Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Liberté, égalité, fraternité.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fanatisme: Ketika Demokrasi Berubah Jadi Sekte

11 Desember 2024   13:36 Diperbarui: 28 Januari 2025   00:10 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi Fanatisme: Pengagungan yang Berlebihan (Sumber: Igon Nusuki)

Fanatisme terhadap pasangan calon (PASLON) merupakan fenomena politik modern yang kian mencolok, bahkan menjadi tragedi demokrasi yang sarat ironi. Demokrasi, yang pada hakikatnya bertujuan menciptakan ruang bagi debat rasional dan pertukaran gagasan, justru berubah menjadi medan pertempuran emosi di mana loyalitas buta mendominasi. Bukannya menjadi bukti partisipasi aktif dalam proses politik, fanatisme memutarbalikkan esensi demokrasi menjadi sekadar ritual pemujaan terhadap figur, lengkap dengan dogma-dogma yang tak boleh diganggu gugat.

Fenomena ini berkembang seiring dengan meningkatnya akses informasi melalui teknologi digital, terutama media sosial. Namun, alih-alih memperluas wawasan publik, media ini justru sering kali memperkuat polarisasi. Algoritma yang mendorong konten-konten emosional menciptakan gelembung informasi yang mengisolasi para pendukung paslon dalam keyakinan mereka sendiri. Akibatnya, narasi yang dibangun cenderung satu dimensi dan kehilangan ketajamannya. Dalam konteks ini, kritik terhadap paslon tertentu sering kali tidak diterima sebagai masukan konstruktif, melainkan dianggap sebagai serangan atau bahkan fitnah.

Tidak hanya merugikan dan mengurangi kualitas demokrasi, fanatisme ini juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Ia menciptakan jurang di tengah masyarakat, merusak kohesi sosial, dan menanamkan kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan. Sementara itu, para elit politik dan tim sukses paslon sering kali memanfaatkan fanatisme ini untuk membangun citra populis yang dangkal, dengan narasi yang tidak selalu didasarkan pada fakta atau bahkan hanya klaim.

Fanatisme terhadap paslon, pada intinya mencerminkan degradasi intelektual dalam budaya politik kita. Jika dibiarkan, ia akan terus menggerogoti demokrasi, menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai rasionalitas, skeptisisme, dan dialog yang sehat. Pilar-pilar yang sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa yang inklusif dan adil dalam sistem demokrasi.

Dominasi Monolog dan Hilangnya Dialog

Hans-Georg Gadamer, dalam Truth and Method, berbicara tentang pentingnya dialog untuk memperluas cakrawala pemahaman. Namun, dialog dalam fanatisme paslon? Lupakan. Tidak ada diskusi; hanya monolog penuh pujian terhadap paslon mereka, bak dewa. Kritik? Oh, itu bukan kritik, itu fitnah! Prakonsepsi yang seharusnya diuji melalui dialog justru dipertahankan seperti dogma suci. Pendukung fanatik tidak hanya menolak kebenaran, mereka bahkan alergi terhadap fakta. Mereka memilih untuk menutup diri dari segala informasi yang tidak sejalan dengan narasi yang mereka percaya, menjadikan dialog sebagai sesuatu yang mustahil.

Fanatisme ini juga menciptakan budaya "gem echo chamber", di mana hanya suara yang sama dan berulang yang terdengar. Pendapat yang berlawanan dianggap ancaman, bukan peluang untuk belajar atau memperluas wawasan. Kondisi ini mematikan dinamika demokrasi yang membutuhkan perbedaan sebagai elemen vital untuk terus tumbuh.

Skeptisisme yang Ditinggalkan

Bertrand Russell, dalam The Problems of Philosophy, mengajarkan pentingnya skeptisisme. Namun skeptisisme adalah bahasa asing bagi kaum fanatik. Mereka akan memutarbalikkan realitas demi membela paslon mereka, bahkan ketika kebijakan mereka jelas-jelas merugikan. Korupsi? Kesalahan administrasi? Itu semua konspirasi! Dalam logika fanatisme, paslon mereka tidak pernah salah, hanya korban situasi. NA'IF!!!

