Bermula dari yang tidak pernah kita sadari, bahwa sesungguhnya di dalam diri manusia bukan hanya terdapat kecerdasan intelektual yang keseluruhanya bertolak pada akal budi, melainkan aspek aspek yang berbentuk rohani, spiritual, emosional dan semua yang jarang sekali kita sadari, hidup dan berinteraksi menuju kesempurnaan dan kecerdasan dalam diri kita. Saya sebut kecerdasan itu sebagai (kecerdasan tradisional).
Segala ajaran, aliran, dan golongan dari zaman-zaman klasik sampai modern terus menerus menganjurkan, mendoktrinasi dengan segala dalil dan argumentasi agar supaya manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal untuk mempergunakan karunianya itu dengan baik. Memang sepertinya dewasa ini manusia menyadari akan hal itu dan mencoba mempergunakan akalnya dengan semaksimal mungkin, sehingga munculah berbagai analitis yang canggih dan apriori serta pada saat itu pula akibat dari hal semacam itu, industrialisasi dan tekhnologi pun menjadi semakin mapan. Dan pada akhirnya akalah yang menjadi dewa bagi mereka.
Kekeringan terus menerus membayangi manusia, mereka sudah menjadi percaya sepenuhnya akan kekuatan intelektual tanpa basuhan air spiritual, dengan demikian mereka tidak mengetahui potensi emosi, rasa, spiritual dan semacamnya. menusia modern menjadi pintar, mempunyai gagasan yang berlimpah serta kaya akan metode-metode yang dikembangkan. Beranjak dari stetmen ‘kecerdasan Tradisional’, secara pasti akan timbul dalam benak kita, apa yang dimaksud dengan semua itu?.
Titik tolak dari pengamatan saya mengenai kecerdasan tradisionla ini, tertuju pada sosok dari presiden kita yang sekarang. Tidak lain adalah Joko Widodo, yang akrab biasa disebut Jokowi.
Sebenarnya pembicaraan mengenai kecerdasan tradisional dalam sosok jokowi ini sudah hangat dibicarakan oleh budayawan Indonesia yaitu, Radhar Panca Dahana, tetapi saya ingin membicarakan lebih lanjut mengenai hal ini agar supaya masayarakat tau dan sadar akan memandang jokowi itu seperti apa. Dengan demikian mereka akan tau bahwa seorang yang tidak cerdas secara intelektual belum tentu ia tidak cerdas pula secara kecerdasan-kecerdasan yang lain. Yang saya maksud adalah (kecerdasan Tradisional). Bentuk dari kecerdasan tradisional itu sendiri terlihat dalam teingkah laku Jokowi yang sering kita lihat di media-media sosial yang tidak banyak bicara, tidak banyak bertingkah serta selalu mengutamakan yang namanya kerja, karna ia paham betul dengan budayanya sendiri yang senang dengan kerja keras tanpa melihat hasil terlebih dahulu dan merasa hanya dengan bermodal kata-kata serta janji-janji belaka, kenyataan yang diharapkan tidak menjamin sertaus persen akan terwujud.
Beberapa kata yang selalu digoar-goarkanya sebagai slogan yaitu “Revolusi Mental”. Secara harfiah mungkin kita paham dengan kata-kata itu, tetapi apa yang dimaksudnya dengan revolusi mental secara mendalam kadang kita kabur menafsirkanya. Ada maksud besar di balik kata-kata tersebut.
Secara spontan timbul dalam benak saya ketika jokowi mengutarakan kata-kata revolusi mental. Apa yang sebenarnya ia maksud dan apa yang yang sebenranya ia tuju terhadap bangsa Indonesia ini agar supaya menjadi lebih baik dan sadar akan kondisinya. Ketika saya mendengarkan pembicaraan Radhar Panca Dahana, ia mengatakan bahwa, tubuh dan jiwa Indonesia ini sudah kehilangan arah serta jadi dirinya kabur entah kemana. Agak sukar memang jika berbicara mengenai Indonesia beserta revolusi mentral, tidak serta merta menjadi seratus persen rasional. Dari kata (revolusi mental) sendiri saja kita sudah melihat bahwa slogan tersebut irasional, dan itulah sebenarnya yang diinginkan jokowi.
Bangsa Indonesia sebelum lahir dari rahim dunia dengan pahlawan utamanya sang bapak pekerja serta merasa tidak biasa dengan hal yang berbau sistem kebarat-baratan yang menghasilkan kecerdasan intelektual. Bangsa Indonesia yang dulu sebagai bapak para pekerja keras lebih mementingkan kerja dari pada hasil. Sosok malas kabur dan tak mau mendekat lagi. Tak ada kecurangan dalam bekerja, tak ada senang-senang, foya-foya, dan bahkan bermain wanita. lebih mementingkan pintar secara tradisional dari pada pintar secara intelektual, karna pintar semacam itu bisa membuat manusia menyimpang dari tujuanya. Karena kepintaran semacam itu telah ia kuasai maka ia bisa berkuasa dengan kelicikan, kebejatan, diktator, korupsi, dan sebagainya akibat hanya kepintaran intelektual saja yang ia kuasai.
Tentu saja dewasa ini bukanya bangsa Indonesia tidak harus kembali ke zaman jahiliyah atau primitif seperti dahulu lagi, memberantas keceradasan-kecerdasan intelektual dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain. Sudah terbukti bahwa bangsa kita sekarang ini mengalami kecerdasan, tetapi tidak lebih sebagai strategi-strategi licik demi mendapatkan apa yang ia mau secara individual dan itu terealisasikan dalam kasus-kasus yang tidak manusiawi. Oleh karena itu seperti ada yang mengganjal dari bangsa Indonesia yang cerdas ini. Tentu saja yang dilihat oleh jokowi bukanlah kecerdasan intelektul, mahir berargumentasi serta tajam dalam analisis, melainkan apakah ia (setaraf petinggi-petinggi negara) mau bekerja secara langsung dengan cara terjun ke kerumunan masyarakat bawah dan melihat-lihat kondisinya tanpa pernah takut kotor, bau, penyakit nimbal dan yang pasti tidak ada unsur pencitraan untuk dikagumi, naik jabatan dan lain-lain. tetapi hanya satu yang ia tuju, memperlihatkan ke wajah Indonesia bahwa “inilah Indonesia dengan segala kekuranganya meskipun secara alam negaranya kaya”. Indonesia yang lahir dari dunia mistik menurutnya harus kembali kekemistikan itu tanpa mengurangi taraf kecerdasan akal atau intelektual.
Untuk taraf masyarakat bawah yang ekonominya sangat minim sekali, telah kita lihat bahwa ia/jokowi sangat mengutamakan sekali pendidikan terutama moralitas bagi mereka sejak dini agar supaya nanti kelak anak-anak itu menjadi pemimpin negara ini yang jujur, bersih dan berakhlaqul Karimah.
Jika kita lihat tujuan utama jokowi yang sebenarnya adalah merevolusi mental mereka dengan cara menyadarkan bahwa wajah Indonesia ini butuh kesadaran akan kerja tanpa takut kotor, kejujuran dalam bekerja, serta semangat yang besar untuk membangun Indonesia menjadi negara yang demokratis, sejahtera semua masyarakatnya, serta pintar dalam hal inteletual, serta mengembalikan kecerdasan tradisional yang dulu pernah hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H