Ditahun ke tahun saat musim liburan lebaran dan NATARU (Natal dan Tahun Baru), masyarakat Indonesia berbondong-bondong untuk mempersiapkan moda transportasi yang akan digunakan untuk berpergian, baik itu menggunakan alat transportasi pribadi maupun alat transportasi umum. Berbagai lapisan masyarakat akan memadati beberapa ruas jalan yang ada dan beberapa akan memadati fasilitas umum yang tersedia di kota-kota yang mereka tinggali. Sudah menjadi kebiasaan untuk mereka ketika musim liburan, banyak dari masyarakat yang ingin bertemu dengan keluarga dan sanak-saudaranya yang berada di tempat mereka berasal.
  Salah satu karakteristik perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah fenomena "mudik", yang merupakan fenomena sosiokultural yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan perjalanan pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga mereka. Selain perjalanan fisik, fenomena mudik memiliki dampak sosial, budaya, dan psikologis yang signifikan.
  Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kebanyakan orang-orang yang berada dalam kategori kelas atas akan lebih memilih menggunakan alat transportasi pribadi seperti mobil, namun tidak menutup kemungkinan juga orang-orang yang masuk kedalam kategori menengah akan menggunakan mobil ataupun sepeda motor, baik itu yang mereka miliki ataupun yang mereka sewa, kemudian beberapa masyarakat dalam kategori bawah akan lebih memilih untuk mengikuti program yang disediakan oleh pemerintah pusat. Kemacetan akan memadati semua ruas jalan utama dan seluruh tempat stasiun serta bandara akan mengalami kenaikan lonjakan penumpang, mereka yang berpergian menggunakan moda transportasi darat, akan mengalami kejadian yang bernamakan macet, kecuali untuk kereta api.
  Banyaknya pengguna transportasi pribadi di Indonesia, menimbulkan keresahan pada pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan dan mengatur jalannya acara mudik, mereka belajar dari kejadian BREXIT yang menimbulkan korban jiwa dikarenakan kemacetan yang terjadi. Infrastuktur di Indonesia semakin lama semakin baik terbukti dengan adanya Tol Trans Jawa dan beberapa proyek Tol yang ada di pulau sumatera dan pulau Kalimantan, serta pulai Sulawesi
  Meningkatnya pemudik dari tahun ke tahun yang dari perantauan menuju tempat asal terjadi puncaknya ketika setelah pandemic Covid-19 yang melanda seluruh Indonesia dan seluruh dunia. Setelah mereka tertahan karena peraturan Social Distancing selama kurang lebih dua tahun, membuat mereka menahan rasa rindu terhadap keluarga dan sanak saudara. Pengalaman mudik, dengan semua perasaan nostalgia, harapan, dan interaksi sosial yang melekat padanya, berdampak besar pada kesehatan mental bagi para pemudik.
Â
1. Teori Mobilitas Sosial
  Mobilitas sosial mengacu pada pergerakan individu atau kelompok dari satu posisi sosial ke posisi sosial yang lain. Fenomena mudik bisa dilihat sebagai bentuk mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal dalam masyarakat. Sebagian besar orang yang melakukan mudik adalah mereka yang telah merantau atau bekerja di kota-kota besar dan ingin kembali ke desa atau kampung halaman mereka. Mudik menjadi simbol dari keberhasilan seseorang dalam mencapai mobilitas sosial yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang berhasil meraih pekerjaan yang lebih baik di perkotaan dan kemudian kembali ke kampung halaman untuk berbagi kebahagiaan dan pencapaian tersebut.
2. Teori Ekonomi
  Fenomena mudik juga dapat dianalisis dari sudut pandang ekonomi mikro dan ekonomi makro. Pada level mikro, mudik berkaitan dengan kebutuhan individu untuk mempertahankan hubungan sosial dan budaya dengan keluarga di kampung halaman. Dari sudut pandang ekonomi makro, mudik mempengaruhi perekonomian Indonesia secara signifikan, terutama di sektor transportasi, pariwisata, dan distribusi barang. Transportasi menjadi sektor yang sangat sibuk selama periode mudik, yang menyebabkan lonjakan permintaan terhadap tiket, bahan bakar, dan sektor-sektor terkait lainnya.
  Selain itu, fenomena mudik berfungsi sebagai momen konsumsi massal. Para perantau yang pulang ke kampung halaman membawa uang dan barang-barang yang mereka beli selama bekerja di kota, yang bisa meningkatkan perekonomian daerah atau desa mereka, baik dalam hal pengeluaran konsumsi maupun dalam investasi lokal.
3. Teori Budaya
  Mudik bukan hanya sebuah tradisi sosial, tetapi juga merupakan ritual budaya yang sangat signifikan di Indonesia. Teori budaya menekankan bahwa mudik adalah sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan kultural dengan keluarga dan komunitas asal. Dalam konteks budaya, mudik memiliki nilai simbolik yang kuat, seperti menunjukkan rasa hormat dan bakti kepada orang tua dan leluhur. Tradisi ini memperlihatkan nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan yang dijunjung tinggi dalam budaya Indonesia.
Lebih jauh lagi, mudik dapat dilihat sebagai bentuk "ritual keagamaan" yang berkaitan dengan Hari Raya Idul Fitri, di mana umat Islam di Indonesia merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Mudik menjadi bagian dari pengungkapan rasa syukur, mempererat tali silaturahmi, dan memperkuat keimanan umat.
4. Teori Sosiologi
  Dalam konteks sosiologi, fenomena mudik berkaitan dengan struktur sosial dan peran sosial dalam masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah ritual kolektif, mudik melibatkan interaksi sosial yang erat antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Fenomena ini dapat mendorong penguatan solidaritas sosial, baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara. Sebagai contoh, masyarakat yang melakukan mudik sering kali terlibat dalam proses berbagi dalam bentuk pemberian uang, makanan, atau barang kepada keluarga dan kerabat di kampung halaman.
  Namun, di sisi lain, mudik juga bisa menciptakan ketegangan sosial, terutama terkait dengan ketimpangan antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan. Pemberian yang dilakukan oleh para perantau dapat menumbuhkan kesenjangan sosial dalam konteks perbedaan akses dan peluang ekonomi.
5. Teori Mobilitas Transportasi dan Infrastruktur
  Dari perspektif transportasi, fenomena mudik sangat erat kaitannya dengan mobilitas fisik dan infrastruktur transportasi. Setiap tahun, fenomena mudik menyebabkan peningkatan volume kendaraan di jalan raya, yang bisa mengakibatkan kemacetan parah dan kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, pemerintah dan berbagai pihak terkait seringkali melakukan upaya peningkatan kapasitas transportasi dan infrastruktur untuk mendukung kelancaran arus mudik.
  Peningkatan jumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum juga dapat memberikan gambaran mengenai tingkat perkembangan infrastruktur transportasi di Indonesia. Kemacetan yang terjadi selama periode mudik sering kali menunjukkan betapa pentingnya kebijakan pembangunan infrastruktur yang dapat mengakomodasi kebutuhan mobilitas masyarakat, khususnya selama musim puncak seperti Idul Fitri.
6. Teori Psikologi Sosial
  Dalam teori psikologi sosial, mudik berkaitan dengan motivasi dan identitas sosial. Motivasi mudik sering kali berasal dari dorongan emosional untuk berkumpul dengan keluarga, melanjutkan tradisi, dan mempertahankan identitas budaya yang telah terjaga dari generasi ke generasi. Di sisi lain, mudik juga menciptakan sebuah perasaan connectedness atau keterhubungan dengan keluarga dan komunitas, yang menjadi aspek penting dalam pembentukan identitas sosial seseorang.
  Fenomena ini juga seringkali dipengaruhi oleh faktor nostalgia dan afeksi terhadap kampung halaman. Mudik menjadi sarana untuk memperkuat rasa memiliki terhadap suatu tempat dan komunitas, yang pada gilirannya memperkokoh ikatan sosial di tingkat individu dan masyarakat.
Â
1. Masyarakat Kelas Atas
  Menggunakan transportasi yang lebih nyaman dan efisien, seperti pesawat terbang, mobil pribadi, atau bahkan mobil pribadi dengan fasilitas mewah, biasanya digunakan oleh masyarakat kelas atas yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi untuk mudik. Mereka cenderung memiliki akses yang lebih baik ke layanan transportasi, seperti tiket pesawat kelas bisnis atau layanan transportasi pribadi.
  Mudik seringkali menjadi kesempatan untuk menunjukkan status sosial, dengan membawa oleh-oleh atau membantu keluarga di kampung halaman. Selain itu, mereka memiliki kemampuan untuk mengangkut barang konsumsi premium, seperti barang elektronik atau barang impor, yang dapat menunjukkan kesuksesan mereka.
  Karena mereka memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mudik keluarga, lapisan masyarakat ini memiliki kesempatan untuk memperkuat posisi dominan dalam struktur sosial keluarga atau komunitas mereka. Mereka dapat menjadi sumber bantuan keuangan bagi keluarga di pedesaan dengan memberikan uang atau barang.
  Mereka tetap terikat pada budaya dan emosi mudik, meskipun tampak lebih "terpisah" dari kemampuan dan akses. Mereka melakukannya dengan cara yang berbeda, seperti memprioritaskan waktu bersama keluarga atau acara-acara yang lebih mewah di kampung halaman.
Â
2. Masyarakat Kelas Menengah. Â Â
  Kelompok terbesar yang terlibat dalam fenomena mudik adalah masyarakat kelas menengah yang tinggal di perkotaan. Mereka biasanya melakukan mudik dengan menggunakan transportasi umum seperti bus, kereta api, atau pesawat, tergantung pada kemampuan finansial mereka. Bagi mereka, mudik menjadi sarana untuk pulang ke kampung halaman, mempererat hubungan dengan keluarga, dan berbagi kebahagiaan setelah mencapai tujuan tertentu di kota.
  Keberhasilan yang diperoleh selama merantau biasanya ditunjukkan oleh masyarakat menengah. Mereka sering membawa oleh-oleh, seperti makanan khas, pakaian baru, atau barang-barang yang menunjukkan pencapaian mereka selama berada di kota besar. Dalam situasi seperti ini, mudik menjadi acara sosial yang menunjukkan pencapaian sosial dan ekonomi mereka kepada keluarga dan komunitas di kampung halaman mereka. Namun, lapisan menengah kadang-kadang lebih terbebani oleh biaya mudik.
  Mereka harus merencanakan keuangan dengan sangat hati-hati karena mereka harus membayar transportasi, penginapan, dan oleh-oleh. Fenomena ini menunjukkan bahwa orang-orang dari kelas menengah tidak memiliki akses yang sama untuk mudik, karena mereka harus mengorbankan sebagian besar pendapatan mereka untuk kembali ke rumah.
3. Masyarakat Kelas Bawah.
  Bagi orang-orang yang berasal dari lapisan ekonomi bawah atau yang bekerja dengan gaji rendah, mudik seringkali menjadi waktu yang sangat dinantikan meskipun penuh dengan tantangan. Banyak di antara mereka yang harus mengumpulkan uang selama berbulan-bulan atau bahkan mengajukan pinjaman agar mereka dapat kembali ke rumah. Mereka biasanya hanya memiliki pilihan angkutan umum kelas ekonomi yang lebih murah, seperti bus atau kereta ekonomi, yang tidak memberikan kenyamanan.
  Untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi keluarga, mudik dapat menjadi ritual penuh harapan. Mereka sering membawa peralatan rumah tangga atau pakaian bekas, yang dianggap berharga oleh keluarga di kampung halaman. Bagi mereka, mudik adalah kesempatan untuk menunjukkan kesuksesan yang mungkin tidak terlalu mencolok di kota besar, tetapi tetap penting dalam konteks kerja sama.
  Sebaliknya, lapisan masyarakat ini sering membawa pulang uang atau barang yang telah mereka kumpulkan selama bekerja di kota besar, dipandang sebagai sumber harapan atau perubahan ekonomi di kampung halaman karena dianggap membawa berkah finansial bagi keluarga yang tinggal di desa. Mereka melakukan ini meskipun mereka menghadapi keterbatasan ekonomi.
Namun, rasa keterasingan sosial muncul bagi mereka yang tidak dapat mudik. Orang-orang dari lapisan ini tidak jarang merasa tertekan karena tidak dapat memenuhi ekspektasi sosial untuk pulang, terutama karena biaya hidup di kota dan transportasi.
Â
  Fenomena mudik yang melibatkan berbagai lapisan sosial masyarakat dengan latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda dapat diatasi dengan menerapkan peraturan yang didukung langsung dengan pemerintah dan para pengguna transportasi tersebut. perjalanan mudik NATARU dan Lebaran dapat diatasi dengan;
1. Meratakan Akses Transportasi.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh lapisan sosial masyarakat bawah adalah keterbatasan akses terhadap moda transportasi yang nyaman dan terjangkau, masyarakat menengah ke bawah sering sekali menghadapi biaya transportasi yang tinggi, membuat mereka lebih memilih untuk opsi yang murah dan kurang nyaman.
Solusinya adalah menaikkan jumlah subsidi transportasi umum, membuat transportasi publik yang terjangkau dan nyaman, dan meningkatkan infrastruktur.
2. Menyediakan Layanan Informasi dan Akses Tiket.
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh setiap pemudik adalah keterbatasan akses informasi terkait transportasi dan akses tiket yang cepat dan mudah.
3. Subsidi untuk Pemudik dari Kalangan Ekonomi Rendah
Salah satu solusi yang dapat mengurangi ketimpangan adalah memberikan subsidi atau dukungan biaya transportasi untuk pemudik dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Misalnya, dengan memperkenalkan program transportasi gratis atau tarif yang lebih terjangkau untuk mereka yang berpendapatan rendah.
4. Peningkatan Pelayanan dan Keadilan dalam Akses Transportasi
Penyedia layanan transportasi perlu memastikan adanya standar pelayanan yang setara bagi semua penumpang, tanpa memandang status sosial ekonomi. Pemerintah juga dapat menyediakan layanan khusus, seperti transportasi mudik gratis atau berbasis bantuan sosial, untuk memfasilitasi kelompok rentan.
5. Program Mudik Bersama
Program mudik bersama yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi, atau perusahaan dapat memfasilitasi masyarakat dari berbagai lapisan sosial untuk mudik dengan biaya yang lebih murah dan nyaman. Program ini juga bisa lebih terkoordinasi dan aman, mengurangi beban infrastruktur transportasi.
6. Sosialisasi dan Edukasi tentang Keadilan Sosial
Masyarakat juga perlu diedukasi tentang pentingnya keadilan sosial, baik dalam cara menghargai sesama pemudik, menghindari sikap diskriminatif, dan menjaga solidaritas sosial, sehingga interaksi antar pemudik dari berbagai lapisan sosial menjadi lebih harmonis.
7. Peningkatan Kesadaran dan Kerjasama antara Sektor Publik dan Swasta
Agar mudik dapat dijalankan dengan baik, baik sektor publik maupun swasta perlu bekerja sama untuk menyediakan fasilitas yang terjangkau bagi semua kalangan. Misalnya, penyediaan tiket dengan harga diskon, atau menyelenggarakan program mudik gratis atau dengan biaya terjangkau untuk masyarakat yang kurang mampu.
  Kesimpulan dari tulisan ini adalah bagaimana Fenomena mudik pada musim liburan Nataru (Natal dan Tahun Baru) serta Idul Fitri bukan hanya sekadar aktivitas perjalanan fisik, melainkan juga memiliki dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis yang sangat kompleks. Dalam konteks stratifikasi sosial, mudik mencerminkan berbagai lapisan masyarakat dengan karakteristik dan tantangan masing-masing. Masyarakat kelas atas memiliki akses yang lebih baik terhadap moda transportasi yang nyaman dan efisien. Mudik bagi mereka sering menjadi simbol status sosial yang memperlihatkan kesuksesan. Masyarakat kelas menengah memainkan peran penting dalam fenomena mudik, menggunakan transportasi publik maupun pribadi sesuai kemampuan finansial. Mereka sering menunjukkan pencapaian sosial dan ekonomi mereka kepada keluarga di kampung halaman. Masyarakat kelas bawah menghadapi tantangan finansial yang lebih berat untuk mudik. Namun, bagi mereka, mudik tetap menjadi simbol harapan dan cara untuk mempererat hubungan sosial.
Pemerintah dan pihak terkait perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi tantangan mudik, seperti meningkatkan akses transportasi, memberikan subsidi untuk kalangan ekonomi bawah, menyelenggarakan program mudik bersama, dan meningkatkan pelayanan transportasi yang adil bagi semua kalangan. Dengan kerja sama antara sektor publik dan swasta serta edukasi kepada masyarakat, perjalanan mudik dapat menjadi pengalaman yang lebih nyaman, aman, dan inklusif untuk semua lapisan masyarakat.
Fenomena mudik, pada akhirnya, bukan hanya tentang perjalanan, tetapi juga tentang solidaritas sosial, keberlanjutan tradisi, dan keberagaman pengalaman yang menyatukan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H