Ironinya, skeptisisme yang merupakan pondasi untuk pemikiran kritis justru dianggap sebagai bentuk pengkhianatan. Pendukung fanatik sering kali menggunakan argumentasi yang tidak masuk akal untuk membela paslon mereka. Mereka mengabaikan bukti nyata, memilih untuk percaya pada narasi yang dibuat-buat, bahkan jika itu melibatkan teori konspirasi yang absurd. Hal ini menunjukkan degradasi intelektual yang serius di kalangan masyarakat.

Bahaya Demokrasi yang Diperingatkan Plato

Plato sudah memperingatkan kita ribuan tahun lalu. Dalam The Republic, ia menjelaskan bahaya demokrasi yang dikuasai massa irasional. Apa yang terjadi ketika pemilih tidak lagi peduli pada kebijakan, tetapi hanya pada pesona personal? Jawabannya ada di depan mata, politik akan berubah menjadi kontes popularitas, di mana narasi kosong lebih penting daripada substansi.

Fanatisme iyalah cerminan ketakutan terbesar, di mana pemilih menjadi alat kekuasaan, bukannya sebagai pengontrol. Pemilih yang fanatik sering kali melupakan peran mereka sebagai pengawas dan pengkritik kebijakan, padahal jika public policy buruk yang merasakan dampak buruknya tentu mereka juga. Pendukung fanatik terjebak dalam romantisme politik yang semu, sehingga abai terhadap substansi kebijakan yang seharusnya menjadi fokus utama. Demokrasi yang ideal berubah menjadi arena pertunjukan para badut politik yang penuh dengan retorika tetapi kosong tanpa substansi lebih-lebih tindakan nyata "nol besar".

Ketakutan terhadap Keraguan

Jangan lupa Rene Descartes, sang bapak keraguan metodis. Dalam Meditations on First Philosophy, ia mengajarkan kita untuk memulai segala pemikiran dengan meragukan "cogito, ergo sum". Namun, bagi pendukung fanatik, keraguan adalah musuh. Tidak ada ruang untuk refleksi kritis, hanya ada kepastian mutlak bahwa paslon mereka adalah penyelamat. Jika Descartes hidup hari ini, dia mungkin akan menyerah menulis dan memilih tinggal di dalam gua saja.

Ketakutan terhadap keraguan ini berakar pada kebutuhan psikologis untuk merasa aman dalam keyakinan. Fanatisme menciptakan zona nyaman intelektual, di mana setiap tantangan terhadap keyakinan dianggap ancaman terhadap identitas. Akibatnya, masyarakat kehilangan kapasitas untuk berpikir secara kritis, yang merupakan inti dari kemajuan intelektual dan kehidupan sosial.

Fanatisme sebagai Degradasi Intelektual

Fanatisme terhadap paslon bukan sekadar masalah politik, ia merupakan degradasi intelektual. Masyarakat yang terjebak dalam fanatisme telah menyerahkan akal sehat mereka demi memeluk dogma politik. Mereka menukar skeptisisme dengan mitos, dialog dengan propaganda, dan fakta dengan fantasi. Hasilnya? Polarisasi ekstrem yang menghancurkan kohesi sosial, menciptakan masyarakat yang saling mencurigai, dan membunuh peluang untuk kemajuan bersama.

Degradasi ini tercermin dalam cara masyarakat mengkonsumsi informasi. Media sosial, dengan algoritma yang memperkuat bias, menjadi sarana penyebaran propaganda. Informasi palsu yang sesuai dengan narasi fanatisme lebih mudah diterima daripada fakta yang akan menghadirkan ketidaknyamanan. Hal ini menunjukkan bagaimana degradasi intelektual bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik.

Dampak Polarisasi dalam Kehidupan Demokrasi

Polarisasi yang disebabkan oleh fanatisme tidak hanya memecah masyarakat, tetapi juga merusak fungsi inti demokrasi. Ketika setiap diskusi menjadi perdebatan sengit tanpa arah, keputusan publik yang penting sering kali diabaikan. Kebijakan yang seharusnya berfokus pada kebaikan bersama malah berubah menjadi alat untuk memperkuat loyalitas kelompok tertentu.

