Mohon tunggu...
Ihsan Taufik
Ihsan Taufik Mohon Tunggu... -

Talk Less Do More

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gila

25 Juni 2011   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tangan ini masih sedikit luka dengan bekas lilitan tali yang menjeratku, juga mulutku terasa kaku karena di sumpal kain sekian lama sehingga tidak bisa berteriak. Tapi tidak pada hatiku yang masih bisa berdoa supaya apa yang mereka lakukan padaku akan dibalas dengan yang setimpal atas semua penderitaan yang telah mereka lakukan padaku. Dengan atas nama kebaikan aib keluarga, mereka menyekap dan membiarkan aku terkapar di sudut kamar yang gelap. Apa aku ini di mata mereka? Apa aku bukan lagi bagian dari keluarga mereka karena kelakuanku yang kurang baik kareana selalu menjambak rambut orag-orang? Seperti apakah orang yang baik itu? Apakah orang yang mengurung seseorang bisa disebut baik? Bukan.

Di kamar yang gelap itu, aku selalu bertanya dalam hati, kenapa mereka mengurungku? Apa yang salah pada diriku sehingga mereka merasa takut dan menjauhiku? Apa mereka menganggapku gila hanya karena selalu tersenyum dan langsung menangis? Bukankah senyum itu amal paling murah yang oleh semua agama merasa diharuskan dan menangis itu hakikat manusia yang tidak bisa dilepaskan? Atau karena aku satu-satunya orang yang percaya bahwa gerimis itu bisa turun di saat musim kemarau? Nyatanya di musim yang panas ini gerimis selalu turun di mataku.

Mungkin karena hal itu juga sampai sekarang aku masih sendiri. Entah semua wanita merasa takut atau malah aku yang takut pada mereka. Yang jelas aku bukanlah lelaki yang gampang jatuh hati pada seseorang. Aku menginginkan wanita yang setia, tidak seperti kekasihku dulu yang selalu mengatur hidup ini dan kemudian pergi meninggalkanku begitu saja dan akhirnya membuat hatiku hancur melebihi rasa sakit ketika terkurung di waktu lalu. Mungkin saja karena ulah kekasihku itulah awal dimana aku pun dijauhi pula oleh orang-orang karena tanpa henti aku selalu menangis yang berlarut.

Aku ingin bebas seperti sekarang bisa leluasa pergi dan duduk di bangku taman, sambil dengan tenang menikmati hembusan angin malam yang membelai rambutku. Seperti saat dulu ketika aku tertidur di punduk kekasihku sambil membelai helaian rambutku, ditemani rembulan yang ikut menyaksikan kami berdua. Indah sekali saat itu karena di pikiranku hanya ada bayangan orang itu, tidak ada siapapun. Mungkin semua orang telah kulupakan, walau tanpa ada yang tau hilang dimana ingatanku hingga membuat aku merasa takut pada semua orang dan yang kurasakan kini aku ingin menjambak rambut orang-orang yang kutemui sambil berkata: -Apa kamu tidak merasa sakit ditinggalkan kekasih sendiri tanpa alasan yang jelas? Memang bukan kamu yang melakukan itu padaku, tapi kamu pun akan sama seperti dia. Teriakku.

Memang hidup ini singkat, terlalu singkat bila hanya digunakan untuk mengingat masa lalu yang kelam, dan sekarang aku merasa hidup kembali dengan jiwa yang baru. Setelah kabur dari kurungan yang menjeratku, akhirnya aku kembali ke taman tempat dimana aku dan kekasihku dulu selalu menghabiskan malam tanpa ada yang mengganggu. Mungkin saja aku bisa kembali bertemu dengannya disini dan meluapkan perasaan kesal yang selama ini berkecamuk di hatiku yang hancur. Tapi nyatanya dari balik pepohonan yang rindang aku mendengar seorang wanita yang lain sedang bernyanyi dengan lirik-lirik yang membuat merinding. Suaranya begitu merdu seperti salah seorang penyanyi yang lagi sibuk disorot berita infotainment karena bisa menjadi pacar seorang pencipta lagu cinta yang menyayat hati, bukan karena kualitas suaranya. Tidak. Bukan seperti suara penyanyi itu karena aku belum pernah mendengar suara aslinya karena ketika dia menyanyi hanya menggunakan trik lipsing sambil berkomat-kamit mengikuti lirik dan irama lagu. Seperti orang gila saja.

“Aku kembali mengingatmu di sisa gerimis
Diantara punggung batu yang mengukir namamu
Disitulah, kenangan kita telah terpahat

Atau pada daun kering bagaikan selembar surat
Yang menuntaskan sebuah jejak ziarah
Aku telah menuliskannya sehabis gerimis
Lalu menjadi abadi di kedua mataku

Aku rindu bersamamu, menyulam ribuan malam dengan tatapan tajam,
Namun maut memutuskannya, menjelma sabit membuat matamu terpejam.

Untukmu, aku rela bersetubuh bersama angin
Dengan dingin yang kucicipi nikmatnya sepi
Dan bila kau tak kembali
Aku menjema doa untuk menemuimu”

Karena mendengar suara yang seperti keluar dari ungkapan hatinya, aku memberanikan diri mendekati wanita itu dan duduk bersebelahan dengannya. Keberanian dan kebaikan apa hingga aku tidak menjambak rambutnya, malah bertanya dan ingin mengetahui siapa dia sebenarnya.

“Sedang apa dan menunggu siapa kamu disini?” tanyaku sambil melihat tatapan matanya yang kosong seperti pikiranku yang juga kosong karena aku bisa berani mendekati seorang wanita. Dia hanya diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun