[caption id="attachment_343408" align="aligncenter" width="550" caption="Harga Elpiji 12 Kg Naik (sumber : www.medanbisnisdaily.com)"][/caption]
Pada 10 September 2014 lalu, akhirnya Pertamina memutuskan menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 Kg sebesar Rp 1.500/kg. Kenaikan ini membuat harga jual elpiji 12 Kg nett dari Pertamina menjadi Rp 7,569/kg dari sebelumnya Rp 6.069/kg. Apabila ditambahkan dengan komponen biaya lainnya, seperti transport, filling fee, margin Agen dan PPN, maka harga jual di agen menjadi Rp 9.519/kg atau Rp 114.300/tabung dari sebelumnya Rp 7.731/kg atau Rp 92.800/tabung.
Proses penyesuaian harga jual elpiji 12 Kg baru 'babak' pertama. Pertamina masih akan melakukan penyesuaian harga secara bertahap setelah di-review setiap 6 bulan sekali. Perusahaan minyak pelat merah itu memperkirakan, jika berjalan mulus, pada pertengahan 2016 harga elpiji kemasan 12 Kg akan sama dengan harga keekonomiannya.
Dikutip dari situsnya, Pertamina memutuskan kenaikan harga Elpiji setelah terus menerus merugi akibat tingginya harga LPG di pasar Internasional plus turunnya nilai tukar Rupiah. Penyesuaian pertama ini diharapkan dapat menekan kerugian bisnis elpiji non subsidi pada 2014 sebesar Rp 452 miliar.
Sebagai informasi, meski harga jual elpiji 12 kg sudah dinaikkan sebesar Rp 1.500/kg menjadi Rp 7.569/kg, harga elpiji di Indonesia masih termasuk yang paling rendah. Sebagai perbandingan di Jepang elpiji dijual setara Rp 20.000/kg, di Korea Rp 17.000/kg, China Rp 17.000-21.000/kg bahkan di Filipina, sesama negara ASEAN yang kondisi perekonomianya tidak lebih baik dari Indonesia, elpiji dijual ke masyarakatnya Rp.24.000/kg.
Meski dinaikan secara bertahap dan Pertamina sengaja mengumumkan penyesuaian secara mendadak, tetap saja menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Apalagi, kenaikan dilakukan saat transisi pemerintahan nasional yang sedang hangat, usai kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan ditengah isu tarik ulur kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Indikator gejolak ini misalnya terlihat jelas dari migrasi penggunaan elpiji 12 kg ke 3 kg bersubsidi yang berakibat naiknya permintaan elpiji 3 kg. Kelangkaan elpiji kemasan 3 kg atau yang sering disebut dimasyarakat sebagai 'elpiji melon' pun terjadi dimana-mana.
Revolusi Mental
Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran berharga dari kenaikan elpiji 12 kg ini. Pertamina, pemerintah, masyarakat perlu berbenah  atau meminjam istilah Jokowi, sang presiden terpilih, perlu melakukan 'revolusi mental'. Jika pertamina masih melakukan 'bussines as usual' dalam tata niaga elpiji, jika pemerintah tak mau merevolusi kebijakannya dalam pengelolaan minyak dan gas, jika masyarakat masih 'kurang' menyadari subsidi yang selama ini dinikmati dan dimanjakan oleh gas murah, maka persoalan serupa akan terus terjadi.
Bagi pertamina, kenaikan ini sudah barang tentu akan semakin memperlebar kesenjangan harga antara elpiji 12 kg dengan 3 kg yang disubsidi. Dengan selisih harga yang hampir dua kali lipat, Pertamina harus mewaspadai praktek pengoplosan isi tabung 3 kg di masukkan ke tabung 12 kg. Kemudian, sudah barang tentu ada lonjakan peralihan pengguna dari elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg.
Untuk mengatasi hal ini, Pertamina harus benar-benar menyiapkan langkah antisipasi. Pertama, harus diawasi sungguh-sunggu penyaluran elpiji 3 kg sehingga gas yang bersubsidi dari anggaran negara itu harus dikonsumsi oleh kalangan yang benar-benar berhak, yaitu kalangan menengah kebawah dan usaha kecil. Kedua, perlu disiapkan juga sanksi seberat-beratnya kepada pelaku pengoplosan dan penimbun. Jika kedua hal ini tidak dilakukan sama saja bisnis gas Pertamina akan terus menerus merugi dan subsidi tetap tak tepat sasaran.
Kemudian, dari sisi produksi, Pertamina juga harus mulai membangun kilang sehingga bisa memperbesar produksi elpiji. Selama ini produksi elpiji pertamina masih jauh dibawah kebutuhan sehingga impor tak terelakan. Perusahaan minyak dan gas milik negara itu juga harus segera menyiapkan insfrastruktur untuk proses 'hijrah' dari elpiji ke penggunaan gas alam cair yang kita miliki berlimpah ruah.