Polarisasi menciptakan "kita vs mereka", di mana lawan politik dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, bukan sebagai mitra dalam diskusi. Hal ini membuat proses pembuatan kebijakan publik menjadi tidak efektif, karena lebih banyak energi dihabiskan untuk konflik daripada mencari solusi bersama. Dalam jangka panjang, polarisasi ini melemahkan institusi demokrasi dan menciptakan ketidakstabilan politik.

Demokrasi yang Kehilangan Substansi

Demokrasi yang sehat tidak butuh pemujaan terhadap figur. Ia membutuhkan pemilih yang berani berpikir, berani meragukan, dan berani menuntut. Namun, fanatisme telah menggerogoti esensi demokrasi itu sendiri. Sistem yang dirancang untuk menjamin partisipasi semua warga kini dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang tidak toleran terhadap perbedaan.

Demokrasi tanpa substansi menjadi arena pertarungan simbolik yang tidak menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat. Pemimpin yang terpilih melalui fanatisme sering kali lebih fokus pada pencitraan "blusukan atau bahkan masuk gorong-gorong misal!" daripada implementasi kebijakan yang berdampak nyata. Hal ini membuat demokrasi kehilangan kredibilitasnya di mata rakyat yang berakal sehat.

Peran Media dalam Memperkuat Fanatisme

Tidak bisa disangkal, media memainkan peran besar dalam memperkuat fanatisme. Dalam era digital, algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten yang memicu emosi, termasuk kebencian dan ketakutan agar menaikan ratingnya. Hal ini memperburuk polarisasi dan membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang objektif, informasi yang sebenarnya serta yang dibutuhkan.

Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi kini sering kali menjadi alat propaganda yang memperdalam jurang perbedaan. Berita palsu dan informasi yang tidak diverifikasi dengan mudah menyebar, menciptakan narasi yang mendukung fanatisme. Dalam konteks ini, literasi media menjadi kebutuhan mendesak untuk membangun masyarakat cerdas.

Membangun Kesadaran Kritis

Untuk melawan fanatisme, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan kesadaran kritis. Pendidikan politik yang inklusif dapat menjadi solusi untuk membangun masyarakat yang mampu berpikir secara independen. Selain itu, partisipasi aktif dalam forum-forum diskusi yang terbuka dan konstruktif dapat membantu mengurangi pengaruh fanatisme.

Kesadaran bahwa perbedaan merupakan bagian alami dari demokrasi harus ditanamkan sejak dini. Hanya dengan menghargai perbedaan dan membangun dialog, masyarakat dapat keluar dari jeratan fanatisme yang membahayakan demokrasi negeri ini.

Kesimpulan: Mengembalikan Rasionalitas dalam Demokrasi Kita

Fanatisme terhadap paslon merupakan ancaman nyata bagi demokrasi. Ketika masyarakat lebih memilih loyalitas buta daripada berpikir kritis, demokrasi kehilangan kekuatannya sebagai sistem yang mengutamakan kebaikan bersama "common good". Dalam menghadapi tantangan ini, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk membangun budaya dialog, skeptisisme yang sehat, dan komitmen terhadap kebenaran serta keadilan. Dengan demikian, demokrasi dapat kembali menjadi ruang di mana suara semua orang didengar dan kepentingan bersama menjadi prioritas utama. Hanya dengan berpikir rasional dan bertindak kritis, kita dapat melindungi demokrasi dari bahaya fanatisme yang kian merajalela.

Referensi

Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1641)

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum. (Original work published 1960)

Plato. (1997). The Republic (G. R. F. Ferrari & T. Griffith, Trans.). Cambridge University Press.

Russell, B. (1912). The Problems of Philosophy. Oxford University Press.

Sunstein, C. R. (2018). Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.

Tucker, J. A., Guess, A., Barbera, P., Vaccari, C., Siegel, A., Sanovich, S., ..., & Nyhan, B. (2018). Social media, political polarization, and political disinformation: A review of the scientific literature. Political Science, 5(1), 1–39

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun