Mohon tunggu...
Ihsan Badroni
Ihsan Badroni Mohon Tunggu... -

Abdi Negara di Sekretariat Jenderal DPR RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menakar Efektivitas Unit Pengendalian Gratifikasi Kementerian Agama

19 Maret 2014   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil kesepakatan Antara Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Agama, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Bappenas menetapkan bahwa pemberian “uang tanda terimakasih” atau “honor pengganti uang transportasi” kepada penghulu terkait pencatatan nikah termasuk kategori gratifikasi dan harus dilaporkan kepada KPK seperti diatur Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun yang dimaksud dengan gratifikasi itu sendiri seperti yang terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Selain perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan gratifikasi itu sendiri, perlu juga untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, untuk itu perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b.yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum."

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.

Dengan rumusan pengertian gratifikasi yang cukup luas seperti diatas, maka profesi yang paling rentanterhadap pemberian gratifikasi tentunya adalah profesi yang selalu berhubungan dengan pemberian layanan secara langsung kepada masyarakat, salah satunya adalah profesi penghulu, pegawai pencatat nikah, dan pembantu pegawai pencatat nikah yang ada pada Kantor Urusan Agama (KUA) disetiap kecamatan.

Berdasarkan pasal 3 PMA No. 11 Th. 2007, tugas Penghulu dan Pembantu PPN adalah: Mewakili PPN dalam pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan, setelah mendapat mandat dari PPN. Namun terdapat perbedaan yang tegas antara Pembantu PPN di Jawa dan Luar Jawa dalam pelaksanaan kewenangannya. Pembantu PPN di Jawa hanya menerima dan memeriksa persyaratan peristiwa Nikah tanpa memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya peristiwa perkawinan yang menjadi kewenangan Penghulu. Sedangkan Pembantu PPN di luar Jawa memiliki kewenangan menerima, memeriksa persyaratan dan mengawasi jalannya peristiwa perkawinan.

Dalam praktek yang terjadi di masyarakat, umumnya prosesi acara akad perkawinan merupakan acara yang sakral yang biasanya dilaksanakan ditempat kediaman mempelai. Sangat sedikit masyarakat yang mau dan ingin melaksanakan perkawinannya di kantor KUA, padahal kantor KUA sendiri telah menyediakan balai nikah untuk memudahkan masyarakat yang ingin melaksanakan pernikahan. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap peristiwa pernikahan merupakan peristiwa sakral berdimensi keagamaan, dan pada umumnya dilaksanakan di rumah mempelai atau di masjid dan tempat ibadah. Dengan pelaksanaan perkawinan di balai nikah kantor urusan agama, maka akan menghilangkan nilai sakral bagi kedua pengantin. Lagi pula, hal itu akan menambah biaya untuk mobilisasi sanak keluarga, handai tolan yang ingin menyaksikan prosesi nikah tersebut  terutama bagi calon peng­an­tin yang tinggal di daerah terpencil. Selain itu, umumnya kan­tor KUA belum memiliki aula yang dapat menam­pung banyaknya  keluarga calon pengantin yang ikut hadir dalam prosesi nikah itu. Lagi pula, setelah pelaksanaan nikah, semua keluarga lazim makan bersama di rumah pengan­tin. Dengan sendirinya, nikah di kantor KUA  akan menimbulkan biaya yang lebih besar karena mereka harus bolak-balik dengan kendaraan.

Tak hanya itu saja, pada hari hari libur kantor KUA juga tutup, sehingga pernikahan oto­matis tidak bisa dilang­sungkan. Padahal bagi sebagian masyarakat di beberapa wilayah, penetapan hari dan tanggal nikah memiliki arti tersendiri. Makanya setiap bulan Muharram, jarang ada pasangan yang mau me­lang­sungkan pernika­han lantaran mereka berpendat bulan Muharram adalah bulan yang kurang baik. Sehingga dengan adanya pelaksanaan akad perkawinan ditempat kediaman mempelai, maka inilah yang melatarbelakangi terjadinya pemberian “uang tanda terima kasih” atau “honor pengganti uang transportasi” kepada PPN maupun penghulu.

Jika kita lihat fakta keadaan ini dalam masyarakat, praktik-praktik seperti ini sebenarnya adalah hal lumrah yang terjadi, apabila mengundang pegawai pencatat nikah datang ke rumah, adalah hal yang lazim dan biasa setelah selesai melaksanakan tugasnya akan diberikan “uang tanda terima kasih.” Praktik yang hampir sama terjadi dengan pemberian “honor tanda terima kasih” kepada ustadz/ustadzah setelah selesai memberikan ceramah agama kepada masyarakat. Sehingga masyarakat menganggap praktik seperti ini sebagai hal yang lumrah terjadi di masyarakat.

Akan tetapi, praktik seperti ini akan menjadi sebuah masalah ketika ada kesenjangan pemberian “uang tanda terima kasih” tersebut antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan atau daerah yang berkembang. Jika didaerah perkotaan maka hamper bisa dipastikan honor yang diterima akan lebih banyak, sementara jika di daerah pedesaan akan mendapatkan lebih sedikit. Bahkan dari beberapa cerita penghulu dari daerah yang menyebutkan terkadang mereka hanya mendapatkan “berkat” dan pulang dengan tangan hampa alias tidak mendapatkan apa-apa. Hal inilah yang memicu beberapa oknum PPN yang nakal untuk memasang tarif dengan harga tertentu untuk melaksanakan proses akad pernikahan.

Sehingga keadaan inilah yang melatarbelakangi kasus pidana yang dialami seorang penghulu dari Kediri, karena diduga melakukan pungutan liar atau menerima gratifikasi. Kejadian ini yang memicu reaksi keras dari penghulu di Jawa Timur yang tidak mau menikahkan di luar balai nikah KUA karena enggan dituduh menerima gratifikasi. Sehingga kejadian ini dikhawatirkan menjadi persoalan nasional yang bisa mengganggu pernikahan.

Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Muhammad Yasin menjelaskan bahwa tidak ada batasan terkecil dalam pemberian gratifikasi untuk penghulu ini. Batasan minimal gratiifkasi sesuai pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tipikor tidak disebutkan adanya batas terkecil. Setiap penerimaan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dianggap suap jika berkaitan dengan jabatannya. Oleh karena itu, para penghulu harus melapor jika menerima “uang tanda terima kasih” dari pengantin atau keluarga pengantin setelah melakukan pencatatan nikah paling lambat 30 hari. Nantinya, laporan tersebut akan dianalisis oleh KPK apakah termasuk gratifikasi atau bukan.

Permasalahannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga Negara hanya berada di ibukota negara saja, sampai saat ini belum pernah ada kantor perwakilan KPK yang dibentuk di daerah-daerah, sementara Kantor Urusan Agama selaku lembaga tempat bernaung penghulu dan PPN ada disetiap kecamatan se-Indonesia. Untuk mengatasi problem yang terjadi di daerah yang sulit terjangkau oleh KPK, Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Muhammad Yasin, menyebutkan bahwa kementerian agama akan membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi.

Menarik untuk disimak bagaimana perjalanan selanjutnya dari Unit Pengendalian Gratifikasi yang terdapat di daerah ini, apakah bisa berjalan efektif, efisien, dan terintegrasi baik dengan KPK, atau hanya menjadi tambahan hiasan struktur organisasi dibawah Kementerian Agama, yang pada akhirnya juga ikut-ikutan secara laten mempraktekkan korupsi.

Karena perlu diingat bahwa sesuai dengan teori Lawrence .M. Friedman yang mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Sistem hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya, termasuk di dalam struktur ini adalah penataan lembaga dan aparat penegaknya. Kemudian substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk kedalam pengertian substansi ini adalah produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, serta aturan baru yang mereka susun. Ketiga adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Kementerian Agama selaku pemegang kekuasaan dibidang ini, selain juga menata kembali struktur dan substansi hukum yang ada yang dimulai dengan membuat peraturan perundang-undangan terkait dan juga membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi merupakan langkah progresif yang sangat baik. Namun yang perlu diperhatikan dan juga tidak kalah pentingnya adalah memberikan sosialisasi dan pengarahan kepada masyarakat agar tidak memberikan “uang tanda terima kasih” dan bentuk-bentuk lainnya yang masuk dalam kategori gratifikasi. Karena budaya hukum masyarakat yang sudah lazim melaksanakan prosesi perkawinan di tempat kediaman diluar kantor KUA tentunya akan rentan terhadap pemberian-pemberian yang bisa saja termasuk kategori gratifikasi, dan sebagian kalangan masyarakat juga menganggap pemberian “uang tanda terima kasih” itu juga sebagai suatu hal yang wajar dan lazim dilaksanakan. Sehingga kedepan jangan sampai terjadi para penghulu dan petugas PPN yang justru banyak dipidana karena kasus gratifikasi karena ketidakberesan struktur, substansi, dan budaya hukum masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun