Fakta kecurangan yang terorganisir oleh penyelenggara pendidikan dari berbagai tingkatan sudah banyak terkuak ke publik. Hal ini meresahkan masyarakat karena kelulusan yang tinggi karena pihak sekolah atau "tim sukses" membagikan kunci jawaban pada siswanya. Ini selalu terjadi dari tahun ke tahun.
Seorang guru SMK di Kab Tangerang cerita bahwa ketika mengawas UN dia mengambil kunci jawaban yang dibagikan oleh pihak SMK Pesantren tempat di mengawas. Kembali ke sekolah, dia dipanggil oleh kepala sekolahnya karena dilaporkan oleh kepala SMK tempat dia mengawas. Sang guru tersinggung karena pihak sekolah terang-terangan membagikan kunci jawaban. Dia sudah dengar cerita bahwa seluruh kepala sekolah sepakat membagikan kunci jawaban pada siswanya. Hampir semua siswa ikut UN mengetahui praktek kecurangan seperti ini, semua memilih diam karena merasa diuntungkan dengan cara tersebut.
Kemendiknas sampai ke sekolah adalah lembaga yang diharapkan mampu melahirkan manusia Indonesia yang sehat, jujur dan berkualitas tapi prakteknya siswa secara terang-terangan menerima kunci jawaban. Siswa dan orang tua merasa dapat pertolongan dari Tuhan karena tidak perlu repot-repot belajar dan takut tidak lulus.
Ketika dikonfirmasi oleh wartawan kepada Mendiknas, dengan enteng dia menjawab : "Menyelenggarakan UN adalah sebuah tugas besar, jika terjadi beberapa kecurangan, saya rasa itu wajar, karena kami bukan malaikat," (kompas.com)
Jika seorang menteri yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan merasa kecurangan itu hal yang wajar, bagaimana dengan anak buahnya sampai ke guru yang langsung berhadapan dengan anak. Mereka akan bilang, silahkan curang asal jangan ketahuan pengawas, kalau perlu pengawas diajak kompromi.
Disatu sisi kemendiknas mengerahkan pengawalan luar biasa untuk menunjukan pada publik bahwa Kemendiknas bersih dan dibuktikan dengan tampilnya polisi berseragam mengawal UN yang justri membuat anak-anak jadi tambah stress dan merasa tidak nyaman.
Tapi disisi lain sudah rahasia umum di semua dinas ada tim sukses yang membagikan kunci jawaban pada setiap sekolah.
Situasi seperti ini akan berbekas pada diri setiap anak, bahwa guru yang harus mereka gugu dan tiru membolehkan untuk bohong agar bisa lulus UN. Sekolah dan dinas pendidikan sebagai lembaga pendidikan sengaja bersandiwara demi nama baik sekolah dan dinas pendidikan yang berhasil meluluskan 100 %.
Kemana kita sebagai orang tua harus menyerahkan pendidikan anak-anak agar mereka bisa belajar, mencontoh dan menteladani orang dewasa yang ada disekitarnya.
Menyimak fenomena ini, saya menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk meninjau ulang keberadaan UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan.
Sistem UN tidak menghargai proses yang dijalani selama tiga tahun di sekolah. Dan secara teoritis diketahui bahwa kecerdasan anak-anak beragam, sehingga hasil UN tidak mampu mencerminkan hasil belajar dan kemampuan siswa.