Kebudayaan kuno mempunyai literatur kebijaksanaan khusus, literatur yang memberikan nasihat langsung dan bijak. Namun, sebagian besar literatur kuno dan abad pertengahan dianggap sebagai literatur moral. Para penulis sering kali memahami bahwa mereka sedang menyampaikan kebijaksanaan kepada pembacanya, baik mereka menulis puisi atau dialog filosofis, dan pembaca saat itu mencari sastra sebagai sarana utama untuk menjadi bijaksana. Tentu saja, kegembiraan dari sebuah cerita yang diceritakan dengan indah atau kegembiraan akan suku kata yang terjalin dengan cerdik juga berperan menciptakan kesan ini, tetapi hal-hal ini tidak sesuai dengan tujuan para penulis mahsyur seperti Pindar atau Plato. Pendidikan kontemporer telah kehilangan pencarian kebijaksanaan melalui membaca, dan ketika perkuliahan mendorong mahasiswanya untuk membaca seseorang seperti misalnya Homer, ia sering kali hanya menjadi bacaan sejarah atau 'sebatas' fiksi.
Kebijaksanaan melibatkan dua unsur: (i) memperoleh wawasan tentang cara hidup dengan segala sesuatu, yaitu struktur obyektif dari realitas atau apa yang oleh orang Yunani sebut Logos, dan (ii) belajar membentuk kehidupan kita agar sesuai dengan tatanan obyektif ini.
Nenek moyang kita memahami bahwa kita menghuni alam semesta dengan pola dan hukum nyata yang semuanya bekerja sama untuk membentuk keseluruhan, suatu tatanan yang dapat ditemukan oleh orang yang mengamatinya tetapi tidak pernah benar-benar ditemukan, sehingga manusia terus mencari kebenaran. Dalam ilmu pengetahuan zaman ini, peradaban kita membatasi tatanan yang dapat ditemukan ini hanya pada operasi mekanis ilmu fisika semata, namun nenek moyang kita memahami bahwa kehidupan dan moralitas, keindahan dan jiwa menempati alam semesta yang sama dengan batu, sungai, dan langit, dan bahwa semuanya sama-sama tunduk pada hukum suatu pola. Dalam karya agungnya, The Abolition of Man, C.S. Lewis menggambarkan cara budaya kuno di seluruh dunia memperhatikan hal-hal seperti ini dan berusaha menanamkannya melalui literatur mereka. Meminjam istilah dari filsafat Tiongkok, Lewis menyebut hal ini sebagai Tao, yang biasanya diterjemahkan hanya sebagai "Jalan".
Kita dapat melihat contoh mengenai hal ini diungkapkan dalam misalnya Keluaran 20:12: "Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya umurmu panjang di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." Karena diciptakan oleh Tuhan, alam semesta bekerja sedemikian rupa sehingga ketika anak-anak harus menghormati orang tuanya, maka hal itu akan baik pula bagi mereka. Pola tatanan dunia ini begitu jelas secara moral sehingga hampir semua kebudayaan telah mengenalinya. Kita tidak bisa mengubah pola ini seperti kita tidak bisa mengubah hukum gravitasi.
Banyak orang tua di dunia pendidikan secara klasik cemas jika anaknya tidak dapat menarik semua fakta dari literatur yang mereka baca. Kita mungkin menyebutnya "membaca untuk pengetahuan" dan bukan "membaca untuk kebijaksanaan". Memang membaca untuk pengetahuan bukanlah hal yang buruk. Kita dapat menyuruh anak-anak untuk membaca Buku Sejarah dan salah satu manfaatnya adalah mereka mempelajari fakta-fakta sejarah tertentu: bagaimana perang terjadi, siapa yang berkuasa, dan bagaimana pemerintahan di zaman itu berfungsi, misalnya. Pendidikan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membaca demi mendapatkan pengetahuan seperti ini karena kita berharap anak-anak kita akan mengumpulkan pengetahuan dalam ingatannya seperti simpanan uang di kartu ATM yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk transaksi sosial (misalnya di dunia kerja).
Namun, jika kita mengajari anak-anak membaca hanya untuk mendapatkan pengetahuan, wajar saja kita menerima keluhan bahwa proses membaca menjadi membosankan dan tidak ada gunanya. Seharusnya ketika anak-anak kita membaca, kita harus menemani mereka melalui teks, membantu mereka untuk melihat dunia di luar sana, dan mengidentifikasi momen-momen yang dapat berhubungan dengan teks bacaan melalui hukum kebajikan, pola hubungan baik dan buruk, atau cara masyarakat bekerja. Kita dapat menemukan kebijaksanaan ini dalam teks yang berserakan di mana pun, bahkan ketika kita membaca fiksi atau puisi.
Kita mungkin membandingkan membaca untuk mendapatkan kebijaksanaan dengan segala sesuatu yang diajarkan melalui metode yang disediakan banyak sekolah. Di sana, tujuan sebagian besar waktu dalam dunia pendidikan adalah untuk mencapai sesuatu yang disebut "berpikir kritis" tentang apa yang baru saja dibaca siswa. Dengan menyuruh siswanya untuk berpikir kritis terhadap sebuah tulisan, tipikal guru di lembaga semacam ini berarti bahwa mereka harus mengidentifikasi fakta dan proses pembuktian apa pun dalam teks tersebut---nyata atau khayalan---tentang fakta sejarah misalkan
Dalam tingkat pendidikan lebih lanjut, mahasiswa diajak untuk mengkritik penulis dari literatur yang mereka baca. Di sisi lain, para mahasiswa juga diajak untuk mengagumi seorang pemikir yang berwawasan begitu ke depan menurut sistem pendidikan. Namun apa yang mahasiswa tidak pernah diajarkan untuk bertanya adalah apakah sesuatu yang mereka baca itu bijaksana. Jika kita membaca untuk mencari hikmah, mungkin ada sesuatu seperti kritisisme yang sangat dikagumi oleh pedagogi pendidikan kritis, dimana nilai itu selama ini bersembunyi di dalam teks yang sedang dibaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H