Mohon tunggu...
Ihsan Sulis
Ihsan Sulis Mohon Tunggu... Administrasi - Seeker of Knowledge

Belajar menata Hati, menata diri, semoga mejadi insan yang tahu diri dan tunduk pada ilahi. sembari Mencoba mengaktualisasi pesan ilahi lewat jemari. Instagram : Ihsansulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Syiah Kuala atau Syi’ah Kuala?

22 Juni 2013   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13718529461490242050

Sudah kesekian kalinya, ada teman yang bertanya pada penulis dengan pertanyaan yang sama, “Mas, di  Aceh itu ada universitas syi’ah ya, universitas syi’ah Aceh . . .???. penulis pun heran dengan pertanyaan ini,  sejak kapan ada universitas syi’ah di Aceh, karena penulis belum pernah mendengar ada universitas syi’ah Aceh. Semenjak kasus sampang, memang syia’h menjadi buah bibir khususnya di kampus penulis IAIN Sunan Ampel Surabaya, ditambah lagi dengan diadakannya Dialog Sunni –Syia’h  pada 22 Oktober 2012, yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin, bekerja sama dengan PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin, dengan tema “ Haruskah Syi’ah di Tolak ?? ” dialog tersebut mendatangkan empat pembicara, di antaranya: Emha Ainun Najib (Budayawan), Prof. Dr Syamsul Arifin (Sosiolog UMM yang juga tokoh Muhammadiyah), Drs. Agus Sunyoto, M.Pd, dan Dr. Umar Syihab (Ketua Dewan Ahlul Bait Indonesia) Namun sayang dialog tersebut berujung ricuh.

Fenomena pembubaran diskusi syi’ah ini berujung pada beberapa pertanyaan tentang seputar syi’ah sehingga apapun yang berkaitan dengan prilaku, tata nama, yang hampir mirip dengan kata syi’ah ikut menjadi buah bibir. Tak terkecuali dengan salah satu universitas di Aceh yang bernama Universitas Syiah Kuala (UNSIYAH), tidak jarang dari segelintir orang yang menganggap universitas ini ada keterkaitan dengan syi’ah atau di dirikan oleh orang –orang syi’ah, padahal jika ditelusuri histori pendiriannya universitas ini diambil dari nama tokoh muslim sunni yang berpengaruh di Aceh, bahkan menurut Azyumardi Azra, tokoh ini menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya juga, orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia.

Melihat fenomena tersebut, penulis tertarik untuk memaparkan biografi Abdur Rauf as Singkili (Syiah Kuala) dan adakah korelasinya degan syi’ah.

Syi’ah  (aliran teologi dalam Islam)

Sebelum menjelaskan tentang biografi Abd Al Rauf Al Singkil (Syiah Kuala), maka terlebih dahulu akan penulis paparkan sekilas tentang teologi syi’ah sebagai stimulus dalam membedakan dua nomenklatur yang hambir sama –Syiah Kula dan Syiah (aliran teologi dalam Islam).

Syi’ah sendiri sebagaimana yang dipaparkan Abd Karim Al Syarastani dalam kitab Al Mihal wa Al Nihal, bahwa syi’ah merupakan kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Ali bin Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali ibn Abi Thalib adlah imam dan khalifah yang ditetapkan melalui nash (wahyu) dan wasiat rasulullah, baik secara terang –terangan maupun secara implisit. Mereka beranggapan bahwa imamah (kepemimpinan) tidak boleh keluar dari dari jalur keturunan Ali. Jika pernah terjadi imam bukan dari keturunan Ali, hal ini hanya merupakan kezaliman dari  orang lain dan taqiyyah dari pihak keturunan Ali.

Menurut mereka imamah bukan hanya dipandang sebagai kemashlahatan dengan dipilih dan ditunjuk, tetapi imamah ermasuk akidah yang menjadi tiang agama. Rasulullah tidak pernah melupakannya dan tidak boleh dicampuri oleh orang banyak. Mereka sepakat bahwa imam wajib ditunjuk dan orang nya sudah di nashkan. Mengutip Hakikat Akidah Syi’ah karya Muhammad Kamil Hasyim disebutkan bahwa sebab timbulnya syia’h adalah karena pengaruh seorang Yahudi dari Yaman, bernama Abdullah bin Saba’. Yang masuk islam pada zaman khalifah ketiga Usman bin Affan. Yang ingin mendapatkan kepercayaan dan kedudukan istimewa dalam pemerintahan usman, namun hal itu tidak terlaksana. Hingga ia melakukan propaganda dan singkat cerita lahirlah aliran ini.

Syiah Kuala

Denys Lombard, dalam bukunya Kerajaan Aceh, memaparkan apresiasinya nya pada Syiah kuala dengan buah karya nya yang berjumlah tujuh bab yaitu Umdat al Muhtajin. beliau memang dikenal memiliki tradisi literasi yang baik, hal ini tak lepas dari pengaruh jejaring keilmuan yang begitu luas yang telah ia bangun dengan begitu baik. Beliau dikenal sebagai murid yang paling masyhur dari Ahmad Al Qusyasyi & Ibrahim Al Kurani yang merupakan tokoh jaringan ulama di Mekkah dan Madinah.

Nama asli  syiah Kuala adalah Abd al Rauf bin Ali Al Jawi al Fansuri Al Singkili, beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur dipantai barat Aceh, Aceh Selatan. Tahun kelahirannya, tidak diketahui pasti, tetapi Rinkes, sebagaimana yang dikutip Prof. Azumardi Azradalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII” mengatakan bahwa setelah mengadakan kalkulasi ke belakang dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh, menyarankan, bahwa dia dilahirkan sekitar 1024/1615. Tahun ini telah diterima sebagian besar ahli sejarah sebagai  tahun kelahiran Al Singkili.

Abd  Al Rauf, merupakan sosok intelektual yang sangat haus akan ilmu, ini tak lepas dari pendidikan dasar yang ia peroleh dari ayahnya, menurut Hasjmi, ayah Abd Al Rauf adalah seorang Alim, yang juga mendirikan sebuah madrasah dan yang menarik murid-murid beliau berasal dari berbagai tempat di wilayah kesultanan Aceh.   dalam kolom Umdat Al Muhtajin kitab karyanya ini, beliau menjelaskan berbagai macam tempat yang pernah beliau singgahi dan dengan siapa saja beliau pernah berguru, dalam rangka memperluas khazanah keilmuannya. Dalam kitabnya tersebut beliau mengatakan bahwasanya ia pernah bellajar di setengah lusin tempat di Yaman, terbentang sepanjang jalur perjalanan haji dari Aden ke Mekkah, meliputi Zabid, Mukha, Tayy, Bait Al Faqih, dan Maza. Kemudian , ia melintasi gurun pasir arab dan belajar di Dukha, semenanjung Qatar. Untuk selanjutnya kembali ke arah barat dan belajar di Jeddah, Mekkah, dan akhirnya Madinah. Sungguh perjalanan menuntut ilmu bukanlah perkara yang gampang, bisa kita bayangkan seorang lelaki dari kawasan yang sangat berbeda dan karakter akomodasi dari tempat-tempat, seperti Fauza, Zabid, Mukha dan Bait Al Faqih, tempat FreyaStark pada 1942 mendeskripsikannya sebagai kawasan keilmuan (Learning) yang tengah ambruk.

Abd Al Rauf mempelajari berbagai disiplin ilmu islam mulai ilmu –ilmu yang ia sebut dengan “lahir”-seperti tata bahasa Arab, membaca Al Qur’an, hadist, syari’at,-sampai ilmu-ilmu batin “batin” mengenai tasawuf. Abd Al Rauf memperlihatkan bahwa ia mempelajari ilmu-ilmu lahir sebagian besr di Yaman. Beliau menulis, misalnya pernah belajar seni membaca Al Qur’an di Zabid dengan  Syeikh Abd Allah Al Adani, yang ia sebut sebagai Qari terbaik di Yaman, lebih lanjut ia menyatakan bahwa ia pernah menghabiskan waktu yang paling panjang mempelajari ilmu-ilmu “lahir” dengan Syeikh Ibrahim bin Abd Allah Jam’an di Bait Al Faqih dan Mauza’ Syeikh Ibrahim Jam’anlah yang memperkenalkannya dengan Ahmad Al Qusyasyi yang dipandang oleh Syeikh Ibrahim sebagai seorang ulama terbesar pada zamannya. Abd Al Rauf kemudian belajar tasauf dan ilmu-ilmu islam lainnya dengan Ahmad Al Qusyasyi dan dengan muridnya yang paling terkemuka yaitu Ibrahim Al Kurani.

Abd Al Rauf memperoleh penghargaan yang tinggi dari para gurunya terutama Ahmad Al Qusyasyi dan Ibrahim Al Khulani. Hingga Al Qusyasyi mengangkatnya sebagai Khalifah Syatariah agar menyebarkan tarekat ini ke kampung halamannya, kelak ketika kembali ke Aceh. Abd Al Rauf juga menjalin hubungan dengan keilmuan dengan ulama-ulama terkemuka di Madinah ia mencantumkan dalam daftarnya para ulama seperti Mullah Muhammad Syarif Al Kurani, Ibrahim Al Kurani, Isa Al Magribi dan Ali Bashir Al Maliki Al Madani (w.1160/1694), Ibn Abd Al Rasul Al Barzanji, Sufi tersohor kala itu,  Ibrahim bin Al Rahman Al Khiyari Al Madani (1047-83/1638-72) seorang murid Ala Al Din Al Babili, Al Babibili sendiri merupakan seorang Muhaddist terkemuka di Haramain kala itu.

Pemikiran Abd Rauf

Dalam karyanya Kifayat Al Muhtajin ila Masyarab Al Muwahhidin ila Masyrab Al Muwahhidin Al Qailin bin Wahdat Al Wujud, Al Singkili  mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan Nya. Beliau menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imajenasi Tuhan dalam ciptaannya. Ajaran ini mengingatkan kita pada ajaran –ajaran yang dikembangkan oleh para ulama terkemuka. Al Singkili berargumen, sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al’alam), Dia selalu memikirkan tentang diri- Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al a’yan al tsabitah) yaitu proses alam raya, yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar (al a’yan al Kharijah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. As Singkili menyimpulkan mesti, meski al a’yan al kharijiyyah emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri; hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, Al Singkili menegaskan trandensi Tuhan atas ciptaan-Nya.

Syi’ah &  Syiah Kuala

Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan penjelasan yang dapat dipercaya mengenai latar belakang Al Singkili, dan bukunya tersebut, ia mengutip pendapat A. Hasjmi (sejarawan Aceh) yang mengatakan bahwaasanya nenek moyang Al Singkili berasal dari persia yang datang ke kesultanan Samudera pasai pada akhir abad ke 13, yang kemudian menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua yang penting terletak di pantai Sumatera Barat, lebih lanjut lagi A. Hasjmi mengatakan ayah Al Singkili adalah kakak laki –laki dari Hamzah Fansuri. Namun Azyumardi Azra membantahnya, dengan argumen bahwasanya tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu.

Sedangkan Daly, sebagai mana dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa ayah Al Singkili, Syeik Ali (Al Fansuri) adalah seorang Arab yang menetap di Singkil setelah mengawini seorang wanita setempat yang berasal dari fansur, namun ada kemungkinan, ayah ayah Al Singkili bukan orang melayu, sebab kita tahu samudera pasai dan fansur sering kali dikunjungi para pedagang Arab, Persia, India, Cina, dan Yahudi setidak – tidaknya sejak abad ke -9. Tetapi, sepanjang menyangkut riwayat tentang ayah Al Singkili, tidak ada sumber lain yang membenarkan penjelasan tadi.

Namun berdasarkan kronologi pengembaraan, proses berguru, dan juga fakta di lapangan, tak dapat dikaitkan syi’ah (aliran teologi dalam islam)  dengan syiah kuala karena referensi yang menjelaskan prihal itu  lemah dan juga  kondisi di daerah sendiri, masyarakat masyoritas menganut paham As’ariyah, dan bahkan sebelum Al Singkili,  yaitu pada masa Al Raniri telah masyhur Durrat Al Farai’d bin syarh Al Aqaid karangan Al Raniri (terjemahan Melayu dari kitab Mukhtasar Al Aqaid karya Najm Al Din Al Nasafi), yang merupakan salah satu karya standar kaum Asy ‘ariyah di bidang pokok – pokok aqidah (al a’qaid).

Sedangkan syiah kuala dalam kontek Kampus  (Universitas Syiah Kuala) sebagaimana tertera pada halaman resmi  Universitas Syiah kuala (http://www.unsyiah.ac.id) merupakan Kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang cikal bakalnya sudah ada sejak awal provinsi Aceh terbentuk,  salah satu pemerakarsanya adalah Ali Hasjmy  yang ketika itu menjabat Gubernur Aceh, Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) yang kini di pimpin oleh Prof. DR. Ir. Samsul Rizal, M.Eng  diresmikan pada tanggal 21 juni 1961 SK Menteri PTIP No.11 Tahun 1961 dan pengesahannya melalui Keputusan Presiden No. 161 tanggal 24 April tahun 1962 merupakan kampus umum, yang awal mula di bukanya  adalah dengan berdirinya fakultas ekonomi dan dilanjutkan dengan fakultas kedokteran Hewan dan Imu Peternakan pada tahun 1960, dan kemudian seiring perkembangannya dibuka pula Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Mipa.

Dari uraian diatas sedikit banyak dapat digaris bawahi, bahwa Syiah Kula dan Syi’ah (aliran teologi islam)  tidak memiliki hubungaan sepesifik, terutama dalam konteks perguruan tinggi,  lafazh syiah sendiri berasal dari kata Syeikh yang mengalami afiliasi dengan lahjah setempat. Sedangkan Kuala, merupakan lokasi makam beliau yang letaknya dekat muara sungai Aceh, sebab inilah beliau memperoleh nama anumerta Syiah Kuala / Tengku di Kula (Denys Lombard; 2007) dimuat juga di SUARA ACEH. COM Monday, 17 June 2013 05:17 http://www.suaraaceh.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2307&catid=82&Itemid=529#sthash.vgYBELek.gbpl

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun