Kita perlu belajar pada Multatuli dan Kartini. Sebagaimana pernyataan Pramoedya bahwa pemahaman nilai-nilai humanisme itu ada dengan mengenal Multatuli. Minimal mau untuk membaca. Kartini mengenal Multatuli juga dengan proses membaca. Proses pembacaan Kartini yang kuat, membentuk karakter pemahamannya pada rakyat, juga pemahaman terhadap kesetaraan dan humanisme.
Sebagaimana disampaikan dalam Quantum Reading (2015) bahwa membaca buku itu melibatkan banyak aspek: to think (berpikir), to feel (merasakan), dan juga to act (melakukan). Kebiasaan membaca inilah yang seharusnya sudah menjadi tradisi kuat pada diri setiap mahasiswa. Membaca, menulis, berdiskusi harus menjadi aktvitas dominan, baik dalam pembelajaran, maupun aktivisme pergerakan.
Karena dengan banyak berdiskusi kita memperoleh banyak perspektif baru dalam memahami karakter, sifat dan sikap dari setiap anggota diskusi. Berkumpul dengan rekan-rekan, saudara, dalam perkumpulan dialektis menjadi arena untuk memahami satu sama lain. Akan tetapi, jika hal ini tidak didukung dengan bahan bacaan yang memadari, maka perbincangan itu pun menjadi kurang bergizi, bahkan bisa terselewengkan menjadi forum ngrumpi.
Membaca saja juga tidak cukup, kita perlu berbagi dan diskusi dengan orang lain. Ada orang yang pintar, gemar membaca, tapi hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Ada pula orang suka diskusi, banyak omong, tapi bahan yang diomongkannya kurang baik, bahkan menjadi suka ngomongin orang. Bahkan, ada pula yang tidak kedua-duanya, menjadi pendiam, tidak suka membaca, juga tidak suka diskusi.
Inilah yang menjadi penghambat bagi kita untuk bisa memahami kesamaan antarsesama mahasiswa. Keseimbangan dalam tradisi literer (membaca, menulis, dan berdiskusi) perlu dibangun dalam setiap diri mahasiswa. Minimal bisa memahami dan mengerti antarindividu sebagai mahasiswa, sehingga bisa menutup lubang kesempatan bagi tumbuhnya perasaan-perasaan minder,gengsi, dan prasangka-prasangka buruk.
Dunia mahasiswa adalah dunia yang penuh dengan kompleksitas. Jenisnya pun beragam. Ada mahasiswa yang sibuk belajar saja; ada yang sibuk dengan aktivisme kemahasiswaannya, bahkan ada pula mahasiswa berjenis hewan kupu-kupu jalan (kuliah pulang, kuliah pulang, jalan-jalan). Namun demikian, tidak sedikit yang mampu menjadi ketiga-tiganya.
Akan tetapi, apapun itu jenisnya, bagaimana kita bisa menjadi sosok-sosok seperti Kartini dan Multatuli yang memperjuangkan rakyatnya dari penindasan kekuasaan, kalau kita saja tidak paham akan kesamaan mereka sebagai sesama manusia? Alih-alih paham, membaca saja, kita pun malas.
 Duh Gusti, ampuni hamba-Mu ini..
Wallahua’alam..