Mohon tunggu...
Ihfalia Irfana
Ihfalia Irfana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Halo semuanya!! Aku Ihfalia, aku suka sekali dengan hal hal yang baru, dan aku sangat suka membaca buku sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketergantungan Pekerja Pers pada Algoritma Media Sosial: Ancaman terhadap Independensi dan Kualitas Berita

7 Oktober 2024   15:43 Diperbarui: 7 Oktober 2024   15:44 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era digital yang serba cepat, penyebaran berita mengalami perubahan signifikan, terutama dengan meningkatnya peran media sosial dalam mendistribusikan informasi. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah menjadi alat penting bagi banyak media untuk menjangkau audiens mereka. Algoritma ini, yang dirancang untuk menampilkan konten yang paling relevan dan menarik bagi pengguna, kini memiliki kekuatan besar dalam menentukan berita apa yang sampai kepada publik. Namun, ketergantungan pada algoritma ini menimbulkan sejumlah pertanyaan penting: Apakah pekerja pers kini terlalu bergantung pada algoritma media sosial untuk menyebarkan berita? Bagaimana ini memengaruhi independensi pers dan kualitas berita yang dihasilkan?

Algoritma media sosial berfungsi untuk menentukan apa yang muncul di linimasa pengguna berdasarkan perilaku sebelumnya, seperti klik, suka, dan interaksi lainnya. Banyak media berita, terutama yang beroperasi di platform digital, mengandalkan algoritma ini untuk memperluas jangkauan konten mereka. Napoli (2015) dalam studinya menunjukkan bahwa algoritma ini telah menggeser batasan dalam produksi berita, di mana konten yang memancing interaksi lebih tinggi cenderung lebih diutamakan untuk dilihat oleh pengguna. Ini berarti berita yang lebih sensasional atau emosional sering kali memiliki kesempatan lebih besar untuk viral dibandingkan berita yang lebih mendalam dan kritis.

Akibatnya, media merasa perlu menyesuaikan strategi mereka agar sesuai dengan apa yang "disukai" algoritma. Berita dengan judul menarik atau yang memancing emosi biasanya lebih mendapatkan perhatian, sementara berita yang lebih kompleks atau investigatif berisiko tertinggal. Dalam konteks ini, pekerja pers menghadapi dilema: apakah mereka harus berfokus pada kualitas berita atau beradaptasi dengan preferensi algoritma agar dapat menjangkau audiens yang lebih luas

Dampak terhadap Kualitas Berita

Kualitas berita yang diproduksi oleh media juga berada di bawah ancaman ketika terlalu banyak bergantung pada algoritma media sosial. Dalam mengejar popularitas dan viralitas, berita sering kali disederhanakan menjadi potongan-potongan informasi yang mudah dikonsumsi dan dibagikan. Hal ini sering kali mengarah pada peningkatan berita yang bersifat clickbait, di mana judul yang sensasional menjadi daya tarik utama meskipun isi berita mungkin tidak mendalam atau bahkan kurang akurat.

Tandoc dan Vos (2016) mencatat bahwa jurnalis kini berada dalam tekanan untuk menghasilkan berita yang dapat bersaing di dunia algoritma. Jika sebuah berita tidak menarik perhatian algoritma, maka ia berisiko tidak sampai ke audiens. Ini berarti konten yang serius, investigatif, atau memiliki dampak jangka panjang sering kali kalah dengan berita yang lebih ringan dan cepat viral. Akibatnya, standar jurnalistik yang tinggi seperti akurasi, keseimbangan, dan kedalaman analisis menjadi terpinggirkan demi mengejar klik dan engagement.


Membangun Keseimbangan antara Teknologi dan Jurnalisme Berkualitas

Meskipun media sosial dan algoritma memberikan jangkauan yang lebih luas, pekerja pers perlu mencari keseimbangan antara menggunakan teknologi dan menjaga integritas jurnalisme. Langkah pertama yang bisa diambil adalah tetap fokus pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme: menyampaikan informasi yang akurat, seimbang, dan relevan, meskipun itu mungkin tidak langsung viral. Media harus menyadari bahwa viralitas tidak selalu berarti kualitas, dan berita yang baik haruslah memberikan nilai informasi yang mendalam bagi publik.

Selain itu, diversifikasi saluran distribusi berita menjadi penting. Mengandalkan satu atau dua platform media sosial yang sangat dikontrol oleh algoritma bisa menjadi jebakan bagi media. Buletin email, podcast, aplikasi berita, dan situs web langsung adalah beberapa cara untuk mendistribusikan berita tanpa harus tunduk sepenuhnya pada algoritma. Dengan cara ini, media dapat tetap menjangkau audiens tanpa mengorbankan independensi dan kualitas.

Pendidikan media bagi publik juga menjadi solusi penting. Masyarakat perlu dididik untuk lebih kritis dalam mengonsumsi berita dan memahami bagaimana algoritma bekerja. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka bisa menjadi konsumen berita yang lebih selektif dan menghargai kualitas di atas sekadar sensasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun