Pendidikan merupakan kunci perubahan dalam kehidupan manusia, sebuah gagasan yang telah diutarakan oleh banyak tokoh besar seperti Nelson Mandela. Namun, meskipun pendidikan dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia, di Indonesia, senjata ini menjadi tumpul karena kebijakan publik yang tidak memperhatikan kesejahteraan guru. Guru, yang seharusnya menjadi pahlawan dalam dunia pendidikan, malah diperlakukan sebagai beban oleh sistem. Dalam kebijakan publik Indonesia, mereka sering hanya menjadi simbol dalam retorika semata, sementara substansinya, yaitu penghargaan terhadap profesi dan kesejahteraan mereka, hampir tidak ada. Socrates pernah menyatakan, "Pendidikan adalah penggembalaan jiwa manusia ke arah kebenaran." Pernyataan ini mengandung makna mendalam tentang peran guru dalam membimbing generasi penerus menuju kebenaran dan kebijaksanaan. Namun, ironisnya, guru modern di Indonesia sering kali terpaksa menggembalakan anak-anak bangsa dengan gaji yang jauh dari layak. Gaji guru honorer di berbagai daerah, misalnya, sering kali setara dengan upah buruh harian, dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Di tengah tuntutan untuk mencetak generasi cerdas dan terampil, kebijakan yang mengabaikan kesejahteraan guru hanya memperburuk kualitas pendidikan. Tidak ada kebijakan besar yang bisa membenarkan fakta bahwa mereka yang menjadi motor penggerak pendidikan hanya dibayar dengan upah yang tidak manusiawi.
Ironi dan Penghianatan Terhadap Filosofi Pendidikan
Pada era di mana Paulo Freire menyerukan pendidikan sebagai "alat pembebasan," Indonesia justru memperlakukan pendidikan sebagai sekadar formalitas. Para guru terbelenggu oleh kurikulum yang terus berubah setiap kali ada pergantian menteri, beban administrasi yang tak ada habisnya, dan kebijakan yang lebih mengutamakan angka-angka daripada kualitas pengajaran. Dalam hal ini, para guru bukannya diberdayakan, melainkan dipaksa untuk menjadi alat dalam memenuhi indikator statistik pendidikan yang tidak mencerminkan kualitas sesungguhnya. Mereka dihadapkan pada tantangan besar untuk mencetak siswa yang berprestasi, namun mereka sendiri diperlakukan seolah-olah tidak lebih penting daripada komponen lain dalam sistem pendidikan yang lebih besar. Ini merupakan ironi besar dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pendapat dari Maria Montessori "pendidikan bukan hanya mempersiapkan hidup, tetapi juga membentuk kehidupan." Namun, dalam kenyataan yang ada, kebijakan publik Indonesia justru memperlakukan guru hanya sebagai bagian dari rantai produksi tenaga kerja. Salah satu kebijakan yang memperburuk kondisi guru adalah sertifikasi guru. Kebijakan ini, yang seharusnya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, malah menambah beban mereka tanpa memberikan manfaat yang berarti. Sertifikasi guru sering kali tidak disertai dengan peningkatan gaji atau fasilitas yang memadai, dan bahkan menambah beban administrasi yang sudah sangat memberatkan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap filosofi pendidikan yang sejatinya bertujuan untuk memuliakan guru dan mendukung mereka dalam mengembangkan potensi siswa.
Sarkasme dalam Proyek Besar Tanpa Guru Besar
Tidak ada yang lebih sarkastik daripada pidato-pidato pejabat yang memuji guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa," sementara mereka lebih memprioritaskan proyek infrastruktur yang megah daripada investasi serius dalam kesejahteraan guru. Anggaran pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% dari APBN sering kali tidak cukup untuk meningkatkan gaji atau fasilitas guru, melainkan lebih banyak digunakan untuk birokrasi atau pembangunan fisik sekolah yang sebenarnya tidak langsung meningkatkan kualitas pengajaran. Kebijakan semacam ini menunjukkan bahwa meskipun sektor pendidikan mendapatkan porsi besar dalam anggaran, kebijakan tersebut tidak diimplementasikan dengan cara yang benar-benar mendukung para guru sebagai pahlawan yang seharusnya dihargai.
Filsuf tersohor Immanuel Kant mengatakan bahwa "pendidikan iyalah seni menjadikan manusia sebagai manusia." Namun, kebijakan pendidikan di Indonesia justru memperlakukan guru bukan sebagai manusia yang harus dihormati dan dihargai, tetapi sebagai mesin penghasil nilai ujian semata. Bagaimana mungkin kita berharap generasi yang cemerlang jika guru-guru yang mendidik mereka hidup dalam kondisi yang tidak layak? Guru yang lapar, stres, dan kehilangan motivasi tidak akan bisa memberikan inspirasi yang diperlukan untuk membentuk karakter serta kualitas pendidikan siswa. Ketidakadilan terhadap guru ini bukan hanya masalah moral, tetapi juga dosa sosial yang tidak bisa dimaafkan.
Membangun Kembali dengan Moral
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem pendidikan, langkah pertama yang harus diambil adalah memuliakan para guru dengan kebijakan yang manusiawi dan berlandaskan filosofi moral. Peningkatan gaji yang layak, perlindungan sosial yang memadai, dan penghapusan beban administrasi yang berlebihan harus menjadi prioritas. Pendidikan tanpa guru yang dimuliakan hanya akan menjadi mitos kosong yang bersembunyi di balik jargon kebijakan. Pemerintah harus mengerti bahwa investasi dalam kualitas pengajaran adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan dampak besar bagi kemajuan bangsa. Guru yang dihargai dan diberdayakan akan mampu melahirkan generasi penerus yang lebih baik, yang pada gilirannya akan membangun masa depan bangsa.
Kesimpulan: Apakah Guru Akan Terus Menjadi Korban?
Di tangan kebijakan publik yang gagal, guru tidak hanya menjadi korban, tetapi juga alat yang terus dieksploitasi untuk mencapai tujuan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan guru sebagai kambing hitam kegagalan sistem pendidikan yang lebih besar. Dalam kata-kata John Dewey, "Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri." Pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang memanusiakan guru dan siswa, memberikan mereka kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi terbaik mereka. Tanpa guru yang dihargai dan dihormati, pendidikan Indonesia tidak akan pernah mampu mencapai tujuan yang sesungguhnya.