Mona sudah tiada. Ya, Mona sudah lama meninggal dunia. Entah kenapa separuh dari pikiranku sudah merasa semuanya akan berakhir seperti ini. Aku seperti orang yang terus saja berharap agar hujan tidak turun, padahal langit sudah begitu mendung. Entahlah..., Sisa dari ingatan-ingatan itu masih ada, tercerai berai. Ada sesuatu di dalam diriku yang tidak mau aku mengingatnya.
Selama di perjalanan pulang, seharusnya aku tidak terlalu banyak bertanya kepada Ale. Aku memang berduka. Aku memang menangis. Seharusnya aku membiarkan semuanya tetap seperti ini untuk sementara waktu. Tapi aku tak bisa. Aku tak sanggup menahan diri dari teka-teki yang terus berputar-putar di kepalaku. Kehilangan Mona memang sangat menyedihkan, tapi ketidaktahuanku tentang kematian Mona lebih menyakitkan.
“Ale, bagaimana Mona meninggal?”
“Mona adalah korban tabrak lari, Tom. Begitu yang kudengar.”
“Tabrak lari? Bagaimana dengan pelakunya? Sudah ketemu?”
“Pelakunya sudah ditangkap. Sekarang dia sedang dikurung di dalam penjara.”
“Siapa yang melakukannya? Maksudku, apa ada hubungannya dengan Mona?”
“Sepertinya tidak. Kejadian ini murni kecelakaan.”
Tidak. Bukan seperti itu. Bukan itu yang kuingat. Ada yang tidak beres. Ini tidak benar. Aku merasa bahwa aku ada di sana ketika semua itu terjadi. Mona meminta tolong padaku. Selain itu, waktu meninggal Mona adalah dua bulan yang lalu, sama ketika aku mengalami koma. Ya Allah, apa mungkin kalau ini bukanlah kecelakaan? Bagaimana kalau ini adalah sebuah tindakan yang disengaja, dan pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana?
Jika begitu, pastilah yang melakukannya adalah seseorang yang menaruh dendam kepada Mona, atau malah kepada kita berdua. Tapi, siapa? Apa yang terjadi pada waktu itu? Aaarrgghh..., sialan! Kenapa aku bisa lupa! Dan kenapa pula aku jadi koma?! Semuanya makin bertambah buruk saja. Aku harus segera mengetahuinya.
Aku baru sampai di rumah malam hari. Setibanya di sana, aku melihat ada sebuah motor gede terparkir di halaman. Aku pernah melihat motor ini sebelumnya. Aku pun mengintip ke ruang tamu. Benar saja, pria itu datang lagi. Pak Slamet. Aku pun berniat untuk tidak segera masuk, aku menguping pembicaraan ibu dan Pak Slamet dari luar jendela.
“Tapi Pak, dia baru saja sembuh. Bagaimana kalau kita menunggu beberapa hari lagi,” ibu memohon. Wajahnya kelihatan agak cemas.
“Menunggu sampai kapan lagi Bu? Saya harus segera menyelesaikan masalah ini. Ibu tidak ingin mendapat masalah kan?” bentak Pak Slamet.
Mendengar Pak Slamet berkata seperti itu kepada ibu, aku tidak bisa tinggal diam. Aku pun masuk, lalu meminta Pak Slamet untuk segera pergi dari rumah.
“Maksud Bapak apa bicara seperti itu kepada Ibu? Saya minta Bapak keluar sekarang juga! Cepat!” perintahku dengan nada keras.
“Tomi? Sejak kapan kamu pulang?” tanya ibu khawatir. Pak Slamet hanya menatap terkejut padaku. Mungkin dia masih belum percaya kalau anak ingusan sepertiku berani mengusirnya seperti itu.
“Sepertinya kamu sudah baikan, Tomi. Sangat kelihatan dari cara kamu mengusir saya.” ucapnya. Aku masih tetap menatapnya dengan telunjukku mengarah ke pintu keluar. Pak Slamet pun akhirnya pergi setelah pamit kepada ibu. Wajah ibu masih kelihatan cemas.
“Bu, Pak Slamet ini siapa sih? Apa maunya dia?” tanyaku. Ibu langsung membuang muka lalu masuk ke dalam kamar. Isyarat bahwa aku tidak boleh bertanya lebih jauh. Aku pun hanya membiarkannya. Aku tidak mau ikut campur ke dalam urusan yang tidak aku mengerti. Pertama Mona, sekarang Pak Slamet, lalu setelah ini apa? Aku tidak mau menambah masalah lagi. Lebih baik sekarang aku tidur, mempersiapkan segalanya untuk pergi ke Sumedang besok pagi, untuk bertemu dengan ibunya Mona.
***
Pagi ini, semuanya berjalan normal. Raut wajah ibu tenang seperti biasanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi malam. Setelah sarapan, aku mencium tangan ibu lalu pamit untuk pergi ke sekolah.
“Tomi berangkat Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,“ jawab Ibu sambil tersenyum. Maafkan aku Bu. Maaf kalau aku mengkhianati kepercayaanmu terhadapku. Hari ini aku tidak akan pergi ke sekolah. Ada sesuatu yang harus segera kuselesaikan.
Kebun di belakang sekolah, di sinilah aku berada sekarang. Datarannya naik menyerupai sebuah bukit kecil. Suasananya teduh dipenuhi oleh berbagai macam pohon buah. Sisinya berbatasan langsung dengan jalan raya. Di sini aku biasa menghabiskan waktu bersama Mona, walau hanya untuk melihat-lihat pemandangan di bawah, menonton suasana ramai orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang, atau sekedar menikmati semilir angin yang berhembus segar. Aku masih bisa merasakan saat-saat yang sangat berharga itu. Seakan-akan Mona masih berada di sini, seakan-akan aku masih bisa melihatnya ketika aku menengok ke belakang. Mona berada di sana dengan napas yang terengah-engah.
“Hahh.. Hahh.. Hahhh.. Tom.. Hahh.. Hahh.. Maafin aku Tom, aku telat lagi. Hahhh.. Hahh..” ucap Mona.
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya memjamkan mataku, mencoba menikmati hembusan angin yang menerpa permukaan tubuhku. Lalu punggungku merasakan sesuatu. Ya, itu Mona, sedang memelukku dari belakang.
“Tom..” panggil Mona dengan lembut. Aku masih tidak menjawab, aku sedang menunggu kata-kata yang akan ia keluarkan selanjutnya.
“Di saat-saat seperti ini, aku selalu merasa takut.”
Aku tertegun sejenak, lalu bertaya kepadanya.
“Apa yang kamu takutkan Mona?”
“Aku takut untuk melepaskan pelukan ini. Aku takut jika aku melepaskannya, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku bisa memelukmu.”
Pelukan Mona semakin erat. Aku menggenggam telapak tangannya yang melingkar di perutku. Menikmati momen yang sedang berlangsung saat ini. Kami jarang sekali memiliki waktu berdua. Ibunya Mona, Ibu Rima, dari awal memang tidak pernah menyetujui hubungan kami. Entah apa masalahnya. Semuanya sudah kulakukan untuk membuatnya percaya. Mulai dari berhenti merokok, mengubah gaya bicaraku, mengubah gaya berpakaianku, mengubah sikapku, aku seperti bukanlah diriku yang sebenarnya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana untuk mengambil hati ibunya Mona itu. Aku sudah lelah menjadi orang lain.
“Tomi, kita tidak akan berpisah kan? Kita akan tetap bersama kan?” tanya Mona sambil tetap memelukku. Suaranya pelan dan lemah.
“Tentu Mona. Tentu saja.”
“Kita akan tumbuh bersama kan? Dewasa bersama, tua bersama?”
“Aku berjanji padamu, tidak ada yang bisa memisahkan kita.”
“Apapun?
Aku membalikkan badan. Mengecup keningnya yang lembut, lalu berkata dengan yakin
“Apapun.”
Tiba-tiba aku tersadar. Semua lamunan itu lenyap, bagai setumpuk debu yang tertiup angin. Menghilang entah ke mana. Semuanya berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, kepalaku merasakan sakit yang luar biasa.
“Aaaaaahhh!!”
Tubuhku terjatuh. Beruntung lututku masih sanggup menahannya. Aku menaruh kedua tanganku di kepalaku yang berdenyut-denyut. Ngilu sekali. Aku tidak bisa mendengar apa-apa. Yang kudengar hanyalah bunyi ngiiiiinnnggggg... yang sangat panjang. Seperti suara klakson yang bergitu keras. Semuanya terlihat berputar-putar. Aku melihat seseorang sedang berlari dari kejauhan. Seorang wanita, dia sedang berlari ke arahku. Aku memperkuat otot penglihatanku dan mencoba mengenalinya. Mona? Apakah itu Mona? Aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun dan menghampirinya.
“Mona! Mona!!” panggilku. Wanita itu semakin mendekat. Aku semakin bisa melihatnya dengan jelas. Wanita itu menyentuh wajahku. Dia kelihatan sedang mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Aku masih terus menatap wajahnya. Tidak salah lagi, dia adalah Mona. Dia memanglah Mona. Aku membalas menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Namun seketika, wajah itu berubah. Aku melihatnya sekali lagi.
“Sasha?”
Perlahan-lahan aku mulai bisa mendengar suaranya. Awalnya sayup-sayup, tapi lama kelamaan semakin jelas. Bersamaan dengan rasa sakit di kepalaku yang mulai menghilang.
“Tomi, apa yang terjadi?”
Suara Sasha, aku sangat mengenalinya. Seharusnya aku sudah tahu itu.
“Apa yang terjadi Tom? Kenapa kamu di sini?”
Aku pun menangis, lagi. Aku memang lemah. Aku belum sanggup menerima semuanya. Aku benar-benar bodoh. Sebagai lelaki, aku telah gagal melindungi Mona. Ketika sesuatu yang sangat penting terjadi pada Mona, aku malah tertidur. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanyalah merintih, menyesali semuanya.
“Mona...,” air mataku menetes lagi.
“Tomi apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu tidak sekolah?” tanya Sasha. Aku tidak merespon apa-apa. Aku hanya melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Menangis.
“Mona...!!!” aku berteriak. Air mataku mengalir kian derasnya.
“Tomi, bangun Tom! Sadarlah, Mona sudah pergi! Apapun yang kamu lakukan, tidak akan membuat dia hidup lagi!!”
“Aku tahu, Sha. Aku hanya ingin meluruskan semuanya. Aku tidak sanggup kalau terus begini, ini sangat menyiksaku.”
“Aku tidak mengerti padamu. Sebenarnya apa sih istimewanya si Mona itu, sampai-sampai kamu menanggapinya seperti ini?”
Aku terkejut mendengar apa yang barusan diucapkan oleh Sasha. Apa mungkin aku salah dengar?
“Apa kamu bilang?” tanyaku meyakinkan.
“Semenjak ada Mona, kau tidak pernah lagi menganggap aku dan Ale, sahabatmu sendiri. Sahabatmu dari kecil hingga sekarang. Orang yang selalu peduli padamu. Orang yang sudah lelah mendengar ocehan dan rengekanmu tentang perempuan itu, perempuan yang sudah membuatmu seperti bukan dirimu lagi itu! Orang mati yang terus saja kau pentingkan urusannya lebih dari siapapun!”
Plaaakkkk!!!
Sasha sudah keterlaluan. Aku tidak tahan lagi menahan amarahku padanya. Tanganku bergerak begitu saja, menamparnya tepat di pipi kirinya. Sasha masih terdiam sambil memegangi pipinya yang memar. Suara tangisan mulai terdengar darinya. Kemudian matanya yang merah berlinang itu menatapku dalam. Sebelum pergi, dia berkata kepadaku dengan suara yang parau.
“Kau tahu Tom? Ketika aku tahu bahwa Mona sudah mati, tidak ada perasaan sedih sedikitpun di dalam diriku.”
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H