Sementara itu, pembangunan besar-besaran di Bali juga membawa dampak pada lingkungan. Dari reklamasi laut, penggundulan hutan, hingga pengelolaan sampah yang makin sulit diatasi. Pantai-pantai di Bali yang dulu bersih sekarang sering kali penuh dengan sampah plastik, baik yang datang dari aktivitas turis maupun limbah domestik. Beberapa daerah di Bali sudah mulai merasakan dampak serius dari perubahan iklim, terutama erosi pantai dan kenaikan permukaan air laut.
Bali yang dulu dikenal dengan hijaunya persawahan dan kesegaran alamnya, kini mulai kehilangan identitasnya. Villa-villa berdiri di bekas lahan sawah, dan hotel-hotel megah menggantikan hutan bakau. "Kalau terus begini, mau cari sawah di Bali susahnya setengah mati," ujar Pak Ketut, seorang petani di Tibubiu,Tabanan yang merasa kehilangan lahan garapannya akibat pembangunan vila.
Mencari Ruang yang Tersisa
Meski pariwisata terus menggila, Bali sebenarnya masih punya ruang untuk bernapas. Di beberapa daerah yang belum tersentuh hiruk-pikuk wisata massal, masih ada desa-desa yang mempertahankan tradisi dan cara hidup lokal. Beberapa komunitas lokal mulai bergerak, menolak pembangunan yang merusak lingkungan, dan berusaha menjaga Bali tetap asri.
Ini bukan berarti kita harus menolak pariwisata sepenuhnya. Pariwisata telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Bali. Yang diperlukan adalah keseimbangan. Bagaimana caranya menjaga agar Bali tetap menjadi surga tropis bagi wisatawan, tanpa mengorbankan alam dan budaya yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu? Bagaimana cara kita, sebagai pengunjung atau penduduk, bisa memberikan ruang bagi Bali untuk tetap hidup dan bernafas?
Karena kalau tidak, Bali yang kita cintai mungkin hanya akan tinggal cerita, terkubur di bawah vila-vila mewah dan pantai-pantai privat yang hanya bisa dilihat dari jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H