Mohon tunggu...
Igo Halimaking
Igo Halimaking Mohon Tunggu... -

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: ‘dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan’. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.” ― Soe Hok Gie

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Human Trafficking dan Reality Show Kepolisian

15 Januari 2015   06:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Igo Halimaking
Anggota PMKRI Cabang Kupang
Berita yang dilansir Timor Express (26/10) tentang Tim Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Trafficking yang dibentuk Kapolda NTT beberapa bulan lalu terlibat dalam mafia perdagangan orang di NTT tentunya membawa berita buruk bagi masyarakat NTT ditengah kondisi yang lagi darurat kemausiaan karena merupakan lahan bagi jaringan penjualan manusia.
Terkuaknya kasus ini membuktikan bahwa kicauan Rudi Soik selama ini tentang keterlibatan petinggi Polri dalam kasus perdagangan manusia atau trafficking di Propinsi Nusa Tengggara Timur (NTT) benar, walapun Brigpol Rudy Soik diduga berada dalam lingkaran mafia itu sendiri.
Benar sudah prediksi banyak pihak bahwa kasus penjualan orang NTT yang selama ini tidak selesai karena ada oknum-oknum di Polda NTT yang membekingi. Lihat saja, empat kasus yang sudah mengengendap di begitu lama di Polda NTT yaitu, pertama, kasus 52 calon TKI yang disidik oleh Brigadir Rudy Soik. Kasus ini terungkap dari hasil penggerebekan yang dilakukan oleh  penyidik Polda NTT sendiri di kantor cabang PT Malindo Mitra Perkasa di Kelurahan Maulafa, Kupang pada awal tahun ini.
Dalam penggerebekan yang melibatkan Brigadir Rody Soik, ditemukan 52 calon tenaga kerja yang tak cukup syarat untuk dikirim sebagai TKI ke luar negeri. Sejumlah pelanggaran yang ditemukan oleh Rudy Soik dan penyidik lainnya adalah dari 52 calon TKI tersebut, 25 orang tak memiliki kartu tanda penduduk, yang lainnya tak memiliki izin suami sebagai syarat menjadi TKI. Selain itu, penyidik juga menemukan PT Malindo Mitra Perkasa melanggar batas maksimal jumlah pengiriman TKI. Malindo hendak memberangkatkan 124 orang TKI, sementara batas maksimal adalah 90 orang. Rudy Soik pada Agustus lalu mengadukan atasannya di Polda NTT yaitu Komisaris Besar Mohammad Slamet, Direktur Pidana Khusus Polda NTT ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Perlindungsan Saksi dan Korban (LPSK). Rudy mencurigai adanya penyalagunaan wewenang yang dilakukan atasannya itu dalam proses penanganan kasus TKI ini. Namun Rudy kini menjadi tersangka dan ditahan dalam dugaan kasus penganiaayaan terhadap Ismail Patty, seorang warga Adonara. Hemat penulis penetapan dan penahanan Rudy dalam dugaan kasus penganiayaan ini bagian dari konsipirasi para mafia TKI dan oknum di Polda NTT.
Kasus kedua, penyelesaiannya juga tidak jelas di Polda NTT adalah penyelundupan dan penyekapan 21 calon TKI asal NTT di Batam. Kasus ini juga melibatkan PT Malindo Mitra Perkasa. Ke-21 korban dalam kasus ini sudah dipulangkan ke Kupang pada 16 Juli 2014. Polda NTT pun sudah sempat meminta keterangan para korban setelah diantar pulang dari Batam. Tetapi hingga kini, perusahaan yang mengirimkan para TKI tersebut belum diusut.
Kasus ketiga yang juga melibatkan PT Malindo Mitra Perkasa adalah laporan Badan Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT ke Kepolisian Resort (Polres) Kupang pada 24 Juli 2014. Dalam kasus ini ada tiga calon TKI yang masih belum cukup umur untuk dikirim menjadi buruh migran.
Dan, kasus keempat adalah laporan kelompok masyarakat Aliansi Menolak Perdagangan Orang (Ampera) NTT. Kasus yang dilaporkan ke Polda tahun 2013 lalu, terkait perekrutan secara ilegal calon TKI oleh salah satu staf PT Malindo Mitra Perkasa.
Namun hingga sekarang publik tidak pernah tahu sejauh mana kelanjutan penanganan empat kasus tersebut. Dan kini publik dikejutkan dengan fakta bahwa Tim Satuan Tugas Trafficking (Satgas Trafficking) hasil bentukan Kapolda NTT, Endang Sunjaya, ternyata terlibat dalam mafia Trafficking seperti terungkap dalam diskusi yang digelar Ormas Save NTT, Senin (24/11) di Kompolnas RI yang menghadirkan Irwasd Polda NTT serta sejumlah perwira Bareskrim Mabes Polri serta anggota DPR RI asal NTT.

Harus Obyektif
Fakta ini sedikitnya bisa membuka mata Polda NTT bahwa betapa bobroknya institusi ini dalam perkara perdagangan manusia. Bobroknya tubuh kepolisian di NTT maupun di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena rokok. Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau mengaku karena rokok, karena ingin tetap merokok. Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok.
Selama ini terkesan polisi seperti memiliki standart ganda dalam pengungkapan dan keterbukaan kasus, kita tahu begitu cepat terungkap dan terpublikasi sangat baik jika menyangkut kasus terorisme tapi polisi bagitu tertutup dan terkesan sangat lamban memproses kasus jika itu menyangkut kasus korupsi, penipuan/penggelapan yang melibatkan jumlah uang yang besar, pencucian uang,ilegal logging, mafia Trafficking,dll.
Pengungkapan keterlibatan Tim Satuan Tugas Trafficking (Satgas Trafficking) dalam mafia perdagangan manusia di NTT seharusnya ini benar-benar menjadi momentum untuk memberantas mafia hukum yang sudah sangat mewabah, dan jangan lagi hanya sekadar reality show seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan karena bagaimanapun sudah sering kali masyarakat disuguhi praktik hukum busuk yang terungkap dan dibeberkan media sebagai fungsi kontrolnya ke masyarakat, tetapi ternyata hasilnya nihil. Semua institusi dalam sistem peradilan pidana pernah mencederai rasa keadilan masyarakat karena melakukan praktik mafia hukum.
Kasus ini hendaknya bisa dibuka tuntas agar publik tahu kejahatan yang ‘terstruktur, sistematis, dan masif’ (TSM) yang dimainkan petinggi di Polda NTT dalam mafia perdagangan manusia seperti yang selama ini di sebut - sebut Rudi Soik. Dalam kasusi ini, publik juga berharap kehadiran KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) dalam membuktikan kasus ini karena hampir dipastikan Mabes Polri pun tidak berdaya membuka kasus ini. Sebab, sejatinya (para) petinggi Polda NTT ‘hanya’ mengamankan PT perekrut tenaga kerja milik petinggi di Mabes Polri. Perdagangan manusia yang dilakukan oleh jaringan kriminal di NTT, perlu diusut tuntas. Jika institusi kepolisian di NTT pun sudah tercemar, memang tidak ada lagi institusi lain yang mampu menggantikannya. Sehingga pilihan kita cuma satu: singkirkan polisi berwatak kriminal tanpa kompromi.
Sekali lagi, seharusnya upaya membuka kejahatan dalam institusi kepolisian tidak hanya menjadi cerita fiksi, yang menyerupai tema film-film India, tetapi harus menjadi langkah pembersihan. Momentum ini harus didukung jaringan masyarakat sipil hingga tuntas.
Institusi publik yang telah disusupi jaringan kriminal wajib dibersihkan ulang. Sedangkan pejabat publik yang menjual warga negaranya sendiri adalah penjajah dan wajib dihukum berat. Sekali lagi, keutamaan tidak dilihat dari seragam dan pangkat yang dipakai, tetapi dari perbuatan yang dilakukan. Tanpa melakukan pembenahan secara TSM, krisis legitimasi di tubuh kepolisian akan tiba di titik terendah.
Kalau polisi tak mampu membersihkan diri dari korupsi, jangan berharap merebut simpati publik. Hal ini perlu dikemukakan karena Kepolisian Republik Indonesia seolah tak berubah kendati era reformasi sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Yang sedikit menunjukkan kemajuan adalah kesigapan menangani kasus, melayani perizinan, dan menjaga ketenteraman. Tapi polisi dan maupun aparat penegak hukum lainnya belum memenuhi dambaan masyarakat ini: memberantas korupsi di tubuhnya.
Untuk ini, kita semua menunggu sikap tegas Kapolda NTT dalam menunjukkan posisinya, apakah ia bagian dari polisi bersih, ataukah bagian dari jaringan kriminal. Berani menindak buaya – buaya besar dijajaran Polda NTT seperti yang selalu diserukan Rudi Soik atau berbangga karena telah menangkap cicak yang selalu berbunyi tentang kebobrokan institusi ini. Sekali lagi rakyat berharap munculnya kasus bisa menjadi momentum untuk mendobrak sarang berbagai kejahatan dalam institusi ini ataukah sekadar reality show dan sama seperti yang dulu lagi, tak membuahkan apa pun. Semoga tidak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun