Di Indonesia: Politik dan Gender (2003) Dolorosa Sinaga seorang pematung perempuan membuat karangan berjudul “Wacana Seni Rupa Perempuan: Antara Konsep dan Konteks”. Dalam karangannya tersebut, Dolorosa membahas persoalan eksistensi perempuan perupa yang dianggap penting dibicarakan dalam kaitannya dengan permasalahan perempuan yang semakin gencar disuarakan oleh kaum perempuan, baik melalui wacana maupun gerakan perempuan yang ditujukan untuk perbaikan kehidupan perempuan. Fokus karangan Dolorosa ini pada tema ekspresi yang tampak dalam karya-karya perempuan perupa di Indonesia. Meninjau karya-karya perempuan perupa yang terlibat dalam event-event pameran seni rupa, baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dari pengamatannya terhadap karya-karya perempuan perupa tersebut, Dolorosa Sinaga menyimpulkan bahwa karya-karya perempuan perupa di Indonesia sulit untuk dikaitkan dengan permasalahan identitas ekspresi karena tidak ada klaim-klaim tentang permasalahan yang spesifik tentang perempuan. Kandungan ekspresi yang mengangkat permasalahan perempuan lebih dilihat sebagai permasalahan sosial, dan lebih jauh lagi menjadi permasalahan kemanusiaan. Aspek permasalahan perempuan dalam karya-karya perempuan perupa memperlihatkan sensitivitas perempuan yang diekspresikan melalui pengalaman pribadi masing-masing.
Menurut Dolorosa, medium seni rupa belum dilihat oleh perempuan perupa di Indonesia sebagai alat ekspresi untuk tujuan tertentu kecuali sebagai medium ekspresi pribadi. Hal ini menunjukkan tidak ditemukannya kehadiran wacana seni rupa berbasis identitas ekspresi perempuan perupa. Wacana yang tampak lebih kuat dalam ekspresi perempuan perupa di Indonesia adalah wacana kemanusiaan ketimbang wacana yang spesifik seperti wacana gender, emansipasi, atau pembebasan. Dalam pengamatannya, permasalahan perempuan dalam dunia seni rupa masih terbatas pada gagasan visual saja, belum berakar pada tujuan atau pembentukan pemikiran yang disampaikan melalui bahasa visual. Meski ditemukan kecenderungan-kecenderungan ekspresi yang sangat kuat mengungkapkan aspek permasalahan perempuan, dunia seni rupa di Indonesia belum memiliki paradigma konsep ekspresi seni perempuan. Persoalannya adalah terletak pada penyampaian permasalahan perempuan belum bisa dilihat sebagai pengalaman obyektif, karena peranan subyek masih merupakan faktor penting dalam berkarya.[xiv]
Penelitian yang dilakukan oleh Alvi Luviani berjudul “Perupa Perempuan Di Yogyakarta Tinjauan Dalam Perspektif Gender” mengupas persoalan eksistensi dan survival perupa perempuan di Yogyakarta dalam menghadapi pergulatan yang keras dalam dunia seni rupa yang masih didominasi oleh para perupa laki-laki. Menurut Alvi, eksistensi perupa perempuan sudah mulai menampakkan dirinya dan hadir di antara perupa laki-laki walau baru dalam jumlah yang sangat kecil. Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan ekspose dan publikasi yang dilakukan oleh media atau lembaga terkait tentang eksistensi perupa perempuan dalam percaturan dunia seni rupa di Indonesia. Kemudian Alvi juga menjelaskan bahwa karya seni seorang perupa perempuan biasanya lahir dari latar belakang kehidupan pribadi, pengalaman sosial, seperti keadaan dilecehkan, mengalami kekerasan fisik, mental dan banyak lagi hal lainnya.
Menurut Alvi Luviani, perupa perempuan di Yogyakarta boleh dibilang “sedikit” lebih beruntung karena tinggal dan hidup dalam suatu lingkungan masyarakat yang terbiasa menerima perempuan berprofesi sebagai perupa. Alvi memberi contoh keterlibatan perempuan dalam industri kerajinan sebagai tenaga ahli dalam pembuatan batik, perak, keramik, dan barang industri kerajinan lainnya. Namun demikian, Alvi berpendapat bahwa keterlibatan perempuan dalam industri kerajinan di Yogyakarta tersebut dianggap sedikit menyimpang dari kebiasaan. Hal ini karena masyarakat, khususnya perempuan di Yogyakarta, masih terbelenggu oleh pandangan dan konsep Jawa mengenai perempuan yang dapat dilihat pada Serat Candrarini yang sangat patriarkis. Alvi juga mengemukakan bahwa di sisi lain ada banyak juga perempuan yang dapat bergerak dengan bebas ke mana saja, dapat berbuat apa yang diinginkan tanpa harus terikat oleh aturan-aturan tertentu. Perempuan tersebut adalah perempuan yang hidup terlepas atau jauh dari kehidupan kelompok “perempuan priyayi atau perempuan religius”. Menurut Alvi, perempuan yang terbebas dari aturan-aturan yang membelenggu kaum perempuan tersebut adalah perempuan yang memiliki peluang untuk dapat bekerja di luar rumah dan menjadi perupa serta mempunyai ruang berekspresi yang lebih terbuka lebar. Kemudian, Alvi juga mengemukakan bahwa perupa perempuan yang senior dalam penjelajahan ekspresinya lebih pada pengolahan dan penguasaan prinsip-prinsip estetika dalam berkarya. Sedangkan perupa perempuan yang lebih yunior dalam usia dan pengalaman terlihat berbicara lebih lantang pada karya-karyanya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.[xv]
Keadaan ini makin parah karena jarangnya perempuan bekerja menjadi pemerhati atau kritikus/kurator. Padahal posisi ini sangat penting mengingat kurator mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan atau memilih peserta pameran sekaligus menentukan kriteria pada suatu event penyelenggaraan suatu pameran.
Epilog
Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia sekarang ini mempunyai kecenderungan representasional yang menekankan dimensi sosial dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Melihat perkembangan era pemberontakan seni di tahun 1970-an oleh Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dan era sesudahnya (1980-an dan 1990-an) yang ditandai perubahan gradual dari kesadaran sosiologis ke kesadaran budaya. Menurut Rizki, kesadaran budaya dan perkembangan seni rupa di Indonesia tidak terlepas dari apresiasi tentang pengalaman menjagad yang muncul di tahun ’90-an. Jika tahun 1974 sekelompok seniman muda Yogyakarta dengan gigih menentang dominasi “sang pusat” legitimasi, maka sejak tahun ’80-an dan utamanya ’90-an, langkah seperti itu sudah tidak lagi menjadi strategi populer dalam penerobosan praktek seni rupa. Seni rupa kontemporer dihayati bukan lagi sebagai wujud konfrontasi penentangan terhadap pusat legitimasi nilai, tapi justru “memanfaatkannya” untuk kemudian meninggalkannya dan menyelenggarakan pusat-pusat yang lain, sebagai kekuatan pembanding, sebagai pusat-pusat alternatif. Rizki menetapkan kecenderungan dalam praktek seni rupa kontemporer di Yogyakarta era ’90-an ke dalam tiga aspek, yaitu berkenaan dengan gejala perupaan, tema karya, serta orientasi praktek seni rupa yang dijalankan seniman. Menurut Rizki, persoalan dalam tema karya dalam perkembangan seni rupa kontemporer tahun ’90-an adalah tentang pergulatan menyoal identitas, yaitu identitas budaya, identitas sosial, dan identitas personal (pribadi). Persoalan tema dilihat sebagai representasi keterlibatan seniman dalam realitas yang dinyatakannya dalam posisi dan reposisi subyek. Dalam pembahasannya mengenai perkara identitas personal (pribadi) dalam karya-karya seni rupa kontemporer era ’90-an.[xvi] Perkembangan ini bukan berarti yang mendorong seniman perempuan kemudian banyak membicarakan tama atau persoalan peran maupun perempuan dalam perkembangan seni tetapi justru dari para seniman perempuan inilah yang kemudian membuat perubahan tersebut menjadi semakin cepat.
Persamaan dan perbedaan pada tema ekspresi yang tampak dalam karya-karya perempuan perupa, antara lain: munculnya kecenderungan yang kuat mengetengahkan tema-tema sosial sebagai gagasan ekspresi, interpretasi permasalahan yang tampak beragam, sikap berkarya yang cenderung melakukan pencarian bentuk-bentuk ekspresi baru yang komunikatif (instalasi, seni rupa pertunjukan, dan penggabungan keduanya), kecenderungan mengekspresikan aspek permasalahan perempuan dalam bingkai permasalahan sosial.
Dolorosa melihat hal yang menarik dalam ekspresi karya-karya perempuan perupa tersebut adalah muncul keragaman interpretasi terhadap permasalahan mereka sendiri, yang menjadikan seluruh permasalahan aspek perempuan dalam karya-karya mereka lebih terbaca sebagai ekspresi pengalaman individual. Pembicaraan atau discourse tentang tematik sebenarnya kemudian melemahkan posisi seniman perempuan karena membuat tidak sadar bahwa yang terpenting ialah sistem dari perkembangan Seni Rupa itu sendiri yang masih menggunakan mitos “Seniman besar” padahal kungkungan terhadap perempuan jelas adalah sebagai akibat dari konstruksi budaya yang ada.
[i] Dolorosa Sinaga, ”Wacana Seni Rupa Perempuan: Antara Konsep dan Konteks” dalam Adi Wicaksono dkk. (Ed.), 2003, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia: Politik dan Gender, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, hlm. 110.
[ii] Pengertian kodrat adalah potensi biologis yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang secara fisik terberi sejak lahir. Lihat “Pengantar Penerbit” dalam Bhasin, Kamla, 1996, Menggugat Patriarki, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Kalyanamitra, hlm. V.
[iii] Ira Adriarti Winarno, “Jejak Pelukis Perempuan Indonesia” dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis, 19 Desember 2002.
[iv] Pengertian kodrat menurut tulisan Pengantar Penerbit pada buku Kamla Bhasin Menggugat Patriarki adalah potensi biologis yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang secara fisik terberi sejak lahir. Lihat Kamla Bhasin, 1996, Menggugat Patriarki: Pengantar Tentang Persoalan Dominasi Terhadap Kaum Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Kalyanamitra Jakarta, hlm. V.
[v] Dr. Mansour Fakih, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (cetakan ketujuh), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 7-8.
[vi] Lihat Pengantar Penerbit dalam Kamla Bhasin, Loc. cit.
[vii] Karlina Leksono-Supelli, “Kapan Perempuan Boleh Menamakan Dunia” dalam Arsip Media Kerja Budaya (MKB) Online. Kunjungi http://mkb.kejabudaya.org/mkb-arsip/kls/mkb-kls-kapanperempuanmenamakan.htm Sedangkan Psikolog Prof. Dr. Ida Poernama Sidi menekankan bahwa tugas kodrati perempuan hanyalah mengandung, melahirkan dan menyusui. Lihat Ira Adriarti Winarno, “Jejak Pelukis Perempuan Indonesia” dalam Khazanah Suplemen Pikiran Rakyat Khusus Budaya, Kamis, 19 Desember 2002.
[viii] Dr. Mansour Fakih, Op. cit., hlm. 11.
[ix] Sugihastuti dan Suharto, 2002, Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 63-64.
[x] Dr. Mansour Fakih, Op. cit., hlm. 7.
[xi] Op. cit., hlm., 8-9.
[xii] Op. cit., hlm. 9.
[xiii] Op. cit., hlm. 10.
[xiv] Dolorosa Sinaga, Op.cit., hlm. 108-125.
[xv] Alvi Luviani, “Perupa Perempuan Di Yogyakarta Tinjauan Dalam Perspektif Gender” dalam “Seni dan Perempuan”, Ekspresi, Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Volume 10, Tahun 4, 2004, hlm. 10-24.
[xvi] Rizki A. Zaelani, “Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan 90-an, Sebuah Kasus Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia” dalam Jim Supangkat, Sumartono dkk., 2000, Outlet: Yogya Dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, hlm. 127-166.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H