Mohon tunggu...
I Gusti Ngurah Krisna Dana
I Gusti Ngurah Krisna Dana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa

Satyam Eva Jayate

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ruang Pariwisata Bali yang Makin Menggila: Antara Mimpi Tropis dan Realitas Harian

9 September 2024   21:02 Diperbarui: 10 September 2024   21:25 6595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Cover: BPMI Setpres

Bayangkan Bali sebagai sebuah panggung yang megah. Sebuah panggung dengan latar tropis, pohon kelapa melambai di pinggir pantai, dan turis-turis mancanegara berjalan-jalan dengan kaos oblong, topi pantai, dan minuman kelapa di tangan. Dari sisi lain, muncul suara musik gamelan, aroma dupa dari pura, dan keheningan khas spiritualitas Bali. Di balik layar itu, ada pemain yang jarang terlihat di sorotan utama: warga lokal. Mereka sibuk memainkan peran penting dalam menjaga panggung tetap berjalan, sementara para turis duduk menikmati atraksi utama.

Tapi, semakin kesini, sepertinya panggung ini semakin penuh sesak. Ruang pariwisata Bali kini tidak lagi sekadar pantai pasir putih atau desa-desa artistik di Ubud. Pariwisata Bali sudah berkembang jadi monster besar yang sulit dikendalikan. Hotel-hotel bintang lima, vila-vila mewah, bar eksotis, dan klub malam terus tumbuh bak jamur di musim hujan. Dari Kuta, Seminyak, Canggu, hingga Uluwatu, tak ada sudut yang lepas dari cengkeraman industri pariwisata.

Vila Baru Lagi Nih, di Tanah Siapa Ya?

Bukan rahasia lagi, tanah di Bali makin hari makin mahal. Bayangkan harga tanah di Canggu sudah hampir menyamai beberapa kota besar di Eropa. Buat siapa? Ya, buat para ekspatriat dan investor yang melihat Bali sebagai tambang emas yang siap digali. Beberapa orang lokal yang dulu punya ladang luas sekarang terpaksa pindah, menjual tanah mereka demi harga tinggi. Tapi apa hasilnya? Ganti sawah yang hijau dengan vila-vila mewah. Lama-lama, Bali ini mau dikemanakan?

Ada ironi besar ketika kita bicara soal investasi di Bali. Satu sisi, pariwisata memang mendatangkan banyak keuntungan bagi ekonomi daerah. Orang Bali bisa bekerja di sektor-sektor pariwisata, membuka restoran, toko oleh-oleh, atau jadi pemandu wisata. Tapi di sisi lain, ruang publik mereka semakin tergerus. Apa yang dulu bisa dinikmati dengan bebas, sekarang ada label "privat" yang tertempel di mana-mana. Pantai yang dulunya bisa didatangi siapa saja, sekarang harus masuk lewat hotel-hotel tertentu. "Dulu saya bisa ke sana cuma jalan kaki, sekarang harus bayar parkir!" keluh seorang kawan dari Sanur.

Kemacetan Ala Bali, Berasa di Jakarta

Jika dulu orang berbicara soal Bali sebagai tempat pelarian dari kebisingan kota, sekarang klakson mobil sudah terdengar di setiap sudut. Jalan-jalan sempit yang dulu hanya dilewati oleh sepeda motor dan becak, kini macet total oleh konvoi mobil wisatawan. Skenario macet di Bali memang sudah jadi bagian dari keseharian. Bayangkan, di beberapa titik wisata terkenal, seperti Kuta atau Seminyak, jam-jam tertentu serasa seperti sedang berada di pusat kota Jakarta.

Tak hanya itu, pendatang yang datang dengan gagasan hidup "Bali dream" menambah kerumitan. Mereka berbondong-bondong menyewa sepeda motor, mencoba menyesuaikan diri dengan budaya lokal, tapi nyatanya sering kali tak peduli aturan lalu lintas. Helm? Nggak perlu. SIM? Masih mikir. Akibatnya, angka kecelakaan makin meningkat. "Bule-bule ini bikin jalanan jadi kayak sirkuit MotoGP," kata Wayan, seorang pengendara ojek online sambil geleng-geleng kepala.

Spiritualitas yang Dijual dalam Paket Tur

Bali selama ini dikenal dengan budaya dan spiritualitasnya yang kaya. Dari pura-pura yang sakral, upacara adat, hingga gaya hidup yang selaras dengan alam, semuanya jadi daya tarik utama. Tapi sekarang, spiritualitas Bali juga ikut dipasarkan. Ada banyak workshop meditasi, yoga, hingga "spiritual healing" yang disuguhkan dalam paket tur eksklusif. Tak jarang, wisatawan yang datang ke Bali dengan dalih mencari pencerahan, tapi ujung-ujungnya cuma ingin foto keren di Instagram dengan latar pura.

Beberapa tahun terakhir, kita sering lihat turis mancanegara datang ke Bali hanya untuk mencari momen Instagramable. Mereka datang ke pura, bukan untuk beribadah, tapi untuk foto-foto sambil bergaya ala influencer. Hal ini membuat beberapa pura di Bali akhirnya membatasi akses bagi turis, demi menjaga kesakralannya. Bayangkan, pura yang selama ini jadi tempat sembahyang, sekarang harus dijaga seperti objek wisata Disneyland.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun