Bukan karena ketajaman, tapi karena kesungguhan. Bahkan air titisan hujan pun mampu melubangi batu yang keras sekalipun. Begitu pun usahamu. Tak kan pernah sia-sia bila kesungguhan itu ada. Man Jadda Wajada!
Kelas baru dimulai untuk pertama kalinya. Ustadz Salman Ali masuk sembari mengucap salam kepada para santri. Bukan kitab yang dibawa olehnya, melainkan sebilah kayu besar dan sebuah pedang. Perkenalan dirinya di dalam kelas pun cukup singkat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat sebilah kayu dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang sebuah pedang. Dengan gagahnya, Ustadz salman mencoba memotong sebilah kayu besar yang ia pegang dengan pedang yang dibawanya. “Buk...Buk...Buk...” Suara hentakan pedang yang mencabik-cabik kayu itu pun menambah semakin besar rasa penasaran para santri. Masih terus berusaha, Ustadz Salman tak berhenti hingga pada akhirnya kayu besar yang dipegangnya benar-benar patah olehnya.
“Bukan karena ketajaman, tapi karena kesungguhan!”
“Man jadda Wajada” –Ustadz Salman berseru—
Tak lama satu persatu santrinya pun mengikuti sembari mengepalkan tangan mereka:
Man Jadda Wajada!
Man Jadda Wajada!
Man Jadda Wajada!
---------------------------
Kisah di atas merupakan potongan adegan dalam film Negeri 5 Menara yang saat ini sedang tayang di bioskop (bulan Maret 2012). Adegan singkat yang cukup membuat bulu kudu bergidik di atas adalah inti yang sangat esensial dari film ini. Meski saya masih tetap lebih suka novelnya, saya cukup mengapresiasi usaha para sineas muda Indonesia seperti Afandi Abdul Rahman yang mau mengangkat sebuah tema film yang mampu mengembalikan semangat dalam jiwa. Semoga kelak ke depannya akan muncul film-film penggugah semangat sepertihalnya film Negeri 5 Menara.
Man Jadda Wajada! Siapa yang bersungguh sungguh, dia kan mendapatkan (berhasil). Ya, inilah filosopi yang pertama sekali didengungkan oleh para murobbi kepada para santri di sebuah pondok pesantren bernama Ponpes Modern Darussalam Gontor di kota Ponorogo. Semangat ini pernah saya dapatkan dari kisah-kisah yang terurai oleh adik saya yang kebetulan juga merupakan alumnus baru di pondok itu. Seperti halnya adinda pernah bercerita tentang bagaimana untuk pertama kalinya ia harus keluar dari rumah di usianya yang sangat belia. Subhanallah, niat itu datang dari keinginannya sendiri. Jika tidak salah, seingat saya pada saat itu ia baru duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Berat memang membayangkan anak Sekolah Dasar harus ditinggalkan oleh keluarganya untuk menimba ilmu di kota kecil yang jaraknya dipisahkan oleh dua ujung pulau yang berbeda. Bahkan saya teringat kisahnya dahulu sewaktu bapak dan ibu hendak pulang ke rumah setelah membekali semua kebutuhannya di pesantren, adik saya sempat menangis dan mencoba mengejar bus yang lambat laun menjauh darinya. Sambil menangis, bapak hanya mendengarkan teriakan kerasnya yang semakin melemah memanggil nama “Ibu... ibu... ibu... Bapak... Jangan tinggalin Gati!”
Man Jadda Wajada! Bertahan! Dan terus bertahan! Sampai ajal menjelang, Teruslah bertahan dengan penuh perjuangan!
Alhamdulillah, Adinda akhirnya mampu melewati masa-masa penuh tantangan di pondoknya. Di pondok, ia menemukan keluarga barunya. Sahabat-sahabatnya dari seluruh pelosok negeri. Tak memandang anak pejabat atau menteri sekalipun, semua dipersaudarakan dalam sebuah naungan bernama pondok pesantren. Kisah kisahnya pun terdengar sangat menarik untuk didengarkan saat adinda pulang ke kampung halaman di Siantar. Kisah tentang kedisiplinan yang ketat di pondok mulai dari pakaian, model rambut, hingga penggunaan bahasa sehari-hari. Adapula kisah kebersamaan dalam setiap sholat lima waktu yang dijalani, semangat dalam belajar bersama, kesetiakawanan dalam berbagi kiriman paket makanan dari orang tua di kampung, kisah tentang uang tabungan yang tiap akhir bulan penuh rasa ketar-ketir, hingga kisah tentang santapan makan pagi-siang-malam yang jauh dari kesan mewah. Sangat sederhana!
Man Jadda Wajada! Bertahanlah! Teruslah bertahan dalam perjuangan!
Kadang saya pribadi sering kali merasa iri dengan hari-hari perjuangan hebat yang adinda jalani. Jarang ia mengeluh pada kedua orang tua. Sepertinya, perlahan mental bajanya terasah oleh tarbiyah yang berlandaskan nilai nilai robbaniyah. Kakinya pun tumbuh lebih kokoh bila dibandingkan dengan pemuda seusianya. Hidupnya di pondok benar-benar menempahnya menjadi kuat. Sungguh, saya masih belum seberat dia dalam hal perjuangan.
Untuk adinda dan semua para pejuang di jalan Allah,
Yakinlah! Akan ada masa dimana engkau memetik hasil perjuanganmu di kemudian hari. Atas segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah bagi mereka yang mau berusaha dengan sungguh sungguh dan senantiasa berdoa padaNya. Senantiasalah terus gali potensi diri dan tetaplah semangat dalam belajar. Bersungguh-sungguhlah! Tanamkan semangat Man jadda Wajada dalam jiwamu. Tanamkan semangat itu ke dalam sum-sum tulangmu. Alirkan ia dalam aliran darahmu. Rasakan semangat Man Jadda Wajada saat kalian memulai usaha. InsyaAllah, Allah yang Maha Pemurah akan malu bila DIA tidak mengabulkan doa-doa orang yang berserah diri dalam berusaha dan berdoa. Yakinlah pada-Nya! Man jadda Wajada!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H