Mohon tunggu...
Ihsan FIkrie
Ihsan FIkrie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Anak pertama dari dua bersaudara. Mama-Papa sudah tua tapi tetap bergaya!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung: yang Terlupakan #5

30 September 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Sasha. Kukira dia sahabat baikku. Ternyata aku terlalu naif. Apa benar Sasha dan Ale memang sudah lelah dengan sikapku? Ah, kalau memang mereka sahabatku, pastinya mereka tidak akan melakukan itu. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untukku dan selalu men-support ­apapun yang kulakukan. Benarkah kalau Sasha sangat membenci Mona? Atau mungkin, Sasha ada hubungannya dengan kematian Mona? Tidak, tidak mungkin. Separah apapun tidak sukanya Sasha terhadap Mona, dia tidak mungkin melakukan hal yang sebegitu kejinya. Tidak mungkin.

Nuutt... Nuuutt...

Handphoneku bergetar. Kurogoh saku celanaku untuk mengambilnya. Ada telpon dari Ale. Sasha pasti sudah cerita kepada Ale. Lebih baik tidak kuangkat. Lagipula aku harus pergi ke sumedang sekarang juga. Tidak ada waktu untuk berkelahi. Tadinya aku mau mengajak Ale. Tapi, aku pergi sendiri saja lah.

Aku pun bergegas meninggalkan tempat ini dan turun ke jalan raya. Lalu menyetop sembarang angkot yang lewat untuk pergi ke terminal bus. Aku melangkahkan kaki kananku untuk memasukinya, tiba-tiba...

“Tomi!!”

Ada yang memanggilku. Aku menengok, ternyata itu Ale.

“Tomi, tunggu Tom!!” panggil Ale sambil berlari menghampiriku. Cepat-cepat aku masuk dan menyuruh sopir untuk segera berangkat. Tapi sialnya, si sopir belum belum mau melakukannya karena angkot belum penuh.

“Bang, cepat berangkat bang!”

“Nanti dulu Dek, tiga orang lagi deh.”

“Saya bayar lima kali lipat,” tukasku sambil celingukan ke arah Ale. Ale sudah semakin dekat.

“Serius?”

“Iya, makanya cepat beragkat!”

Pak sopir pun akhirnya memasukkan gigi mobil dan langsung tancap gas.

“Fyuuhh... hampir saja!”

Setelah tiga kali berganti-ganti angkutan umum, dalam empat jam akhirnya aku tiba di Tomo. Setelah itu aku naik ojek ke dekat pemakaman yang Ale tunjukkan padaku. Angin di sini bertiup dengan cepat, membuat beberapa batang pohon terlihat melengkung. Sesaat kemudian angin berubah tenang, sebelum akhirnya kembali berhembus kencang. Kondisi udara di sini tak menentu, atau ini hanya perasaanku saja? Entah kenapa jantungku kembali berdegup dengan kencang, seakan telingaku sendiri bisa mendengarnya. Tanganku bergetar hebat dan dari telapaknya bercucuran keringat. Ini terjadi lagi.

Aku belum tahu di mana rumah Ibu Rima sekarang. Jadi aku bertanya kepada setiap orang aku temui di jalan. Sayangnya, daerah ini sangat sepi. Hanya sekitar lima-enam orang yang berhasil aku temukan berada di luar rumah. Namun instruksi mereka cukup jelas. Dan baiknya, mereka sudah mengenal ibu Rima walaupun dia baru dua bulan tinggal di daerah ini.

Setelah beberapa menit mencari, akhirnya aku menemukannya. Akhirnya, sebentar lagi semuanya akan menjadi jelas. Aku tahu Mona memang tidak akan hidup lagi, tapi setidaknya, aku tidak akan penasaran lagi. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi kepadanya. Aku berjalan dengan pelan ke halaman rumah itu. Tanganku semakin begetar. Apakah aku berani mengetuk pintu kayu berwarna coklat itu? Apa aku berani? Kenapa aku takut? Apa yang aku takutkan sebenarnya?

Tok.. Tok.. Tok..

Aku sudah mengetuknya. Aku melakukannya. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah menunggu. Aku harus menunggu. Tapi, entah kenapa aku malah ingin segera pergi dari sini. Aku ingin lari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat ini.

Tap.. Tap.. Tap..

Suara langkah kaki terdengar dari dalam. Tiba-tiba peluh dingin bercucuran di wajahku. Angin yang berhembus kencang membuatku semakin kedinginan. Aku harus bertahan, jangan pergi dulu! Tolonglah, tahan! Tahan sebentar lagi! Suara langkah kaki semakin dekat. Pelan-pelan pintu itu terbuka. Aku semakin takut. Cepat-cepat kutundukkan pandanganku. Pintu terbuka sepenuhnya. Aku melihat sepasang kaki. Sepasang kaki yang tidak asing bagiku.

“Mona?”

Aku langsung mengangkat wajahku untuk melihatnya.

Braakkk!!!

Pintu itu tertutup dengan sangat keras. Aku sangat terkejut. Aku sempat melihat wajahnya sedikit. Sepertinya itu Ibu Rima. Kenapa aku merasa kalau itu adalah Mona? Tidak, tidak. Mona sudah meninggal, pastilah itu Ibu Rima. Tapi, apa benar kalau Mona sudah meninggal? Dia Mona atau Ibu Rima?

“Mau apa kau ke sini bajingan??!!!” teriaknya dari dalam. Suara ibu Rima.

“Mona, eehhh...,” aku tidak yakin. “Ibu Rima, saya mau bicara sebentar.”

“Tidak bosan-bosannya kau mengganggu hidupku!! Pergi dari sini!!” teriaknya lagi.

“Maaf, Bu. Saya mohon, saya cuma ingin tahu apa yang terjadi dengan Mona. Tidak ada maksud sama sekali mengganggu ibu. Saya mohon buka pintunya Bu...,” pintaku.

”Pergi kau bajingan!!!” suaranya parau, diiringi dengan tangisan.

“Bu, tolong buka pintunya Bu! Bu!!!” aku mengetuk-ngetuk pintu itu. Ibu Rima hanya menjawabnya dengan tangisan, sesunggukan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Usahaku gagal. Ini tidak akan berhasil. Aku akan pergi sekarang juga. Aku selesai dengan semua ini.

“Toloong!!!”

“Mona?” Apa aku tidak salah dengar? Itu suara Mona.

“Mona!! Mona!! Buka pintunya!! Ibu Rima, buka pintunya!!” teriakku sambil terus menggedor pintu itu.

“Mau apa lagi kau oranggila?!” teriak Ibu Rima.

“Buka pintunya! Aku tahu Mona ada di dalam. Buka pintunya sekarang!!”

Tiba-tiba seseorang datang dan menepuk pundakku dari belakang.

“Tomi, ternyata dugaanku benar,kau pasti datang ke rumah ini.”

“Ale? Mau apa kau ke sini?”

“Ayo kita segera pulang Tom!”

“Tidak Le. Tidak sampai aku bertemu dengan Mona.”

“Mona sudah mati Tom! Kita berdua sudah melihat kuburannya. Apa lagi yang kau mau?”

“Mona belum mati. Aku mendengar sendiri dia meminta tolong dari dalam.”

“Apa? Apa maksudmu?”

“Ya, Mona masih hidup.”

“Kau benar-benar sedang sakit Tom.”

“Terserah apa katamu, aku akan tetap...,” pembicaraanku terhenti. Perhatianku teralihkan oleh seorang wanita berambut panjang yang sedang berlari di jalan. Wanita yang selama ini aku cari-cari, akhirnya aku menemukannya.

“Mona!!”

Aku segera berlari mengejarnya. Tapi Mona berlari terlalu cepat. Aku mempercepat lariku. Ale mengejarku sambil memanggil-manggilku dari belakang. Tapi aku tidak mempedulikannya. Mataku terfokus ke depan untuk mengejar Mona.

“Mona!! Kenapa kau lari Mona?!! Mona, tunggu aku!!”

Aku terjatuh di persimpangan. Tiba-tiba sebuah mobil datang dengan cepat dari arah sana. Lalu telingaku mendengar suara ban yang mengerem berpadu dengan suara klakson yang sangat kencang dan panjang.

Ttccciiiiiiinnnnnn!!!!!

Aku bergeming. Tidak bergerak sama sekali. Sesuatu bergerak di kepalaku. Seperti sebuah laci telah sekian lama tertutup rapat, sekarang laci itu terbuka. Ya, sekarang aku ingat. Aku sudah mengingat semuanya...,

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun