Bosan adalah teman. Teman bagi siapa saja yang memiliki pekerjaan. Setiap hari bekerja, melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tidak peduli, apakah pekerjaan itu disukai atau tidak, tugas tetap harus diselesaikan. Mau bagaimana lagi? Pekerjaan adalah tuntutan. Kalau tidak dipenuhi, risiko akan kita dapatkan.
Rasa bosan, setiap kali muncul ketika berhadapan dengan pekerjaan yang sama. Hidup seakan pasif, monoton, berputar-putar pada tempat dan kondisi yang sama. Pekerjaan yang telah lama selesai, kini berulang kembali pada permulaan. Begitu seterusnya, kita seperti berada pada satu posisi di antara putaran siklus yang terus berulang. Pada kondisi ini rasa bosan menarik-narik hati pada keinginan untuk “berhenti” atau “beralih” pada pekerjaan lain yang lebih menarik. Rasa yang akan menggoda keteguhan dan ke-istiqomahankita menjadi penyurut semangat dalam bekerja.
Bagi para pegiat menulis pasti memiliki teman (bosan) ini. Saat mereka menulis, bosan menjadi kawan yang selalu menemani. Mereka seperti teman dekat, selalu menyertai penulis dalam dunianya yang sepi. Jika tidak bisa berlaku baik, penulis bisa terpengaruh dengan temannya itu, rasa bosan dan jenuh.
Melawan Bosan
Bosan, harus dilawan atau dibiarkan? Seperti teman, bosan bisa jadi kawan baik, tetapi juga bisa jadi musuh yang harus dilawan. Ini bergantung pada sikap dan pribadi kita masing-masing. Namun jika ingin tidak terlena, bosan memang harus dilawan. Karena jika ia datang, godaan-godaannya mampu membawa kita pada kondisi yang tidak seharusnya. Seperti halnya pekerjaan, tugas yang seharusnya dikerjakan menjadi terabaikan. Keteguhan dalam bekerja menjadi rapuh, tidak sekuat pada niat pertama.
Melawan bosan memang tidak mudah. Kita butuh kekuatan hati untuk bertahan dalam ke-istiqomahan. Motivasi, niat, dan tujuan harus kembali kita ingat dan ditegaskan. Pengingatan ini akan mengembalikan kita pada orientasi pertama.
Godaan rasa bosan yang sering menjakiti hati biasanya akan melupakan orientasi utama kita dalam bekerja. Ia tutup niat dengan rasa jenuh. Ia ikat pula dengan rasa lesu, menahan kita dengan kepasifan gerak dalam bekerja.
Menulis juga demikian, proses ini perlu niat yang kuat. Niat yang benar, motivasi yang sehat, dan orientasi yang baik; ini semua adalah kekuatan kita untuk melawan bosan. Kita perlu mengingat kembali niat, motivasi, dan orientasi dalam menulis. Semudah kita mengingat, sedikit perlawanan kita lakukan dengan perenungan-perenungan.
Akan tetapi, kalau hanya sekadar mengingat perlawanan kita belum cukup. Kita butuh banyak asupan energi agar proses menulis tetap berlanjut. Salah satunya adalah dengan membaca. Membaca akan membuat pikiran kita lebih terbuka. Dengan membaca wawasan akan semakin luas yang tidak hanya bisa me-refresh kembali semangat dan ide-ide kreatif, tetapi juga akan membangkitkan gairah kita dalam menulis.
Salah satu faktor kebosanan kita dalam menulis sebenarnya adalah kurangnya wawasan. Kita hanya berkutat pada pemikiran yang sendiri. Ini adalah sebab-sebab yang menjadikan proses menulis menjadi monoton, terulang pada kubangan pemikiran yang sama.
Selain itu, kita juga perlu jalan-jalan, silaturahmi, dan berbagi bersama. Karena biasanya, kebosanan yang muncul dari proses menulis disebabkan karena tidak adanya dialog, pasif dan tersembunyi dalam kekangan diri sendiri. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang “kurang piknik”. Hal ini tidak lain adalah sebab kita karena sempitnya bacaan, jarang berdiskusi, dan kurangnya wawasan ilmu pengetahuan.