Awan-awan putih  berarakan saling berkejaran. Seolah ingin berlomba untuk menutupi sinar matahari. Awan melukis langit dengan indah seperti membentuk taman surgawi. Namun sinar matahari begitu perkasa menusuknya melalui celah-celah seperti lesatan kilat pedang-pedang yang menebar aroma kematian.
Menebas gulungan-gulungan awan, menembus segala aral yang merintangi. Bahkan hembusan angin pun tak mampu membelokkan sinarnya. Menerjang lurus, menerobos celah daun-daun trembesi dan membakar dedaunan yang mati di tanah hingga kering
Bunga-bunga kamboja luruh satu persatu di sapu angin jatuh dipusara para manusia yang terlelap di dalamnya. Rindangnya dedaunan pohon trembesi memberikan keteduhan para pelayat yang berkunjung. Aroma doa-doa keselamatan ditaburkan para pelayat untuk sanak family nya yang telah pergi lebih terlebih dahulu.
Lelaki, Rambut peraknya sudah tipis terkikis zaman, kelopak matanya sedikit cekung kedalam, sorot mata sudah senja. Duduk termenung di teras depan rumahnya yang terletak di sebelah pintu masuk taman kematian. Terkadang matanya terpejam seperti sedang membaca dan merasakan tanda-tanda alam.
Tidak….Tidak… .. Dia tidak pernah berdoa untuk mengharap kematian seseorang.
Tuhan yang telah menuntunnya  sehingga ia berada disini. Karena semuanya sudah diatur oleh yang maha Kuasa. Dia hanya mencari pengabdian. Berkeliling pekuburan dengan sapu ajaibnya membersihkan daun-dauan yang ikut mati laksana Michael Angelomelukis. Menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh di gundukan tanah yang ber nisan laksana Shakespeare menggubah puisi.
Rombongan-rombongan pelayat memberikan derma seikhlasnya. Melalui tangan-tangan peziarah ini Tuhan memberikan kasih sayangnya. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.
Sumber gambar : disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H